Lebih Dalam soal Perselingkuhan dengan Alasan Milih Kaya
“Gue nggak mau lah tidur sama laki orang. Ya kecuali kalo dia kaya yah. Kalo kayak kita-kita doang mah, ngapain?” seloroh seseorang kepada temannya di sebuah toilet di mal kawasan Jakarta Selatan.
Tentu ini bukan pertama kali saya mendengar selorohan macam ini. Bahkan, bibi saya juga sering berpesan, kalau cari suami harus yang mapan, yang mampu membiayai hidup kita.
Lain waktu, adik perempuan nenek saya mengomentari pilihan saya untuk bersekolah. Katanya, perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, apalagi sampai S2 dan S3, karena gelar tidak berguna. Katanya lagi, perempuan yang penting harus jago menjaga diri, menjaga rumah, dan menjaga anak. Perempuan juga harus pandai memasak dan pandai membawa diri agar tidak mempermalukan suami kalau diajak ke acara-acara.
Saya yakin saya bukan satu-satunya yang sering mendengar atau dinasihati untuk menggantungkan hidup kepada laki-laki. Seolah-olah kita lahir dan dibesarkan oleh orangtua cuma sebagai persiapan untuk dapat menjadi istri dan ibu.
Tentu tak ada yang salah dengan menjadi istri dan ibu, tak ada yang salah jika ada perempuan atau laki-laki yang tak suka bekerja dan lebih suka di rumah. Persoalannya adalah ketika kita tidak diberi ruang untuk mengakses pilihan-pilihan lain.
Sementara, persoalan akses, pertama-tama adalah persoalan pola pikir, baik individu maupun masyarakat. Karena pola pikir jugalah yang nantinya akan membentuk norma dan nilai-nilai di masyarakat.
Sebab itu, tak heran jika banyak perempuan yang kemudian merasa cara tepat dan mudah untuk dapat meraih posisi ekonomi tertentu dan keamanan materi adalah dengan cara menerima uang dari laki-laki, baik dalam ataupun tanpa lembaga pernikahan.
Meski tak semua, tetapi masih banyak perempuan yang dididik untuk suatu saat dapat mengandalkan suami, juga dididik untuk merasa tidak mampu mandiri dalam hal keuangan. Pola pikir ini begitu mandarah daging, sehingga sudah sering kita mendengar ‘bercandaan’ dari perempuan “sudah capek kerja, pinginnya dinafkahin aja”.
Kondisi ini terefleksi dalam berbagai kesenjangan mengakses pendapatan bagi perempuan.
Dalam Laporan Perekonomian 2019, BPS mencatat kesenjangan upah laki-laki dan perempuan yang semakin lebar sepanjang 2015 hingga 2019. Selain itu, perempuan juga tidak banyak menempati posisi kunci pengambilan keputusan.
Apalagi, meski populasi laki-laki dan perempuan di Indonesia berimbang dengan jumlah laki-laki sedikit lebih banyak, partisipasi ekonomi perempuan dan laki-laki tidaklah berimbang. Maksud dari partisipasi ekonomi di sini adalah persentase jumlah orang yang terlibat dalam perekonomian (bekerja, berdagang, dan lain-lain). Saat ini, hanya ada 54% perempuan dan 84% laki-laki.
Laporan yang sama juga menunjukkan adanya kesenjangan politik antara laki-laki dan perempuan, yaitu rendahnya keterwakilan perempuan. Meskipun saya percaya keterwakilan perempuan seharusnya lebih menghitung keterwakilan pola pikir yang mengamini pengarusutamaan kesetaraan gender, namun saya belum melihat bapak-bapak di parlemen kita sudah bisa mengamini kesetaraan gender. Saat ini, representasi perempuan di parlemen dan kabinet berturut-turut hanya 17% dan 24%.
Bisa jadi kesenjangan-kesenjangan ini semakin mengamini perempuan yang ingin berselingkuh dengan pria mapan. Bagi perempuan, sudah aksesnya lebih susah, digaji lebih kecil, jenjang karier lebih terbatas pula. Mending jadi peselingkuh saja?
Tentunya, saya tidak menyukai istilah ‘pelakor’. Istilah ‘pelakor’ terkesan mengibliskan perempuan. Kalau ada pelakor harusnya ada petrisor alias perebut istri orang. Akan tetapi, pelakor dan petrisor tidak perlu ada karena manusia bukanlah objek yang tidak punya agensi dalam memilih.
Istilah peselingkuh lebih netral, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Peselingkuh menunjukkan keduanya sama-sama aktif menyeleweng, baik menyeleweng dari pasangannya atau pasangan orang.
Kembali lagi ke persoalan perselingkuhan lantaran materi. Sebab itu, pertama-tama harus ada peningkatan akses perempuan terhadap ekonomi. Untuk dapat meningkatkan akses perempuan terhadap perekonomian, pola pikir kita harus diubah. Alih-alih melihat ‘habitat asli’ perempuan hanya semata sumur-dapur-kasur, kita harus mulai berani melihat perempuan berada di mana pun yang dia kehendaki.
Karena seperti kata Hakim Ruth Bader Ginsburg, “Women belong to all places where decisions are being made”, baik di tempat kerja yang mampu membiayai cicilan rumah Rp 50 juta sebulan atau dihargai keputusannya dalam hubungan rumah tangga yang sehat.
Selain itu, ini juga soal sistem dan struktur yang menciptakan kesenjangan akses dan pendapatan bagi perempuan. Jika perempuan bisa mengakses alat-alat produksi (pekerjaan, modal, dan lain-lain) dengan lebih baik dan nyaman ketika melakukan hal tersebut, semoga di masa depan kita akan lebih sering mendengar perempuan berseloroh, “Ngapain gue tidur sama laki orang, walaupun dia kaya? Mending gue jadi anggota DPR aja atau bikin usaha, biar cepet kaya.” | voxpop.id
Tentu ini bukan pertama kali saya mendengar selorohan macam ini. Bahkan, bibi saya juga sering berpesan, kalau cari suami harus yang mapan, yang mampu membiayai hidup kita.
Lain waktu, adik perempuan nenek saya mengomentari pilihan saya untuk bersekolah. Katanya, perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, apalagi sampai S2 dan S3, karena gelar tidak berguna. Katanya lagi, perempuan yang penting harus jago menjaga diri, menjaga rumah, dan menjaga anak. Perempuan juga harus pandai memasak dan pandai membawa diri agar tidak mempermalukan suami kalau diajak ke acara-acara.
Saya yakin saya bukan satu-satunya yang sering mendengar atau dinasihati untuk menggantungkan hidup kepada laki-laki. Seolah-olah kita lahir dan dibesarkan oleh orangtua cuma sebagai persiapan untuk dapat menjadi istri dan ibu.
Tentu tak ada yang salah dengan menjadi istri dan ibu, tak ada yang salah jika ada perempuan atau laki-laki yang tak suka bekerja dan lebih suka di rumah. Persoalannya adalah ketika kita tidak diberi ruang untuk mengakses pilihan-pilihan lain.
Sementara, persoalan akses, pertama-tama adalah persoalan pola pikir, baik individu maupun masyarakat. Karena pola pikir jugalah yang nantinya akan membentuk norma dan nilai-nilai di masyarakat.
Sebab itu, tak heran jika banyak perempuan yang kemudian merasa cara tepat dan mudah untuk dapat meraih posisi ekonomi tertentu dan keamanan materi adalah dengan cara menerima uang dari laki-laki, baik dalam ataupun tanpa lembaga pernikahan.
Meski tak semua, tetapi masih banyak perempuan yang dididik untuk suatu saat dapat mengandalkan suami, juga dididik untuk merasa tidak mampu mandiri dalam hal keuangan. Pola pikir ini begitu mandarah daging, sehingga sudah sering kita mendengar ‘bercandaan’ dari perempuan “sudah capek kerja, pinginnya dinafkahin aja”.
Kondisi ini terefleksi dalam berbagai kesenjangan mengakses pendapatan bagi perempuan.
Dalam Laporan Perekonomian 2019, BPS mencatat kesenjangan upah laki-laki dan perempuan yang semakin lebar sepanjang 2015 hingga 2019. Selain itu, perempuan juga tidak banyak menempati posisi kunci pengambilan keputusan.
Apalagi, meski populasi laki-laki dan perempuan di Indonesia berimbang dengan jumlah laki-laki sedikit lebih banyak, partisipasi ekonomi perempuan dan laki-laki tidaklah berimbang. Maksud dari partisipasi ekonomi di sini adalah persentase jumlah orang yang terlibat dalam perekonomian (bekerja, berdagang, dan lain-lain). Saat ini, hanya ada 54% perempuan dan 84% laki-laki.
Laporan yang sama juga menunjukkan adanya kesenjangan politik antara laki-laki dan perempuan, yaitu rendahnya keterwakilan perempuan. Meskipun saya percaya keterwakilan perempuan seharusnya lebih menghitung keterwakilan pola pikir yang mengamini pengarusutamaan kesetaraan gender, namun saya belum melihat bapak-bapak di parlemen kita sudah bisa mengamini kesetaraan gender. Saat ini, representasi perempuan di parlemen dan kabinet berturut-turut hanya 17% dan 24%.
Bisa jadi kesenjangan-kesenjangan ini semakin mengamini perempuan yang ingin berselingkuh dengan pria mapan. Bagi perempuan, sudah aksesnya lebih susah, digaji lebih kecil, jenjang karier lebih terbatas pula. Mending jadi peselingkuh saja?
Tentunya, saya tidak menyukai istilah ‘pelakor’. Istilah ‘pelakor’ terkesan mengibliskan perempuan. Kalau ada pelakor harusnya ada petrisor alias perebut istri orang. Akan tetapi, pelakor dan petrisor tidak perlu ada karena manusia bukanlah objek yang tidak punya agensi dalam memilih.
Istilah peselingkuh lebih netral, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Peselingkuh menunjukkan keduanya sama-sama aktif menyeleweng, baik menyeleweng dari pasangannya atau pasangan orang.
Kembali lagi ke persoalan perselingkuhan lantaran materi. Sebab itu, pertama-tama harus ada peningkatan akses perempuan terhadap ekonomi. Untuk dapat meningkatkan akses perempuan terhadap perekonomian, pola pikir kita harus diubah. Alih-alih melihat ‘habitat asli’ perempuan hanya semata sumur-dapur-kasur, kita harus mulai berani melihat perempuan berada di mana pun yang dia kehendaki.
Karena seperti kata Hakim Ruth Bader Ginsburg, “Women belong to all places where decisions are being made”, baik di tempat kerja yang mampu membiayai cicilan rumah Rp 50 juta sebulan atau dihargai keputusannya dalam hubungan rumah tangga yang sehat.
Selain itu, ini juga soal sistem dan struktur yang menciptakan kesenjangan akses dan pendapatan bagi perempuan. Jika perempuan bisa mengakses alat-alat produksi (pekerjaan, modal, dan lain-lain) dengan lebih baik dan nyaman ketika melakukan hal tersebut, semoga di masa depan kita akan lebih sering mendengar perempuan berseloroh, “Ngapain gue tidur sama laki orang, walaupun dia kaya? Mending gue jadi anggota DPR aja atau bikin usaha, biar cepet kaya.” | voxpop.id