Patroli tentara Belanda di Binjai, Sumatera Utara . Foto: gahetna.nl. |
KOTA Binjai pada 13 Juli 1949 tampak lengang. Prajurit I.J.C Hermans masih ingat hari itu cuaca cerah dan kelihatannya begitu aman, damai dan tentram. Namun menjelang petang, keadaan di markas militer Belanda mendadak berubah penuh hiruk-pikuk.
“Seorang prajurit dalam keadaan terengah-terengah melapor pada komandan setempat di Binjai. Sang komandan melihat dengan keheranan seorang asing yang tiba-tiba muncul di hadapannya, berpakaian hanya bercelana dalam saja,” kenang Hermans dalam “Ups and Downs in Kompani Doea” termuat dalam kumpulan tulisan Gedenkboek 5—11 RI.
Si prajurit yang cuma mengenakan sempak itu bernama Jan van Thoor. Thoor adalah seorang dari anggota kolone perbekalan Belanda yang hendak menuju Desa Telagah, di Langkat Hulu. Dia merupakan salah satu korban penghadangan yang terjadi di Bukit Gelugur, Rumah Galuh dekat kampung Keriahen, Tanah Karo.
Menurut pengakuan Thoor, saat sedang dalam dalam perjalanan ke Telagah, tiba-tiba kelompoknya diserbu dan segera dilumpuhkan tanpa perlawanan. Yang masih hidup ditawan dan dilucuti. Perbekalan yang mereka bawa dirampas oleh pasukan penyergap. Tak hanya senjata, pakaian yang dikenakan tentara Belanda itu turut dilucuti hingga hanya menyisakan celana dalam.
Beberapa nama serdadu yang tertangkap dalam penyergapan adalah Dr. van Bommel, Sersan Donken, Sjengske Vaes, Jan Wolfs, van Galen, Gerrit Stoffelen – termasuk van Thoor yang berhasil menyelamatkan diri. Mereka berasal dari Kompi 2 Batalion 5-11, unit pasukan yang didatangkan dari negeri Belanda yang pernah menghadapi Jerman dalam Perang Dunia II.
Menurut veteran tentara pelajar Amran Zamzami dalam memoar Jihad Akbar di Medan Area, Batalion 5-11 merupakan pasukan infantri yang beroperasi di jalur Binjai-Tanjung Pura dan sekitarnya. Unit tentara Belanda ini dibantu pasukan lokal yang berpihak pada Belanda bernama Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur (NST). Saat terjadi penyergapan di Langkat, nasib mereka tidak dapat dipastikan. Namun berdasarkan kesaksian Thoor, banyak tentara Belanda yang terluka berat.
“….. kami berhari-hari melakukan patroli yang melelahkan untuk mencari mereka. Tiap kali kami berangkat dengan penuh pengharapan, pada waktu pulang kami selalu merasa terpukul karena tidak menemukan hasilnya,” demikian catatan Hermans mengenai situasi pasca penyergapan.
Terjebak di Basis Gerilya
Penyergapan terjadi karena tentara Belanda berada di wilayah berbahaya. Mereka memasuki sarang lawannya. Dalam buku Kadet Berastagi yang disunting Arifin Pulungan, Desa Telagah adalah pintu keluar masuk orang-orang gunung dan gerilyawan tentara Indonesia yang ingin melintas ke dataran tinggi Tanah Karo melalui jalan-jalan tikus (jalan setapak).
“Sebenarnya apa yang terjadi pada tanggal 13 Juli1949 dalam peristiwa penelanjangan serdadu Belanda di Desa Telagah adalah hasil penyergapan pasukan TNI Kompi Mohammad Yusuf Husein dari Batalion Nip Xarim yang berlokasi di daerah kantong ini. Dan pasukan yang menyergap itu adalah peletonnya Lukman Husin,” tulis Arifin Pulungan.
Setelah pertempuran berlangsung selama satu jam, tentara Belanda kewalahan. Begitu mereka menyampaikan isyarat menyerah, pasukan gerilya TNI segera menyerbu ke jalan raya dan melucuti senjata tentara Belanda tersebut. Dalam catatan A.R Surbakti, veteran perang kemerdekaan di Tanah Karo, sebanyak 3 orang tentara Belanda dapat ditewaskan 3 orang lagi dapat ditawan.
“Dua pucuk senjata otomatik dan 6 pucuk karaben dirampas dan sebuah truk dibakar,” tulis Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Di Tanah Karo-Karo dan Dairi Area. Menurut Surbakti, sejak Januari 1949 memang telah digencarkan operasi penyerangan untuk merebut pos pertahanan Belanda di sepanjang garis status quo. Pada bulan April setiap batalion mengatur giliran kompi-kompinya untuk menyusup dan beroperasi ke daerah pendudukan Belanda.
Tawanan dan Korban
Selain tentara Belanda, beberapa pasukan dari Barisan Pengawal NST juga turut menjadi korban penyergapan. Sejak itu, tentara Belanda intensif melakukan pencarian. Menyadari keselamatan tentaranya yang terancam, pesawat-pesawat capung (pipercub) Belanda mendrop obat-obatan serta bahan-bahan pembalut luka untuk pertolongan pertama di kawasan sekitar Desa Telaga. Namun selama berhari-hari kemudian tidak diperoleh berita perihal tentara Belanda yang tertawan.
Pihak Belanda sendiri bukannya tidak melawan. Dalam pertempuran itu, dua orang gerilyawan TNI gugur. Mereka bernama Kopral Dahlan dan Prajurit Azis. Keduanya dikebumikan di kampung Gurubenua, Tanah Karo.
Saat diumumkan gencatan senjata pada 15 Agustus 1949, barulah diketahui nasib tentara Belanda yang selamat dalam tawanan. Semua yang tertawan dipulangkan secara bertahap. Pada bulan Oktober, pihak tentara Indonesia memulangkan van Galen dan Stoffelen. Kemudian menyusul Dr. van Bommel dan Sersan Donken.
Prajurit Wolfs dan Vaes dipastikan tewas akibat luka-luka. Jenazah Wolfs diketemukan dan kemudian dimakamkan di pekuburan Belanda Padang Bulan, Medan. Sedangkan jenazah Vaes, secara resmi dinyatakan hilang. [historia.id]
“Seorang prajurit dalam keadaan terengah-terengah melapor pada komandan setempat di Binjai. Sang komandan melihat dengan keheranan seorang asing yang tiba-tiba muncul di hadapannya, berpakaian hanya bercelana dalam saja,” kenang Hermans dalam “Ups and Downs in Kompani Doea” termuat dalam kumpulan tulisan Gedenkboek 5—11 RI.
Si prajurit yang cuma mengenakan sempak itu bernama Jan van Thoor. Thoor adalah seorang dari anggota kolone perbekalan Belanda yang hendak menuju Desa Telagah, di Langkat Hulu. Dia merupakan salah satu korban penghadangan yang terjadi di Bukit Gelugur, Rumah Galuh dekat kampung Keriahen, Tanah Karo.
Menurut pengakuan Thoor, saat sedang dalam dalam perjalanan ke Telagah, tiba-tiba kelompoknya diserbu dan segera dilumpuhkan tanpa perlawanan. Yang masih hidup ditawan dan dilucuti. Perbekalan yang mereka bawa dirampas oleh pasukan penyergap. Tak hanya senjata, pakaian yang dikenakan tentara Belanda itu turut dilucuti hingga hanya menyisakan celana dalam.
Beberapa nama serdadu yang tertangkap dalam penyergapan adalah Dr. van Bommel, Sersan Donken, Sjengske Vaes, Jan Wolfs, van Galen, Gerrit Stoffelen – termasuk van Thoor yang berhasil menyelamatkan diri. Mereka berasal dari Kompi 2 Batalion 5-11, unit pasukan yang didatangkan dari negeri Belanda yang pernah menghadapi Jerman dalam Perang Dunia II.
Menurut veteran tentara pelajar Amran Zamzami dalam memoar Jihad Akbar di Medan Area, Batalion 5-11 merupakan pasukan infantri yang beroperasi di jalur Binjai-Tanjung Pura dan sekitarnya. Unit tentara Belanda ini dibantu pasukan lokal yang berpihak pada Belanda bernama Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur (NST). Saat terjadi penyergapan di Langkat, nasib mereka tidak dapat dipastikan. Namun berdasarkan kesaksian Thoor, banyak tentara Belanda yang terluka berat.
“….. kami berhari-hari melakukan patroli yang melelahkan untuk mencari mereka. Tiap kali kami berangkat dengan penuh pengharapan, pada waktu pulang kami selalu merasa terpukul karena tidak menemukan hasilnya,” demikian catatan Hermans mengenai situasi pasca penyergapan.
Terjebak di Basis Gerilya
Penyergapan terjadi karena tentara Belanda berada di wilayah berbahaya. Mereka memasuki sarang lawannya. Dalam buku Kadet Berastagi yang disunting Arifin Pulungan, Desa Telagah adalah pintu keluar masuk orang-orang gunung dan gerilyawan tentara Indonesia yang ingin melintas ke dataran tinggi Tanah Karo melalui jalan-jalan tikus (jalan setapak).
“Sebenarnya apa yang terjadi pada tanggal 13 Juli1949 dalam peristiwa penelanjangan serdadu Belanda di Desa Telagah adalah hasil penyergapan pasukan TNI Kompi Mohammad Yusuf Husein dari Batalion Nip Xarim yang berlokasi di daerah kantong ini. Dan pasukan yang menyergap itu adalah peletonnya Lukman Husin,” tulis Arifin Pulungan.
Setelah pertempuran berlangsung selama satu jam, tentara Belanda kewalahan. Begitu mereka menyampaikan isyarat menyerah, pasukan gerilya TNI segera menyerbu ke jalan raya dan melucuti senjata tentara Belanda tersebut. Dalam catatan A.R Surbakti, veteran perang kemerdekaan di Tanah Karo, sebanyak 3 orang tentara Belanda dapat ditewaskan 3 orang lagi dapat ditawan.
“Dua pucuk senjata otomatik dan 6 pucuk karaben dirampas dan sebuah truk dibakar,” tulis Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Di Tanah Karo-Karo dan Dairi Area. Menurut Surbakti, sejak Januari 1949 memang telah digencarkan operasi penyerangan untuk merebut pos pertahanan Belanda di sepanjang garis status quo. Pada bulan April setiap batalion mengatur giliran kompi-kompinya untuk menyusup dan beroperasi ke daerah pendudukan Belanda.
Tawanan dan Korban
Selain tentara Belanda, beberapa pasukan dari Barisan Pengawal NST juga turut menjadi korban penyergapan. Sejak itu, tentara Belanda intensif melakukan pencarian. Menyadari keselamatan tentaranya yang terancam, pesawat-pesawat capung (pipercub) Belanda mendrop obat-obatan serta bahan-bahan pembalut luka untuk pertolongan pertama di kawasan sekitar Desa Telaga. Namun selama berhari-hari kemudian tidak diperoleh berita perihal tentara Belanda yang tertawan.
Pihak Belanda sendiri bukannya tidak melawan. Dalam pertempuran itu, dua orang gerilyawan TNI gugur. Mereka bernama Kopral Dahlan dan Prajurit Azis. Keduanya dikebumikan di kampung Gurubenua, Tanah Karo.
Saat diumumkan gencatan senjata pada 15 Agustus 1949, barulah diketahui nasib tentara Belanda yang selamat dalam tawanan. Semua yang tertawan dipulangkan secara bertahap. Pada bulan Oktober, pihak tentara Indonesia memulangkan van Galen dan Stoffelen. Kemudian menyusul Dr. van Bommel dan Sersan Donken.
Prajurit Wolfs dan Vaes dipastikan tewas akibat luka-luka. Jenazah Wolfs diketemukan dan kemudian dimakamkan di pekuburan Belanda Padang Bulan, Medan. Sedangkan jenazah Vaes, secara resmi dinyatakan hilang. [historia.id]
loading...
Post a Comment