Al-Tusi, Astronom Muslim Terkemuka dari Persia
Header Al Hasan Nasruddin Ath Thusi. tirto.id/Sabit |
Biografi - Nasiruddin al-Tusi atau bernama lengkap Abu Jafar Muhammad Ibn Muhammad Ibnu Al Hasan Nasiruddin Al-Tusi adalah seorang ilmuwan serba bisa dari Persia. Ia lahir pada 18 Februari 1201 Masehi di Kota Tus yang terletak di dekat Mashed, Persia (sekarang sebelah timur laut Iran).
Sebagai seorang ilmuwan yang tersohor pada zamannya, al-Tusi memiliki banyak nama, antara lain Muhaqqiq, Khuwaja Thusi, Khuwaja Nasir, al-Din Tusi, dan (di Barat dikenal sebagai) Tusi.
Di masa kecilnya, al-Tusi digembleng ilmu pengetahuan oleh ayahnya Muhammad Ibn al Hasan yang berprofesi sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua Belas, sekte utama muslim Syiah. Selain digembleng ilmu agama, ia mempelajari Fiqih, Ushul Fiqih, Hikmah, dan Kalam, terutama pemikiran Ibnu Sina dari Mahdar Fariduddin Damad dan matematika dari Muhammad Hasib. Al-Tusi akhirnya menyelesaikan pendidikannya di Nihshapur, sekitar 75 kilometer barat Mashed.
Ia kemudian pergi ke Bagdad, yang pernah menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan peradaban Islam. Di sana, ia mempelajari lagi ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutbuddin dan juga matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan fiqih serta ushul dari Salim bin Bardan.
Semasa hidupnya, Tusi mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan seperti astronomi, biologi, kimia, metamatika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama islam.
Menurut O'Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan diperoleh dari pamannya begitu berpengaruh pada perkembangan intelektualnya. Al-Tusi lahir pada abad ke-13, saat dunia Islam mengalami era sulit. Pada zaman itu, militer Mongol menginvasi wilayah kekuasaan Islam yang begitu luas. Kota-kota dihancurkan dan penduduknya dibantai oleh tentara Mongol. Hilangnya rasa aman dan ketenangan menyebabkan banyak ilmuwan sulit mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1220 masehi, invasi militer Mongol telah mencapai kota Tus, tempat Tusi dilahirkan. Kota itu pun dihancurkan. Di tengah situasi tak jelas, penguasa Islamiyah Abdurahim mengajak sang ilmuwan bergabung. Tawaran itu pun tak disia-siakan oleh al-Tusi. Ia bergabung menjadi salah satu pejabat Istana Islamiyah. Ia kemudian mengisi waktunya dengan beragam karya penting tentang astronomi, filsafat, logika serta matematika.
Akhirnya, pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan (cucu Jengis Khan) berhasil menguasai Istana pada 1256 dan meluluhlantakannya. Beruntung, nyawa al-Tusi selamat karena Hulagu sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan, khususnya astronomi. Tusi diangkat Hulagu menjadi penasihat ilmiah bagi pasukan Mongol, dan tak lama kemudian ia pun menikah dengan orang Mongol.
Posisi istimewa al-Tusi membuatnya merencanakan pembangunan The National Research Institute Astronomical Observatory atau disebut Observatorium Rasad Khaneh di Maragha. Perencanaan itu ia ungkapkan kepada Hulagu yang kemudian menyetujui keinginan ilmuwan Persia tersebut.
Hulagu saat itu telah menjadikan wilayah Maragha yang berada di wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahnya. Kepercayaan Hulagu kepada Al-Tusi membuat pemimpin tertinggi Mongol tersebut mendukung pembangunan observatorium megah pada 1259. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1262, gedung Observatorium Maragha selesai.
Observatorium itu terletak di ketinggian barat Maragha, Provinsi Azerbaijan Timur, Iran, yang pernah dianggap sebagai salah satu observatorium paling bergengsi di dunia. Menurut Raghib As Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, observatorium ini kemudian menjadi pegangan para ilmuwan Eropa di bidang astronomi.
Bangunan yang kini berbentuk setengah bola berwarna putih tersebut menjadi yang terbesar di masanya, terdiri dari serangkaian bangunan berukuran lebar 150 meter dan panjang 350 meter. Salah satu ciri khas bangunan ini adalah sebuah kubah yang memungkinkan sinar matahari memasukinya.
Sebagai seorang ilmuwan yang tersohor pada zamannya, al-Tusi memiliki banyak nama, antara lain Muhaqqiq, Khuwaja Thusi, Khuwaja Nasir, al-Din Tusi, dan (di Barat dikenal sebagai) Tusi.
Di masa kecilnya, al-Tusi digembleng ilmu pengetahuan oleh ayahnya Muhammad Ibn al Hasan yang berprofesi sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua Belas, sekte utama muslim Syiah. Selain digembleng ilmu agama, ia mempelajari Fiqih, Ushul Fiqih, Hikmah, dan Kalam, terutama pemikiran Ibnu Sina dari Mahdar Fariduddin Damad dan matematika dari Muhammad Hasib. Al-Tusi akhirnya menyelesaikan pendidikannya di Nihshapur, sekitar 75 kilometer barat Mashed.
Ia kemudian pergi ke Bagdad, yang pernah menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak keemasan peradaban Islam. Di sana, ia mempelajari lagi ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutbuddin dan juga matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan fiqih serta ushul dari Salim bin Bardan.
Semasa hidupnya, Tusi mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan seperti astronomi, biologi, kimia, metamatika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama islam.
Menurut O'Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan diperoleh dari pamannya begitu berpengaruh pada perkembangan intelektualnya. Al-Tusi lahir pada abad ke-13, saat dunia Islam mengalami era sulit. Pada zaman itu, militer Mongol menginvasi wilayah kekuasaan Islam yang begitu luas. Kota-kota dihancurkan dan penduduknya dibantai oleh tentara Mongol. Hilangnya rasa aman dan ketenangan menyebabkan banyak ilmuwan sulit mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1220 masehi, invasi militer Mongol telah mencapai kota Tus, tempat Tusi dilahirkan. Kota itu pun dihancurkan. Di tengah situasi tak jelas, penguasa Islamiyah Abdurahim mengajak sang ilmuwan bergabung. Tawaran itu pun tak disia-siakan oleh al-Tusi. Ia bergabung menjadi salah satu pejabat Istana Islamiyah. Ia kemudian mengisi waktunya dengan beragam karya penting tentang astronomi, filsafat, logika serta matematika.
Akhirnya, pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan (cucu Jengis Khan) berhasil menguasai Istana pada 1256 dan meluluhlantakannya. Beruntung, nyawa al-Tusi selamat karena Hulagu sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan, khususnya astronomi. Tusi diangkat Hulagu menjadi penasihat ilmiah bagi pasukan Mongol, dan tak lama kemudian ia pun menikah dengan orang Mongol.
Posisi istimewa al-Tusi membuatnya merencanakan pembangunan The National Research Institute Astronomical Observatory atau disebut Observatorium Rasad Khaneh di Maragha. Perencanaan itu ia ungkapkan kepada Hulagu yang kemudian menyetujui keinginan ilmuwan Persia tersebut.
Hulagu saat itu telah menjadikan wilayah Maragha yang berada di wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahnya. Kepercayaan Hulagu kepada Al-Tusi membuat pemimpin tertinggi Mongol tersebut mendukung pembangunan observatorium megah pada 1259. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1262, gedung Observatorium Maragha selesai.
Observatorium itu terletak di ketinggian barat Maragha, Provinsi Azerbaijan Timur, Iran, yang pernah dianggap sebagai salah satu observatorium paling bergengsi di dunia. Menurut Raghib As Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, observatorium ini kemudian menjadi pegangan para ilmuwan Eropa di bidang astronomi.
Bangunan yang kini berbentuk setengah bola berwarna putih tersebut menjadi yang terbesar di masanya, terdiri dari serangkaian bangunan berukuran lebar 150 meter dan panjang 350 meter. Salah satu ciri khas bangunan ini adalah sebuah kubah yang memungkinkan sinar matahari memasukinya.
Observatorium Maragha
Ada misi penting yang membuat Tusi meminta Hulagu membangun observatorium, yakni agar tabel astronomi yang mampu memberikan prediksi tabel lebih tepat bisa disusun. Maka, bisa dibilang Observatorium Maragha merupakan sumbangan monumental al-Tusi yang sangat besar di bidang astronomi.
Pembangunan dan operasional observatorium melibatkan sarjana dari Persia dibantu astronom dari Cina. Teknologi yang digunakan pun tergolong canggih pada zamannya. Peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan ternyata merupakan penemuan al-Tusi, salah satunya adalah Kuadran Azimuth.
Selama 12 tahun menjabat sebagai pemimpin observatorium, al-Tusi berhasil membuat tabel planet seperti yang digambarkan dalam bukunya Zij-i ilkhani (Ilkhan Tables). Buku tersebut berisikan tabel astronomi untuk mengkalkulasi posisi planet dan nama-nama bintang. Model yang dihasilkan untuk sistem planet diyakini sebagai suatu yang sangat maju pada jamannya, dan digunakan secara ekstensif sampai berkembangnya model heliosentris pada masa Nicolaus Copernicus, astronom berkebangsaan Polandia.
Observatorium ini juga memiliki perpustakaan dengan 400 ribu jilid buku dalam semua bidang ilmu pengetahuan. Di tempat itu, al-Tusi tak hanya mengembangkan bidang astronomi saja, ia pun turut mengembangkan filsafat dan matematika. Selanjutnya