Biografi - Peristiwa Geger Pacinan yang terjadi selama 13 hari pada bulan Oktober 1740 mengisi lembar-lembar sejarah Batavia dengan jejak darah. Di ibukota Hindia Belanda yang dikuasai VOC itu, telah berlangsung aksi pembantaian massal terhadap warga etnis Tionghoa.
Ribuan orang Cina, termasuk peranakan, meregang nyawa dibantai serdadu Belanda, banyak di antara mereka yang disembelih secara sadis di halaman belakang Balai Kota Batavia. Tercatat, 5.000-10.000 jiwa menjadi korban tewas, belum termasuk yang dipenjara tanpa pengadilan, hilang tanpa jejak, atau terluka parah akibat kejadian berdarah tersebut.
Geger Pacinan disebut pula dengan istilah Tragedi Angke, merujuk nama suatu daerah di pesisir utara. Mulanya, Batavia memang dibangun di atas puing-puing kota pelabuhan Jayakarta sebelum dipindahkan lebih ke tengah atau area Jakarta Pusat sekarang.
Salah satu versi tentang asal-muasal kata Angke dicetuskan oleh Alwi Shahab (2002:103) dalam buku Betawi: Queen of the East. Menurutnya, kata Angke berasal dari salah satu ragam bahasa Cina, Hokkian, yakni “ang" atau “merah” dan “ke” yang artinya “sungai”. Dengan demikian, "Angke” dapat dimaknai sebagai “sungai merah”, warna dari darah orang-orang Tionghoa yang dibantai pada 1740 itu.
Dan, orang yang harus bertanggungjawab atas berlangsungnya tindak penghancuran etnis yang mirip dengan aksi genosida beraroma SARA tersebut adalah sang gubernur jenderal, Adriaan Valckenier.
Jejak Karier Sang Penguasa
Adriaan Valckenier adalah putra daerah Amsterdam, ia dilahirkan di ibukota Belanda itu pada 6 Juni 1695. Keluarga Valckenier memang kadung lekat dengan kekuasaan. Ayah Adriaan merupakan anggota Dewan Kota sekaligus pejabat VOC yang bekerja di Amsterdam, kantor pusat perusahaan dagang Hindia Timur itu. Sedangkan kakeknya, Gillis Valckenier, pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Setelah merintis karier di kota kelahirannya, Adriaan Valckenier meninggalkan Amsterdam pada 22 Oktober 1714 menuju Hindia Belanda. Tanggal 21 Juni 1715, ia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Batavia, dan mulai mengabdi untuk VOC yang sudah menancapkan pengaruhnya di bekas bandar dagang Sunda Kelapa itu.
Karier politik Valckenier dimulai pada 1730 ketika dirinya diangkat sebagai anggota Dewan Hindia atau Raad Extra Ordinair alias semacam parlemen luar biasa VOC. Hanya dalam waktu 3 tahun, ia sudah menjadi anggota dewan secara penuh. Pada 1736 atau saat menapak usia matang yakni 41 tahun, Valckenier masuk ke jajaran tim penasihat Gubernur Jenderal VOC saat itu, Abraham Patras, yang menjabat sejak 11 Maret 1735.
Tanggal 3 Mei 1737, Abraham Patras meninggal dunia. Adriaan Valckenier pun langsung ditunjuk sebagai penggantinya di waktu yang sama. Ia menjadi Gubernur Jenderal VOC ke-25. Ini adalah jabatan paling istimewa untuk menyebut penguasa tertinggi di Hindia Timur (Indonesia).
Geger Cina di Batavia
Semua bermula dari serbuan imigran dari negeri Cina yang kian berdatangan ke Batavia di awal abad ke-18. Sebenarnya, dibukanya Batavia untuk orang luar sudah dimulai pada masa Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon (1720-1725) yang bahkan sampai merumuskan jabatan baru yakni Kapitan Cina untuk mengatur masyarakat etnis Tionghoa di Batavia dan wilayah-wilayah lainnya di Hindia Belanda.
Ketika Adriaan Valckenier menjabat sejak 1737, populasi orang Cina di Batavia meningkat pesat seiring lesunya perekonomian dunia yang menjalar hingga ke Hindia Belanda. Salah satu indikasinya adalah lemahnya VOC dalam persaingan perdagangan gula dengan Brasil (Greg Purcell, South East Asia Since 1800, 1965:14).
Itu belum termasuk kesulitan yang juga menyerang aspek-aspek ekonomi lainnya. Jumlah pengangguran di Batavia pun melesat. Kondisi bertambah runyam karena kaum pendatang dari Cina semakin memadati kota. Yang bermukim di dalam tembok kota saja ada sekitar 4.000 orang, sedangkan yang di luar benteng tidak kurang dari 10.000 orang.
Untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi kepadatan penduduk di Batavia, Adriaan Valckenier kemudian mengirimkan orang-orang Cina, terutama mereka yang belum punya pekerjaan, ke Sri Lanka, juga ke wilayah Afrika Selatan yang diduduki VOC (Paul H. Kratoska, South East Asia, Colonial History: Imperialism Before 1800, 2001:122).
Saat rencana tersebut mulai berjalan, terdengar kabar yang meresahkan. Beredar rumor bahwa orang-orang Cina yang dikirim ke Sri Lanka atau Afrika Selatan dengan kapal itu justru dilemparkan ke laut sebelum sampai ke tempat tujuan (Jocelyn Armstrong, et.al., Chinese Populations in Contemporary Southeast Asian Societies, 2001:32).
Kabar yang belum jelas kebenarannya itu tak pelak memantik kepanikan di kalangan bangsa Cina yang masih bertahan di Batavia. Gerakan perlawanan untuk menentang kebijakan Gubernur Jenderal mulai menyeruak.
Ribuan orang Cina, termasuk peranakan, meregang nyawa dibantai serdadu Belanda, banyak di antara mereka yang disembelih secara sadis di halaman belakang Balai Kota Batavia. Tercatat, 5.000-10.000 jiwa menjadi korban tewas, belum termasuk yang dipenjara tanpa pengadilan, hilang tanpa jejak, atau terluka parah akibat kejadian berdarah tersebut.
Geger Pacinan disebut pula dengan istilah Tragedi Angke, merujuk nama suatu daerah di pesisir utara. Mulanya, Batavia memang dibangun di atas puing-puing kota pelabuhan Jayakarta sebelum dipindahkan lebih ke tengah atau area Jakarta Pusat sekarang.
Salah satu versi tentang asal-muasal kata Angke dicetuskan oleh Alwi Shahab (2002:103) dalam buku Betawi: Queen of the East. Menurutnya, kata Angke berasal dari salah satu ragam bahasa Cina, Hokkian, yakni “ang" atau “merah” dan “ke” yang artinya “sungai”. Dengan demikian, "Angke” dapat dimaknai sebagai “sungai merah”, warna dari darah orang-orang Tionghoa yang dibantai pada 1740 itu.
Dan, orang yang harus bertanggungjawab atas berlangsungnya tindak penghancuran etnis yang mirip dengan aksi genosida beraroma SARA tersebut adalah sang gubernur jenderal, Adriaan Valckenier.
Jejak Karier Sang Penguasa
Adriaan Valckenier adalah putra daerah Amsterdam, ia dilahirkan di ibukota Belanda itu pada 6 Juni 1695. Keluarga Valckenier memang kadung lekat dengan kekuasaan. Ayah Adriaan merupakan anggota Dewan Kota sekaligus pejabat VOC yang bekerja di Amsterdam, kantor pusat perusahaan dagang Hindia Timur itu. Sedangkan kakeknya, Gillis Valckenier, pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Setelah merintis karier di kota kelahirannya, Adriaan Valckenier meninggalkan Amsterdam pada 22 Oktober 1714 menuju Hindia Belanda. Tanggal 21 Juni 1715, ia menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Batavia, dan mulai mengabdi untuk VOC yang sudah menancapkan pengaruhnya di bekas bandar dagang Sunda Kelapa itu.
Karier politik Valckenier dimulai pada 1730 ketika dirinya diangkat sebagai anggota Dewan Hindia atau Raad Extra Ordinair alias semacam parlemen luar biasa VOC. Hanya dalam waktu 3 tahun, ia sudah menjadi anggota dewan secara penuh. Pada 1736 atau saat menapak usia matang yakni 41 tahun, Valckenier masuk ke jajaran tim penasihat Gubernur Jenderal VOC saat itu, Abraham Patras, yang menjabat sejak 11 Maret 1735.
Tanggal 3 Mei 1737, Abraham Patras meninggal dunia. Adriaan Valckenier pun langsung ditunjuk sebagai penggantinya di waktu yang sama. Ia menjadi Gubernur Jenderal VOC ke-25. Ini adalah jabatan paling istimewa untuk menyebut penguasa tertinggi di Hindia Timur (Indonesia).
Geger Cina di Batavia
Semua bermula dari serbuan imigran dari negeri Cina yang kian berdatangan ke Batavia di awal abad ke-18. Sebenarnya, dibukanya Batavia untuk orang luar sudah dimulai pada masa Gubernur Jenderal Hendrick Zwaardecroon (1720-1725) yang bahkan sampai merumuskan jabatan baru yakni Kapitan Cina untuk mengatur masyarakat etnis Tionghoa di Batavia dan wilayah-wilayah lainnya di Hindia Belanda.
Ketika Adriaan Valckenier menjabat sejak 1737, populasi orang Cina di Batavia meningkat pesat seiring lesunya perekonomian dunia yang menjalar hingga ke Hindia Belanda. Salah satu indikasinya adalah lemahnya VOC dalam persaingan perdagangan gula dengan Brasil (Greg Purcell, South East Asia Since 1800, 1965:14).
Itu belum termasuk kesulitan yang juga menyerang aspek-aspek ekonomi lainnya. Jumlah pengangguran di Batavia pun melesat. Kondisi bertambah runyam karena kaum pendatang dari Cina semakin memadati kota. Yang bermukim di dalam tembok kota saja ada sekitar 4.000 orang, sedangkan yang di luar benteng tidak kurang dari 10.000 orang.
Untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi kepadatan penduduk di Batavia, Adriaan Valckenier kemudian mengirimkan orang-orang Cina, terutama mereka yang belum punya pekerjaan, ke Sri Lanka, juga ke wilayah Afrika Selatan yang diduduki VOC (Paul H. Kratoska, South East Asia, Colonial History: Imperialism Before 1800, 2001:122).
Saat rencana tersebut mulai berjalan, terdengar kabar yang meresahkan. Beredar rumor bahwa orang-orang Cina yang dikirim ke Sri Lanka atau Afrika Selatan dengan kapal itu justru dilemparkan ke laut sebelum sampai ke tempat tujuan (Jocelyn Armstrong, et.al., Chinese Populations in Contemporary Southeast Asian Societies, 2001:32).
Kabar yang belum jelas kebenarannya itu tak pelak memantik kepanikan di kalangan bangsa Cina yang masih bertahan di Batavia. Gerakan perlawanan untuk menentang kebijakan Gubernur Jenderal mulai menyeruak.
Pembantaian pun Dimulai
Akhir September 1740, situasi Batavia dan sekitarnya semakin genting karena aksi perlawanan dari komunitas Cina kian sering terjadi dan cukup masif. Willem G.J. Remmelink (2002:164) dalam Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743, menuliskan bahwa orang-orang Tionghoa itu berkumpul, mempersenjatai diri, dan mulai menyerang unit-unit penting, termasuk pabrik-pabrik gula.
Adriaan Valckenier selaku Gubernur Jenderal pun menggelar rapat darurat dengan Dewan Hindia pada 26 September 1740. Hasilnya, diberikan perintah dan kuasa kepada ketua dewan yakni Gustav Willem Baron van Imhoff untuk bertindak tegas (Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008:113).
Van Imhoff sebenarnya tidak ingin menerapkan tindakan berlebihan untuk menindak pemberontakan tersebut. Rapat beberapa kali digelar lagi karena kubu kubu van Imhoff dengan pihak pendukung Valckenier masih terlibat perdebatan. Itu berlangsung hingga terdengar kabar bahwa benteng Batavia telah dikepung oleh orang-orang Cina.
Maka, aksi yang lebih beringas dari penguasa pun dimulai pada 7 Oktober 1740. Setiap orang Cina, dari bayi sampai orang tua, juga tak peduli pria atau wanita, dihabisi dengan membabi-buta. Bahkan, orang Tionghoa yang sedang dirawat di rumah sakit pun tidak luput dari pembantaian (Lilie Suratminto, “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740”, Jurnal Wacana, April 2004, h. 24).
loading...
Post a Comment