Al-Battani merupakan salah seorang ahli astronomi dan matematikawan muslim pada abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Salah satu karyanya yang cukup populer adalah Kitab al-Zij, yang pada abad ke-12 diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Scientia Stellarum atau De Motu Stellarum.
Berkat penemuannya, saat ini kita bisa mengetahui bahwa dalam setahun ada 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik (sumber lain menyebut 365,24 hari). Penemuan Al-Battani ini dianggap akurat, bahkan keakuratan pengamatan yang dilakukan Al-Battani ini membuat seorang matematikawan asal Jerman bernama Christopher Clavius menggunakannya untuk memperbaiki kalender Julian.
Atas izin Paus Gregorius XIII, kalender lama akhirnya diubah menjadi kalender yang baru dan mulai digunakan pada tahun 1582. Kalender inilah yang kemudian banyak digunakan oleh masyarakat hingga saat ini (Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).
Pengikut dan Penyempurna Teori Ptolomeus
Al-Battani lahir sekitar tahun 858, di Harran. Ia memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-Battani. Orang Eropa menyebut Al-Battani dengan sebutan Albategnius.
Ia adalah anak dari ilmuwan astronomi, Jabir Ibn San'an Al-Battani. Keluarga Al-Battani merupakan penganut sekte Sabian yang melakukan ritual penyembahan terhadap bintang. Namun, Al-Battani tidak mengikuti jejak nenek moyangnya. Ia memilih memeluk agama Islam.
Secara informal, Al-Battani dididik ayahnya yang juga seorang ilmuwan. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya pada bidang keilmuan yang digeluti ayahnya. Ketertarikan pada benda-benda yang ada di langit membuat Al-Battani kemudian menekuni bidang astronomi tersebut.
Kemudian, Al-Battani kecil mengikuti keluarganya pindah ke Raqqah. Di tempat baru ini ia mulai menekuni bidang astronomi, mulai dari melakukan beragam penelitian hingga menemukan berbagai penemuan cemerlang. Sayang, tidak ada data spesifik mengenai pendidikan formal Al-Battani. Misalnya, tidak ada data yang menyebutkan di mana Al-Battani belajar sains (Frank N. Magill (ed), The Middle Ages: Dictionary of World Biography, Volume 2, 1998).
Dalam literatur hanya disebutkan bahwa semasa mudanya Al-Battani belajar di Raqqah. Di tempat barunya itu, ia tekun mempelajari teks-teks kuno, khususnya karya Ptolomeus, yang kemudian menuntunnya untuk terus mempelajari astronomi. Bidang keilmuan yang ditekuninya itu kelak membuatnya menjadi terkenal tidak hanya di kalangan umat Muslim, melainkan juga di dunia Barat.
Al-Battani terpesona dengan teori kosmologi geosentris yang berkembang pertama kali di Yunani. Meskipun Al-Battani adalah pengikuti teori kosmologi geosentris Ptolomeus, namun data observasinya berjasa bagi Nicholas Copernicus untuk mengembangkan teori kosmologi heliosentris yang turut mempelopori revolusi sain pada abad ke-16 dan 17.
Seperti Astronom Arab lainnya, Al-Battani mengikuti tulisan-tulisan Ptolomeus dan mengabdikan dirinya untuk mengembangkan karya Ptolomeus, The Almagest. Saat mempelajari The Almagest inilah Al-Battani menemukan penemuan besar, yaitu titik Aphelium. Titik Aphelium adalah titik terjauh bumi saat mengitari matahari setiap tahunnya.
Ia menemukan bahwa posisi diameter semu matahari tidak lagi berada pada posisi yang dikemukakan oleh Ptolomeus. Penemuan ini sangat berbeda dengan teori yang disampaikan oleh Ptolomeus dan astronom Yunani sebelumnya. Namun, baik Al-Battani maupun astronom penganut Ptolomeus lainnya tidak dapat mengemukakan penjelasan di balik perbedaan tersebut.
Joseph A. Angelo menyebut bahwa Al-Battani memperbaiki tatanan tata surya, lunar, dan mengembangkan teori Ptolomeus dalam buku The Almagest menjadi lebih akurat.
Pengamatan akurat Al-Battani ini juga memungkinkan ia memperbaiki pengukuran Ptolomeus tentang kemiringan sumbu. Ia juga melakukan pengamatan lebih akurat mengenai ekuinoks (saat matahari tepat melewati garis ekuator bumi) pada awal musim gugur. Melalui pengamatan inilah Al-Battani mampu menemukan bahwa dalam setahun ada 365,24 hari (Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).SELANJUTNYA
Berkat penemuannya, saat ini kita bisa mengetahui bahwa dalam setahun ada 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik (sumber lain menyebut 365,24 hari). Penemuan Al-Battani ini dianggap akurat, bahkan keakuratan pengamatan yang dilakukan Al-Battani ini membuat seorang matematikawan asal Jerman bernama Christopher Clavius menggunakannya untuk memperbaiki kalender Julian.
Atas izin Paus Gregorius XIII, kalender lama akhirnya diubah menjadi kalender yang baru dan mulai digunakan pada tahun 1582. Kalender inilah yang kemudian banyak digunakan oleh masyarakat hingga saat ini (Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).
Pengikut dan Penyempurna Teori Ptolomeus
Al-Battani lahir sekitar tahun 858, di Harran. Ia memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan al-Raqqi al-Harrani al-Sabi al-Battani. Orang Eropa menyebut Al-Battani dengan sebutan Albategnius.
Ia adalah anak dari ilmuwan astronomi, Jabir Ibn San'an Al-Battani. Keluarga Al-Battani merupakan penganut sekte Sabian yang melakukan ritual penyembahan terhadap bintang. Namun, Al-Battani tidak mengikuti jejak nenek moyangnya. Ia memilih memeluk agama Islam.
Secara informal, Al-Battani dididik ayahnya yang juga seorang ilmuwan. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya pada bidang keilmuan yang digeluti ayahnya. Ketertarikan pada benda-benda yang ada di langit membuat Al-Battani kemudian menekuni bidang astronomi tersebut.
Kemudian, Al-Battani kecil mengikuti keluarganya pindah ke Raqqah. Di tempat baru ini ia mulai menekuni bidang astronomi, mulai dari melakukan beragam penelitian hingga menemukan berbagai penemuan cemerlang. Sayang, tidak ada data spesifik mengenai pendidikan formal Al-Battani. Misalnya, tidak ada data yang menyebutkan di mana Al-Battani belajar sains (Frank N. Magill (ed), The Middle Ages: Dictionary of World Biography, Volume 2, 1998).
Dalam literatur hanya disebutkan bahwa semasa mudanya Al-Battani belajar di Raqqah. Di tempat barunya itu, ia tekun mempelajari teks-teks kuno, khususnya karya Ptolomeus, yang kemudian menuntunnya untuk terus mempelajari astronomi. Bidang keilmuan yang ditekuninya itu kelak membuatnya menjadi terkenal tidak hanya di kalangan umat Muslim, melainkan juga di dunia Barat.
Al-Battani terpesona dengan teori kosmologi geosentris yang berkembang pertama kali di Yunani. Meskipun Al-Battani adalah pengikuti teori kosmologi geosentris Ptolomeus, namun data observasinya berjasa bagi Nicholas Copernicus untuk mengembangkan teori kosmologi heliosentris yang turut mempelopori revolusi sain pada abad ke-16 dan 17.
Seperti Astronom Arab lainnya, Al-Battani mengikuti tulisan-tulisan Ptolomeus dan mengabdikan dirinya untuk mengembangkan karya Ptolomeus, The Almagest. Saat mempelajari The Almagest inilah Al-Battani menemukan penemuan besar, yaitu titik Aphelium. Titik Aphelium adalah titik terjauh bumi saat mengitari matahari setiap tahunnya.
Ia menemukan bahwa posisi diameter semu matahari tidak lagi berada pada posisi yang dikemukakan oleh Ptolomeus. Penemuan ini sangat berbeda dengan teori yang disampaikan oleh Ptolomeus dan astronom Yunani sebelumnya. Namun, baik Al-Battani maupun astronom penganut Ptolomeus lainnya tidak dapat mengemukakan penjelasan di balik perbedaan tersebut.
Joseph A. Angelo menyebut bahwa Al-Battani memperbaiki tatanan tata surya, lunar, dan mengembangkan teori Ptolomeus dalam buku The Almagest menjadi lebih akurat.
Pengamatan akurat Al-Battani ini juga memungkinkan ia memperbaiki pengukuran Ptolomeus tentang kemiringan sumbu. Ia juga melakukan pengamatan lebih akurat mengenai ekuinoks (saat matahari tepat melewati garis ekuator bumi) pada awal musim gugur. Melalui pengamatan inilah Al-Battani mampu menemukan bahwa dalam setahun ada 365,24 hari (Joseph A. Angelo, JR, Encyclopedia of Space and Astronomy, 2006).SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment