“TUANKU, Gubernur Jenderal. Tuanku, dengan dalih yang dicari-cari sekurang-kurangnya dengan alasan-alasan provokasi yang dibuat-buat, kini sedang memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan maksud hendak merampas kedaulatan tanah pusakanya. Tuanku, perbuatan ini bukan saja tidak tahu berterima kasih, tidak satria ataupun tidak jujur, melainkan juga tidak bijaksana.”
Inilah isi surat yang ditulis pujangga Multatuli. Ia merupakan nama pena dari tokoh Belanda ternama, Dowes Dakker. Surat itu ditulis saat Multatuli mendengar kasak-kusuk yang menyebutkan Kerajaan Belanda akan segera menyerang Kesultanan Aceh. Surat terbuka berjudul Brief aan den koning (Surat untuk Paduka Raja) itu dikirim Oktober 1872, beberapa bulan sebelum Hindia Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, 142 tahun yang lalu.
Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, menyebutkan, Surat untuk Paduka Raja ditulis Multatuli untuk mengingatkan raja Belanda agar tidak menyerang Aceh. Sebab, Multatuli khawatir Belanda akan kualat kalau tetap menyerang kesultanan yang berada di pintu masuk Selat Melaka itu. “Menyerang Aceh aka nada malapetakanya,” ujar Rusdi Sufi.
Inilah isi surat yang ditulis pujangga Multatuli. Ia merupakan nama pena dari tokoh Belanda ternama, Dowes Dakker. Surat itu ditulis saat Multatuli mendengar kasak-kusuk yang menyebutkan Kerajaan Belanda akan segera menyerang Kesultanan Aceh. Surat terbuka berjudul Brief aan den koning (Surat untuk Paduka Raja) itu dikirim Oktober 1872, beberapa bulan sebelum Hindia Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, 142 tahun yang lalu.
Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, menyebutkan, Surat untuk Paduka Raja ditulis Multatuli untuk mengingatkan raja Belanda agar tidak menyerang Aceh. Sebab, Multatuli khawatir Belanda akan kualat kalau tetap menyerang kesultanan yang berada di pintu masuk Selat Melaka itu. “Menyerang Aceh aka nada malapetakanya,” ujar Rusdi Sufi.
Surat peringatan Multatuli itu bukan tak beralasan. Menurut Rusdi, dosen sejarah Universitas Syiah Kuala, Kesultanan Aceh lah yang pertama menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Belanda, saat negara Kincir Angin itu masih berperang melawan Spanyol selama 80 tahun dalam merebut kemerdekaannya.
Di tengah peperangan kemerdekaan itu, Sultan Aceh Darussalam Alaidin Riayatsyah, pada 1602 M, mengirim dua utusan bersama surat dukungan kepada Raja Belanda. Kedua utusan diplomatik Sultan Aceh itu adalah Abdul Hamid dan Amir Hasan.
“Mereka keduanya meninggal di Belanda. Abdul Hamid waktu itu sudah tua dan tidak tahan dengan musim dingin,” terang Rusdi Sufi lagi. Keduanya dimakamkan di sana.
Meski mendapat kritikan keras, Raja Belanda tetap gelap mata. Pada 26 Muharram 1290 H atau bertepatan 26 Maret 1873, di geladak kapal Citadel van Antwerpen, Wakil Presiden Hindia Belanda F.N Nieuwenhuijzen menyatakan perang terhadap Aceh. Saat itu, kapal Citadel van Antwerpen tengah berlayar di antara daratan Aceh dan Pulau Sabang.
“Ada beberapa sebab kenapa Belanda ingin memerangi Aceh,” sebut Rusdi, “di antaranya karena takut nantinya wilayah ini diambil oleh kolonial lain dan juga karena ini tempat yang paling staregis karena pintu masuk jalur laut.”
Memerangi Aceh, Belanda mengerahkan enam kapal perangnya. Selain Citaden van Antwerpen, ada pula kapal Coehoorm, Soerabaya, Sumatera, Marnix, dan Djambi. Belanda juga mengerahkan kapal Angkatan Laut Siak dan Bronbeek. Pada Senin, 16 April 1873, sebulan kemudian, Mayor Jenderal J.H.R Kohler mendarat bersama pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue, Banda Aceh.
Bisik-bisik intelijen menyebutkan bahwa jantung pertahahan Aceh berada di Masjid Raya Baiturrahman. Jadilah, Kohler mengarahkan pasukan perangnya ke Baiturrahman. Naas, saat berada di depan Masjid yang terbuat dari kayu itu, di bawah sebatang pohon geulumpang, Kohler memekik keras.
“Oh, Tuhan… Aku terkena,” ia meringis sembari memegang dada. Ia tersungkur seketika.
Prajurit Belanda terbirit-birit melihat Sang Jenderal Kohler tewas bersimbah darah. Mereka mundur dan Hindia Belanda menuai kekalahan pertamanya.
“Aceh tidak takluk, tidak pada hari itu tidak pula setelahnya. Ini kisah perang yang panjang yang oleh orang Belanda disebut Aceh Oorlog atau Perang Aceh,” kisah Rusdi Sufi.
***
BERPERANG melawan Aceh, Belanda menuai kepedihan dan kehilangan yang tiada tara. Di Tanah Seulanga, mereka kehilangan empat jenderal dan lebih 2.200 serdadu. Para serdadu itu dimakamkan di sebuah perkuburan umum di kawasan Blang Padang, selatan Masjid Raya Baiturrahman. Kuburan ini dinamakan dengan Kerkhof Peutjoet. Inilah tempat peristirahatan terakhir serdadu Belanda yang meregang nyawa di tangan pejuang-pejuang Aceh.
Kerkhof Peutjoet pun menjadi saksi bahwa Belanda harus membayar mahal perang melawan Aceh.
Kerkhof, sering juga disebut Kuburan Belanda, terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, tersembunyi di balik kemegahan gedung Museum Tsunami. Dari Jalan Teuku Umar, Kuburan Belanda bisa dilihat dari kejauhan. Kerkhof dikunjungi turis lokal, nasional, maupun mancanegara. Biasanya, usai melihat-lihat Museum Tsunami, para turis menyempatkan diri mengunjungi Kerkhof.
Memasuki Kerkhof, kita akan disambut tembok tinggi melengkung. Pintu gerbang itu dibangun pada 1893, yang terbuat dari batu bata. Di atasnya tertulis “Untuk sahabat kita yang gugur di medan perang. Ditulis dalam empat Bahasa: Belanda, Arab, Melayu, dan Jawa.
Gerbang ini dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada letnan satu J.J.P Weijerman yang tewas dalam pertempuran dekat Masjid Siem, Kroeng Kale pada 20 Oktober 1883.
Buku De hel den serie jilid 8 halaman 25 yang diterbitkan oleh Atjehsch Leger Museum (museum tentara Belanda di Aceh) tahun 1940 menuliskan, “Luitent Weijerman was de eerste officer die op peutjoet na de oprachting van de monumentele poor ter aarde werd besdteld (Letnan Weijerman adalah perwira pertama yang dikuburkan di Peutjeoet setelah Peutjoet dilengkapi dengan pintu gerbang kehormatan).”
Di sebelah kiri pintu gerbang terukir ”In memoriam Generaal – Majoor JHR Kohler, Gesneuveld, 14 April 1873”. Sementara itu di sisi kanan tertulis kalimat “In Memoriam Luitenant – Kolonel W.B. J.A Scheepens Overleden 17 October 1913”. Di bawah kalimat tersebut juga tertulis J.H.J Brendgen VRIEND VAN Aceh.
Menurut Amri, juru kunci Kerkhof, nama-nama yang tercetak di dinding gerbang adalah tentara yang tewas di pelbagai lokasi perperangan. Nama mereka diurut berdasarkan nama tepat tersebut. Ada Teunom, Lambesoi, Koewala, Sigli, Olee Karang, Samalanga, Kandang dan lainnya yang terjadi dari tahun 1873 sampai 1910.
Nama-nama itu tak melulu mereka yang berkebangsaan Belanda. Kita juga akan mudah menemukan nama-nama Ambon, Manado, Jawa, dan bangsa nusantara lainnya. Sebab, serdadu Belanda –selain menggunakan tentara Belanda—juga berasal dari kaum pribumi.
“Tidak semua di antara mereka berasal dari Belanda namun ada prajurit Marsose lainnya yang berasal dari Jawa, Ambon dan Manado yang dibawa kemari,” jelas Amri menunjuk relief yang ada.
“Nah kalau prajurit Belanda itu di nama belakangnya ada tanda EF/F Art. Kalau Ambon dengan tanda AMB, Manado ada tulisan MND sedangkan kalau dari Jawa identitasnya dengan If atau Inlander Fuselier,” ujar Amri.
***
KERKHOF berasal dari kata Belanda yang artinya kuburan ataupun halaman gereja. Sedangkan Peutjoet merupakan nama panggilan dari putra mahkota kesayangan Sultan Iskandar Muda yang makamnya sudah lama ada dalam kompleks itu.
Memang, di situ ikut dikuburkan putra mahkota Sultan Iskandar Muda yaitu Meurah Pupok atau Poe Cut. Meurah Pupok dipancung karena dinilai melanggar hukum Islam yang berlaku di Kerajaan Aceh Darussalam. Makam Meurah Pupok ada dalam pagar kecil di sisi kiri di bawah sebatang pohon besar. Kuburan itu berbeda dengan yang lainnya. Di tempat itu mempunyai motif Batu Aceh pada tanda nisannya. Kuburan itu juga dipayungi oleh pohon tua yang lebat daunnya yang akarnya juga sudah menonjol keluar dari tanah.
“Poe Cut itu panggilan kesayangan dalam bahasa Aceh. Dia anak Sultan yang dihukum mati oleh ayahnya sendiri karena tuduhan berbuat tidak sesuai agama,” ungkap Rusdi Sufi. “Saat itu tidak ada yang berani menghukum karena dia adalah anak Sultan. Kemudian Iskandar Muda menghukumnya sendiri.”
Ketika itu banyak yang melarang Sultan karena Meurah Pupok merupakan anak laki-laki satu-satunya dan merupakan putra mahkota kerajaan. Sehingga Sultan mengatakan “Matee aneuk meupat jirat, matee adat pat tamita.” Kata bijak itu diingat sampai sekarang.
Tanah Kerkhof ini sebelumnya merupakan milik Kerajaan Aceh Darussalam, jauh sebelum Belanda datang dan menyerang Aceh. “Jadi makam anak Sultan sudah ada di situ lama sekali dan Belanda sangat menghargai itu sehingga tidak dihancurkan,” kisah jebolan Universitas Leiden, Belanda ini. “Namun tidak ada yang tahu dua makam yang lain itu milik siapa karena arkeolog sendiri belum melakukan pengalian eskatasi untuk meneliti.”
Sebelum menjadi komplek kuburan, tanah ini merupakan kebun milik seorang Yahudi kaya bernama Bolchover, yang oleh orang Aceh karena kesulitan pengucapan lambat laun menjadi Blower. Ia juga dimakamkan di kawasan itu. “Banyak keturunan Yahudi yang mempunyai tanah di Aceh dahulu, seperti tanah Gedung Sosial itu, juga punya orang Yahudi,” ungkapnya Rusdi.
Komplek Kerkhof ini sudah ada sejak 1880. Namun setelah itu tempat ini kurang terawat. Tahun 1979, salah seorang bekas tentara KNEIL bernama J.H.J Brendgen melihat ini dan merasa prihatin karena tanpa pagar dan takut rusak. Merekapun mendirikan Stichting Peutjut Fonds sejak 29 Januari 1976. Letnan Jendral F. Van der Veen yang merupakan mantan perwira dari Korp Marchausse yang pernah bertugas di Aceh menjadi ketua yayasan yang pertama.
“Ini sebagai pengingat bahwa pernah terjadi perang besar dulu dan bukti kekuatan orang Aceh. Ada empat jenderal Belanda yang mati di sini. Sedangkan untuk perang Diponogoro saja, Belanda hanya mengutus prajurit berpangkat kapten,” sebut Rusdi Sufi yang juga merupakan perwakilan Yayasan Peutjut Fond di Aceh. “Aset ini menjadi penting, bersejarah. Kalau hilang, cuma jadi cerita saja, jadi cerita rakyat bak dongeng,” ujarnya.
Empat jenderal Belanda yang tewas di Aceh adalah Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin. Minus Kohler, tiga Jenderal itu dimakamkan di Kompleks Kerkhof Peutjoet. Ini menjadi “kebanggaan” bagi orang Belanda yang pernah bertugas di Aceh, yang mewasiatkan andaikata mati agar dimakamkan di Peutjoet, di tengah-tengah semua teman-temannya seperjuangan.
Jenderal Van Heutsz di masa Perang Aceh juga berpesan serupa. Ia ingin dimakamkan di Kerkhof jika meninggal saat bertugas di Aceh. Namun keinginannya tidak tercapai. Meski jasadnya penuh luka perang, ia tidak meninggal di sini. Para perwira yang mati muda bahkan menuliskan pesan “Zegaan mujn moeder dat lk mijin best hrb gedaan (Katakan kepada ibuku bahwa aku telah melakukan tugas dengan sebaik baiknya).
Kohler sendiri walaupun tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman namun ia dikuburkan jauh di Batavia sana. Tahun 1978 atas permintaan keluarga dan pemerintah Belanda, ketika Tanah Abang, Jakarta, akan digusur untuk dibuat pusat perbelanjaan, tulang belulang sang jenderal dipindahkan.
Selain Peutjuet, dulu ada Tugu Serdadu Belanda, tempat pemakaman massal di Lampade dan Oedjong Peunajong Banda Aceh. Namun kini jejaknya sudah tak terbaca lagi.
Yayasan Peutjut hingga kini terus memberikan dana untuk perawatan dan pemugaran serta biaya lainnya dengan juga dibantu oleh Dinas Pariwisata. “Mereka masih terikat emosi dengan tempat ini, namun dana terus berkurang setiap tahunnya,” harap Rusdi Sufi.
***
SIANG itu Kompleks Dutch Cemetery terluas di luar Belanda masih dipenuhi pengunjung. Tak banyak memang, namun di antaranya terdapat para kameramen yang datang untuk membuat film dokumenter. Ada pula seorang turis asal Belanda bernama Mar Sarens. Rambut cokelat kemerah-merahannya pendek sebahu, kacamata hitam tersemat di dahinya. Dia datang dari Medan, Sumatera Utara.
“First time I see this feel pain (Ketika saya melihat ini pertama sekali sakit rasanya),” kata Mar Sarens usai berkeliling. “Kemudian saya terkejut akan luasnya, terenyuh karena tempat ini masih ada dan sangat menarik because we remember with this way (karena kami bisa mengigat dengan cara ini).”
Perempuan itu berkisah bahwa sedikit sulit mendapatkan informasi tentang lokasi komplek ini namun ayahnya dulu pernah bercerita tentang perang Aceh, sehingga merasa terpanggil untuk mengunjunginya. Saat tahu masih banyak tempat lainnya yang berhubungan dengan negaranya “Lho kok saya nggak tahu ya?” katanya.
Sebelum bergegas pulang Mar Sarens memenuhi permintaan pengunjung lain yang meminta foto bersama. “Oh I love Aceh people,” katanya sambil berdiri dan membuat bermacam gaya bahkan meminta juga difoto dengan kameranya.
Tak lama kemudian datang Jasmine van Der land, ia berjalan bersama temannya dari Museum Tsunami karena orang-orang bilang ia harus kemari. Memakai baju batik kurung dengan rambut biru yang terkepang, ia terkejut melihat komplek ini.
“Banyak sekali ya,” katanya.
Ketika mengetahui bahwa ada lembaga yang dibentuk di Belanda untuk mendanai tempat ini, dia binggung dan kehilangan senyum.
“Untuk apa?” tanyanya. ”Oh, begitu ya itu hak mereka” tambahnya ketika kemudian mendapat penjelasan kalau itu dibiayai oleh sebagian keluarga tentara yang terkubur di situ.
“Kolonialisme bukanlah sesuatu yang perlu dibangga-banggakan setidaknya buat saya,” ujar Jasmine sebelum berlalu pergi. []
Sumber: acehkita.com
loading...
Post a Comment