Deliar Noer (1926-2008). tirto.id/Quita |
Biografi - Suatu kali, setelah menyusun naskah kumpulan karangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Ajip Rosidi meminta Deliar Noer untuk membuatkan kata pengantar. Deliar Noer bersedia. Setelah buku terbit, Ajip bermaksud memberikan honor kepada Deliar untuk kata pengantar buku tersebut. Deliar menolak honornya.
“Uang itu dikembalikannya dengan alasan bahwa dia merasa berutang budi kepada Mr. Sjafruddin dan kawannya segenerasi, maka penulisan pengantar itu dianggapnya sebagai penghormatannya kepada beliau,” tutur Ajip dalam obituari untuk Deliar Noer seperti termuat di buku Mengenang Hidup Orang Lain (2010: 188).
Deliar Noer dikenal sebagai intelektual dengan spesialisasi politik dan sejarah Islam Indonesia abad ke-20. Hasil risetnya banyak yang sudah dipublikasikan penerbit-penerbit besar, termasuk karyanya yang terkait sejarah tokoh Islam. Salah satunya biografi Mohammad Hatta yang berjudul Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990).
Ia meraih gelar doktor ilmu politik dari Universitas Cornell, Itacha, Amerika Serikat pada 1963 dan menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil menggondol doktor dalam bidang tersebut. Disertasinya, "The Rise and Development of the Modernist Movement in Indonesia", membahas bagaimana tokoh dan kelompok-kelompok Islam bergerak di era kolonial.
Disertasinya kemudian dialihbahasakan dan dibukukan dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 pada 1980. Dalam buku itu, Deliar juga mencatat keadaan umat Islam di Indonesia sebelum abad ke-20. Di masa itu, menurut Deliar, sikap taqlid “merajalela di kalangan umat Islam mulai abad XI hingga abad XIX. Apa yang disebut Ijtihad, yaitu usaha dan daya bersungguh-sungguh untuk menemukan tafsir serta pendapat tentang sesuatu soal, tidak lagi diakui.”
Hidup Deliar Noer memang tidak pernah jauh dari Islam. Ia tumbuh besar dalam keluarga Minangkabau yang merantau di Sumatera Timur. Ayahnya, Noer Joesoef, adalah pegawai pegadaian yang doyan mengadakan pengajian.
Kondidi ekonomi keluarganya tergolong lumayan. Setidaknya, sewaktu bocah, Deliar Noer pernah belajar di Hollandsche Inlandsch School (HIS) partikelir milik perguruan Taman Siswa di Tebing Tinggi, lalu ke HIS milik pemerintah. Lulus sekolah dasar 7 tahun itu, dia sebentar bersekolah di SMP kolonial—yang disebut Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—di kota Medan.
Larut dalam Revolusi
Sayangnya, Deliar Noer tidak bisa sekolah dengan normal seperti banyak pemuda seumurannya. Perang Pasifik meletus. MULO tak bisa berjalan lagi setelah Balatentara Jepang mendarat. Para siswa mau tidak mau harus melanjutkan di SMP yang disebut Chu Gakko. Sempat terpikir olehnya untuk belajar di INS Kayutanam di zaman Jepang itu. Belakangan, Deliar hijrah ke Jakarta. Maksud hati untuk sekolah, tapi dia terjebak dalam revolusi. Dia berada di pihak Republik. Di masa revolusi pula, ia pernah jadi penyiar Radio Republik Indonesia (RRI).
Waktu ada lowongan di Akademi Militer di Yogyakarta, Deliar Noer mendaftar, namun tidak diterima. Setelah itu dia dianjurkan pergi ke Cikampek, tetap untuk berjuang di pihak Republik.
“Nasibku agaknya memang tidak untuk aktif di dalam tentara, padahal keinginanku kuat juga untuk itu. Aku malah telah mengupahkan pembuatan uniform serba hijau dalam rangka itu,” tutur Deliar dalam Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer (1996: 218).
Setelahnya, Deliar Noer berangkat ke Singapura. Di sana ia menjadi Sekretaris Perdagangan pemerintah.
Usai revolusi, Deliar Noer, yang sempat bekerja di Departemen Luar Negeri dan jadi guru SMA Muhammadiyah ini, kemudian kuliah. “Aku masuk di Akademi Nasional jurusan Sosial Ekonomi Politik tahun 1950,” sebut Deliar dalam autobiografinya (1996: 301).
Di awal 1950-an, Deliar Noer adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Jakarta. Pernah jadi Ketua Cabang (1951-1953) dan Ketua Pengurus Besar HMI (1953-1955).
Dia kemudian mengenal Mohammad Hatta ketika bekerja di Pers Biro Indonesia (PIA). Dalam autobiografinya Deliar mengaku, “Yang memacu hubungan ini adalah pertemuan mingguan antara beberapa orang wartawan dengan Hatta di rumah wakil presiden di Merdeka Selatan, ketika aku menjadi pemimpin desk bahasa Inggeris kantor berita PIA, bekas Aneta—kepunyaan Belanda” (hlm. 875).
Menjadi Akademisi
Deliar berhasil merampungkan sarjana mudanya di Universitas Nasional pada 1958. Berkat bantuan dana dari Yayasan Rockefeller, ia bisa kuliah di Amerika. “Karena prestasi saya baik, mereka memutuskan untuk membiayai saya sampai meraih doktor," akunya dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 (1986: 595-596).
Sepulang dari Amerika, pada 1963, Deliar kembali ke Pesisir Sumatera bagian Timur, yang sudah jadi Provinsi Sumatra Utara, dan menjadi dosen di Universitas Sumatra Utara (USU), Medan. Dia angkat kaki dari sana dua tahun kemudian karena berkonflik dengan golongan yang sedang berjaya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, Mayor Jenderal Sjarif Thayeb, dianggap sebagai orang yang melarangnya mengajar.
“Dia dipecat dari kampus USU karena desakan golongan kiri yang menuduhnya antek Amerika dan dekat dengan Hatta,” tulis Ajip Rosidi (hlm. 184).
Dia juga kena tuduh sebagai orang yang anti-Manifesto Politik (Manipol). Dia dan Hatta dianggap sama, berseberangan dengan Sukarno. Di masa-masa suksesi dari Sukarno ke Soeharto, antara 1965 hingga 1967, Deliar sempat dipekerjakan sebagai Kepala Biro Hubungan Luar Negeri, Departemen Urusan Riset Nasional di Jakarta.
Ketika Soeharto jadi Ketua Presidium Kabinet Ampera, Deliar termasuk dalam kelompok staf pribadi yang dikenal sebagai SPRI. Rupanya Deliar Noer tidak cocok berlama-lama jadi staf daripada jenderal yang belakangan jadi Presiden Republik Indonesia kedua itu. Dia berbeda paham dengan staf lainnya.
“Banyak contoh mengenai kebijakan dan langkah-langkah Soeharto yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita,” tulis Deliar dalam Delapan Puluh Tahun Deliar Noer (2007: 174).
Sejak 1967, Deliar kembali ke tempat di mana orang terpelajar harusnya berada: kampus. Dia dijadikan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta—yang belakangan jadi Universitas Negeri Jakarta. Namun, lagi-lagi dia berurusan dengan orang yang sama pada 1974.
Kala itu Sjarif Thayeb sudah jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut dia “dipecat ketika hendak membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada bulan Juni 1974, padahal masa jabatannya hanya tinggal beberapa bulan lagi” (hlm. 183).
Sang menteri menuduhnya sebagi penghasut. Kala itu, masih hangat-hangatnya gerakan mahasiswa yang disebut Malapetaka 15 Januari 1974 alias Malari 1974.
Setelahnya, Deliar Noer pun tak punya tempat mengajar. Tapi kampus bergengsi tak pernah tidur ketika melihat dosen bagus. Jauh di seberang lautan, Australian National University (ANU) di Canberra meliriknya. Terbebaslah dia sebagai manusia tanpa penghasilan yang tinggal di rumah kontrakan. “Daripada tidak bisa makan di negeri sendiri, lebih baik cari makan di negeri orang," kata Deliar Noer dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia.
Tak hanya di ANU, dia juga pernah menjadi pengajar tamu di Universitas Griffith, Brisbane. Sebagai orang dekat Hatta, Deliar Noer pernah diajak untuk membangun partai bernama Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Setelah Soeharto lengser, dia mencoba mendirikan Partai Umat Islam, namun tidak mendapat dukungan yang cukup. Kiprahnya di dunia partai politik tak sebaik nama besarnya di dunia ilmu pengetahuan.
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Sumber: tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
“Uang itu dikembalikannya dengan alasan bahwa dia merasa berutang budi kepada Mr. Sjafruddin dan kawannya segenerasi, maka penulisan pengantar itu dianggapnya sebagai penghormatannya kepada beliau,” tutur Ajip dalam obituari untuk Deliar Noer seperti termuat di buku Mengenang Hidup Orang Lain (2010: 188).
Deliar Noer dikenal sebagai intelektual dengan spesialisasi politik dan sejarah Islam Indonesia abad ke-20. Hasil risetnya banyak yang sudah dipublikasikan penerbit-penerbit besar, termasuk karyanya yang terkait sejarah tokoh Islam. Salah satunya biografi Mohammad Hatta yang berjudul Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990).
Ia meraih gelar doktor ilmu politik dari Universitas Cornell, Itacha, Amerika Serikat pada 1963 dan menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil menggondol doktor dalam bidang tersebut. Disertasinya, "The Rise and Development of the Modernist Movement in Indonesia", membahas bagaimana tokoh dan kelompok-kelompok Islam bergerak di era kolonial.
Disertasinya kemudian dialihbahasakan dan dibukukan dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 pada 1980. Dalam buku itu, Deliar juga mencatat keadaan umat Islam di Indonesia sebelum abad ke-20. Di masa itu, menurut Deliar, sikap taqlid “merajalela di kalangan umat Islam mulai abad XI hingga abad XIX. Apa yang disebut Ijtihad, yaitu usaha dan daya bersungguh-sungguh untuk menemukan tafsir serta pendapat tentang sesuatu soal, tidak lagi diakui.”
Hidup Deliar Noer memang tidak pernah jauh dari Islam. Ia tumbuh besar dalam keluarga Minangkabau yang merantau di Sumatera Timur. Ayahnya, Noer Joesoef, adalah pegawai pegadaian yang doyan mengadakan pengajian.
Kondidi ekonomi keluarganya tergolong lumayan. Setidaknya, sewaktu bocah, Deliar Noer pernah belajar di Hollandsche Inlandsch School (HIS) partikelir milik perguruan Taman Siswa di Tebing Tinggi, lalu ke HIS milik pemerintah. Lulus sekolah dasar 7 tahun itu, dia sebentar bersekolah di SMP kolonial—yang disebut Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—di kota Medan.
Larut dalam Revolusi
Sayangnya, Deliar Noer tidak bisa sekolah dengan normal seperti banyak pemuda seumurannya. Perang Pasifik meletus. MULO tak bisa berjalan lagi setelah Balatentara Jepang mendarat. Para siswa mau tidak mau harus melanjutkan di SMP yang disebut Chu Gakko. Sempat terpikir olehnya untuk belajar di INS Kayutanam di zaman Jepang itu. Belakangan, Deliar hijrah ke Jakarta. Maksud hati untuk sekolah, tapi dia terjebak dalam revolusi. Dia berada di pihak Republik. Di masa revolusi pula, ia pernah jadi penyiar Radio Republik Indonesia (RRI).
Waktu ada lowongan di Akademi Militer di Yogyakarta, Deliar Noer mendaftar, namun tidak diterima. Setelah itu dia dianjurkan pergi ke Cikampek, tetap untuk berjuang di pihak Republik.
“Nasibku agaknya memang tidak untuk aktif di dalam tentara, padahal keinginanku kuat juga untuk itu. Aku malah telah mengupahkan pembuatan uniform serba hijau dalam rangka itu,” tutur Deliar dalam Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer (1996: 218).
Setelahnya, Deliar Noer berangkat ke Singapura. Di sana ia menjadi Sekretaris Perdagangan pemerintah.
Usai revolusi, Deliar Noer, yang sempat bekerja di Departemen Luar Negeri dan jadi guru SMA Muhammadiyah ini, kemudian kuliah. “Aku masuk di Akademi Nasional jurusan Sosial Ekonomi Politik tahun 1950,” sebut Deliar dalam autobiografinya (1996: 301).
Di awal 1950-an, Deliar Noer adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Jakarta. Pernah jadi Ketua Cabang (1951-1953) dan Ketua Pengurus Besar HMI (1953-1955).
Dia kemudian mengenal Mohammad Hatta ketika bekerja di Pers Biro Indonesia (PIA). Dalam autobiografinya Deliar mengaku, “Yang memacu hubungan ini adalah pertemuan mingguan antara beberapa orang wartawan dengan Hatta di rumah wakil presiden di Merdeka Selatan, ketika aku menjadi pemimpin desk bahasa Inggeris kantor berita PIA, bekas Aneta—kepunyaan Belanda” (hlm. 875).
Menjadi Akademisi
Deliar berhasil merampungkan sarjana mudanya di Universitas Nasional pada 1958. Berkat bantuan dana dari Yayasan Rockefeller, ia bisa kuliah di Amerika. “Karena prestasi saya baik, mereka memutuskan untuk membiayai saya sampai meraih doktor," akunya dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 (1986: 595-596).
Sepulang dari Amerika, pada 1963, Deliar kembali ke Pesisir Sumatera bagian Timur, yang sudah jadi Provinsi Sumatra Utara, dan menjadi dosen di Universitas Sumatra Utara (USU), Medan. Dia angkat kaki dari sana dua tahun kemudian karena berkonflik dengan golongan yang sedang berjaya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, Mayor Jenderal Sjarif Thayeb, dianggap sebagai orang yang melarangnya mengajar.
“Dia dipecat dari kampus USU karena desakan golongan kiri yang menuduhnya antek Amerika dan dekat dengan Hatta,” tulis Ajip Rosidi (hlm. 184).
Dia juga kena tuduh sebagai orang yang anti-Manifesto Politik (Manipol). Dia dan Hatta dianggap sama, berseberangan dengan Sukarno. Di masa-masa suksesi dari Sukarno ke Soeharto, antara 1965 hingga 1967, Deliar sempat dipekerjakan sebagai Kepala Biro Hubungan Luar Negeri, Departemen Urusan Riset Nasional di Jakarta.
Ketika Soeharto jadi Ketua Presidium Kabinet Ampera, Deliar termasuk dalam kelompok staf pribadi yang dikenal sebagai SPRI. Rupanya Deliar Noer tidak cocok berlama-lama jadi staf daripada jenderal yang belakangan jadi Presiden Republik Indonesia kedua itu. Dia berbeda paham dengan staf lainnya.
“Banyak contoh mengenai kebijakan dan langkah-langkah Soeharto yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita,” tulis Deliar dalam Delapan Puluh Tahun Deliar Noer (2007: 174).
Sejak 1967, Deliar kembali ke tempat di mana orang terpelajar harusnya berada: kampus. Dia dijadikan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta—yang belakangan jadi Universitas Negeri Jakarta. Namun, lagi-lagi dia berurusan dengan orang yang sama pada 1974.
Kala itu Sjarif Thayeb sudah jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut dia “dipecat ketika hendak membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada bulan Juni 1974, padahal masa jabatannya hanya tinggal beberapa bulan lagi” (hlm. 183).
Sang menteri menuduhnya sebagi penghasut. Kala itu, masih hangat-hangatnya gerakan mahasiswa yang disebut Malapetaka 15 Januari 1974 alias Malari 1974.
Setelahnya, Deliar Noer pun tak punya tempat mengajar. Tapi kampus bergengsi tak pernah tidur ketika melihat dosen bagus. Jauh di seberang lautan, Australian National University (ANU) di Canberra meliriknya. Terbebaslah dia sebagai manusia tanpa penghasilan yang tinggal di rumah kontrakan. “Daripada tidak bisa makan di negeri sendiri, lebih baik cari makan di negeri orang," kata Deliar Noer dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia.
Tak hanya di ANU, dia juga pernah menjadi pengajar tamu di Universitas Griffith, Brisbane. Sebagai orang dekat Hatta, Deliar Noer pernah diajak untuk membangun partai bernama Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Setelah Soeharto lengser, dia mencoba mendirikan Partai Umat Islam, namun tidak mendapat dukungan yang cukup. Kiprahnya di dunia partai politik tak sebaik nama besarnya di dunia ilmu pengetahuan.
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Sumber: tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
loading...
Post a Comment