Oleh: Iswara N Raditya - 3 Mei 2018
|
Biografi - “Pada dasarnya, saya berkeberatan untuk masuk pendidikan polisi. Namun, Abu Baeda berusaha membujuk saya dengan mengatakan bahwa kader polisi juga amat gagah seragamnya,” ungkap Moehammad Jasin mengenang asal-muasal kariernya di kepolisian yang bermula pada awal dekade 1940-an.
Abu Baeda yang dimaksud adalah kakak ipar Jasin. Dalam buku berjudul Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010: 63), Jasin mengakui bahwa ia semula memang tidak tertarik masuk kepolisian pemerintah Hindia Belanda. Ia bercita-cita menjadi penerbang.
Maka, selulus sekolah menengah pada 1941, Jasin bermaksud mengikuti pelatihan penerbangan militer Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) di Bandung. Namun, keinginannya itu tidak mendapat restu. Orangtua Jasin menganggap terbang dengan pesawat sama saja cari mati.
Untuk mengobati kekecewaan Jasin, kakak iparnya kemudian menghubungi Komisaris Polisi di Makassar dengan harapan bisa diterima sebagai anggota kepolisian. Dari situlah jejak langkah Jasin sebagai polisi bermula.
Justru di kepolisian inilah Jasin menunjukkan kecemerlangan dalam kariernya. Dari masa akhir pemerintah Hindia Belanda, berlanjut ke zaman pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan juga waktu-waktu setelahnya.
Hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, tanggal 5 November 2015, Moehammad Jasin yang lahir di Baubau, Sulawesi Tenggara, pada 9 Juni 1920, mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Jasin adalah polisi pertama dalam sejarah Republik yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sang Polisi Istimewa
Saat Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Moehammad Jasin (ejaan baru: Muhammad Yasin) menjabat sebagai Komandan Tokubetsu Keisatsutai, kesatuan polisi yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang, di Surabaya. Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (2006) menyebutnya dengan istilah Special Police Force atau “Polisi Istimewa” (hlm. 141).
Kemerdekaan RI yang dikumandangkan di Jakarta langsung direspons Jasin dari Surabaya beberapa hari berselang. Tanggal 21 Agustus 1945, Jasin menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai beralih rupa menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia. Inilah cikal-bakal lahirnya Kepolisian Republik Indonesia.
Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010) menyebut pernyataan Jasin itu sebagai “proklamasi polisi Karesidenan Surabaya” yang mengakui bahwa mereka adalah “pegawai polisi Republik Indonesia yang berkewajiban menjunjung tinggi dan mempertahankan kedaulatan dan kehormatan negara Republik Indonesia” (hlm. 56).
Ketika terjadi rentetan perang di Surabaya melawan Sekutu yang dikenal dengan nama peristiwa 10 November 1945, Jasin memegang peranan penting. Soedarto, seorang petinggi militer yang turut terlibat dalam momen yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan itu, mengatakan bahwa tanpa peran Jasin dan pasukan polisi istimewanya, tidak akan ada pertempuran di Surabaya.
Kesan serupa juga diungkapkan oleh mantan Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, dalam tulisan sambutannya di buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010).
“Ketokohan Komjen Pol. (Purn.) DR. H Moehammad Jasin pada periode awal pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI, dengan segenap anggota Tokubetsu Keisatsutai (Kesatuan Polisi Istimewa yang terorganisir rapi bersenjata lengkap, serta setia kepada perjuangan Indonesia), telah mampu mempelopori serta memberikan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan identitas bangsa [...] serta membangkitkan militansi pemuda-pemuda di Surabaya yang kemudian memantik pertempuran heroik sejak tanggal 28 Oktober hingga 28 November 1945 dengan titik puncaknya peristiwa 10 November 1945,” tulis Bambang.
Jasin memang bukan polisi sembarangan. Gelar Bapak Brigade Mobil (Brimob) tersemat pada namanya. Seperti diungkap dalam buku 44 Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (1990), ia diakui sebagai pendiri Brimob yang diresmikan 14 November 1946. Saat itu, kesatuan tersebut masih bernama Mobile Brigade Polisi, disingkat Mobbrig (hlm. 48).
Pasukan Mobile Brigade Polisi yang dipimpin Jasin selanjutnya turut mengambil peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk ketika Belanda dua kali melancarkan agresi militer.
Suatu hari pada 1947, Jasin dan pasukannya sempat tertangkap Belanda dan dikurung di Penjara Kalisosok Surabaya. Mereka dibebaskan pada 1948, ditukar dengan sejumlah tentara Belanda yang ditawan pihak republik.
Menumpas Separatisme
Moehammad Jasin senantiasa hadir ketika ada pihak-pihak yang dituding melakukan separatisme setelah Indonesia merdeka. Ia dan laskar brigade mobilnya nyaris selalu turun tangan setiap kali ada upaya macam itu.
Sebelum Peristiwa Madiun 1948, misalnya, Jasin sudah memantau pergerakan kaum kiri. Menurut Pinardi dalam Peristiwa Coup Berdarah PKI September 1948 di Madiun (1967), kegiatan PKI di kota tersebut dinilai secara tepat oleh Jasin selaku Komandan Mobile Brigade Besar Jawa Timur saat itu (hlm. 133).
Usai itu, Jasin terlibat dalam penanggulangan Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang bermaksud melakukan kudeta pada 23 Januari 1950. Ia memperoleh misi penting untuk menyelamatkan pemerintah dari bahaya APRA di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling.
“Untuk itu,” sebut Jasin dalam Jasin Sang Polisi Pejuang, “saya membentuk satu komando Operasi Mobile Brigade yang terdiri dari 25 kompi dan dikonsentrasikan di Jakarta. Saya duduk sebagai pimpinan komando. Operasi ini juga bertujuan untuk menunjukkan kekuatan demi kepentingan wibawa pemerintah sambil mengatasi bahaya APRA dan mitranya” (hlm. 167).
Setelah masalah APRA dapat diatasi, muncul gerakan separatis lainnya, yakni gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang dideklarasikan pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat.
Jasin kembali dipanggil untuk ambil bagian dalam menuntaskan urusan ini. Ia kemudian membentuk dan memimpin batalyon khusus berupa 10 kompi Brigade Mobil untuk menumpas DI/TII.
Dalam prosesnya, Jasin juga harus menangani misi serupa di Aceh. DI/TII rupanya sudah menyebar ke sejumlah wilayah, termasuk di Serambi Mekkah yang dimotori Daud Beureueh.
Perjalanan ke markas DI/TII di Aceh menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi Jasin dan pasukannya. Dikutip dari Seri Buku Tempo tentang “Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan: Daud Beureueh” (2016), rombongan Jasin beberapa kali dicegat ratusan pasukan DI/TII.
Jasin sempat terheran-heran karena laskar pemberontak itu memiliki persenjataan yang cukup canggih, termasuk bazooka, padahal, kata Jasin, “Saat itu TNI belum memiliki bazooka. Kita tidak punya uang untuk membelinya” (hlm. 26).
Dalam persoalan DI/TII di Aceh ini, Jasin melakukan pendekatan personal, bukan lewat penyerangan. Tiba di markas mereka, ia justru terlibat diskusi santai dengan Daud Beureueh sembari menyeruput kopi panas. Akhirnya, misi Jasin tuntas secara damai. Pada 9 Mei 1962, Daud Beureueh dan ribuan pengikutnya menyatakan kembali ke pangkuan NKRI.
Selain itu, dalam kurun waktu yang kurang lebih sama, Jasin juga dikirim ke Indonesia bagian timur untuk menuntaskan urusan terkait Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamirkan pada 25 April 1950.
Karier polisi Jasin mulai meredup setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Ia memang amat mengagumi Sukarno, namun Jasin tidak pernah sejalan dengan orang-orang PKI. Situasi ini menjadi bumerang baginya. Jasin pun “dibuang” jauh ke Afrika sebagai Duta Besar Tanzania sejak 1967.
Jasin pulang ke tanah air ketika pemerintahan Sukarno telah berakhir, digantikan oleh Soeharto. Pada masa Orde Baru ini, Jasin aktif di pemerintahan dan sempat menjadi anggota MPR-RI periode 1972-1977.
Rezim demi rezim ia lalui. Dari masa Sukarno, kemudian zaman Orde Baru yang dikuasai Soeharto, selanjutnya era reformasi, bahkan hingga lumayan jauh setelah itu. Moehammad Jasin akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya pada 3 Mei 2012, tepat hari ini enam tahun silam, dalam usia 92.
Abu Baeda yang dimaksud adalah kakak ipar Jasin. Dalam buku berjudul Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010: 63), Jasin mengakui bahwa ia semula memang tidak tertarik masuk kepolisian pemerintah Hindia Belanda. Ia bercita-cita menjadi penerbang.
Maka, selulus sekolah menengah pada 1941, Jasin bermaksud mengikuti pelatihan penerbangan militer Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) di Bandung. Namun, keinginannya itu tidak mendapat restu. Orangtua Jasin menganggap terbang dengan pesawat sama saja cari mati.
Untuk mengobati kekecewaan Jasin, kakak iparnya kemudian menghubungi Komisaris Polisi di Makassar dengan harapan bisa diterima sebagai anggota kepolisian. Dari situlah jejak langkah Jasin sebagai polisi bermula.
Justru di kepolisian inilah Jasin menunjukkan kecemerlangan dalam kariernya. Dari masa akhir pemerintah Hindia Belanda, berlanjut ke zaman pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan juga waktu-waktu setelahnya.
Hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, tanggal 5 November 2015, Moehammad Jasin yang lahir di Baubau, Sulawesi Tenggara, pada 9 Juni 1920, mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Jasin adalah polisi pertama dalam sejarah Republik yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sang Polisi Istimewa
Saat Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Moehammad Jasin (ejaan baru: Muhammad Yasin) menjabat sebagai Komandan Tokubetsu Keisatsutai, kesatuan polisi yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang, di Surabaya. Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (2006) menyebutnya dengan istilah Special Police Force atau “Polisi Istimewa” (hlm. 141).
Kemerdekaan RI yang dikumandangkan di Jakarta langsung direspons Jasin dari Surabaya beberapa hari berselang. Tanggal 21 Agustus 1945, Jasin menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai beralih rupa menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia. Inilah cikal-bakal lahirnya Kepolisian Republik Indonesia.
Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010) menyebut pernyataan Jasin itu sebagai “proklamasi polisi Karesidenan Surabaya” yang mengakui bahwa mereka adalah “pegawai polisi Republik Indonesia yang berkewajiban menjunjung tinggi dan mempertahankan kedaulatan dan kehormatan negara Republik Indonesia” (hlm. 56).
Ketika terjadi rentetan perang di Surabaya melawan Sekutu yang dikenal dengan nama peristiwa 10 November 1945, Jasin memegang peranan penting. Soedarto, seorang petinggi militer yang turut terlibat dalam momen yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan itu, mengatakan bahwa tanpa peran Jasin dan pasukan polisi istimewanya, tidak akan ada pertempuran di Surabaya.
Kesan serupa juga diungkapkan oleh mantan Kapolri, Bambang Hendarso Danuri, dalam tulisan sambutannya di buku Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kelahiran Polisi Indonesia (2010).
“Ketokohan Komjen Pol. (Purn.) DR. H Moehammad Jasin pada periode awal pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI, dengan segenap anggota Tokubetsu Keisatsutai (Kesatuan Polisi Istimewa yang terorganisir rapi bersenjata lengkap, serta setia kepada perjuangan Indonesia), telah mampu mempelopori serta memberikan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan identitas bangsa [...] serta membangkitkan militansi pemuda-pemuda di Surabaya yang kemudian memantik pertempuran heroik sejak tanggal 28 Oktober hingga 28 November 1945 dengan titik puncaknya peristiwa 10 November 1945,” tulis Bambang.
Jasin memang bukan polisi sembarangan. Gelar Bapak Brigade Mobil (Brimob) tersemat pada namanya. Seperti diungkap dalam buku 44 Tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (1990), ia diakui sebagai pendiri Brimob yang diresmikan 14 November 1946. Saat itu, kesatuan tersebut masih bernama Mobile Brigade Polisi, disingkat Mobbrig (hlm. 48).
Pasukan Mobile Brigade Polisi yang dipimpin Jasin selanjutnya turut mengambil peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk ketika Belanda dua kali melancarkan agresi militer.
Suatu hari pada 1947, Jasin dan pasukannya sempat tertangkap Belanda dan dikurung di Penjara Kalisosok Surabaya. Mereka dibebaskan pada 1948, ditukar dengan sejumlah tentara Belanda yang ditawan pihak republik.
Menumpas Separatisme
Moehammad Jasin senantiasa hadir ketika ada pihak-pihak yang dituding melakukan separatisme setelah Indonesia merdeka. Ia dan laskar brigade mobilnya nyaris selalu turun tangan setiap kali ada upaya macam itu.
Sebelum Peristiwa Madiun 1948, misalnya, Jasin sudah memantau pergerakan kaum kiri. Menurut Pinardi dalam Peristiwa Coup Berdarah PKI September 1948 di Madiun (1967), kegiatan PKI di kota tersebut dinilai secara tepat oleh Jasin selaku Komandan Mobile Brigade Besar Jawa Timur saat itu (hlm. 133).
Usai itu, Jasin terlibat dalam penanggulangan Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang bermaksud melakukan kudeta pada 23 Januari 1950. Ia memperoleh misi penting untuk menyelamatkan pemerintah dari bahaya APRA di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling.
“Untuk itu,” sebut Jasin dalam Jasin Sang Polisi Pejuang, “saya membentuk satu komando Operasi Mobile Brigade yang terdiri dari 25 kompi dan dikonsentrasikan di Jakarta. Saya duduk sebagai pimpinan komando. Operasi ini juga bertujuan untuk menunjukkan kekuatan demi kepentingan wibawa pemerintah sambil mengatasi bahaya APRA dan mitranya” (hlm. 167).
Setelah masalah APRA dapat diatasi, muncul gerakan separatis lainnya, yakni gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang dideklarasikan pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat.
Jasin kembali dipanggil untuk ambil bagian dalam menuntaskan urusan ini. Ia kemudian membentuk dan memimpin batalyon khusus berupa 10 kompi Brigade Mobil untuk menumpas DI/TII.
Dalam prosesnya, Jasin juga harus menangani misi serupa di Aceh. DI/TII rupanya sudah menyebar ke sejumlah wilayah, termasuk di Serambi Mekkah yang dimotori Daud Beureueh.
Perjalanan ke markas DI/TII di Aceh menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi Jasin dan pasukannya. Dikutip dari Seri Buku Tempo tentang “Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan: Daud Beureueh” (2016), rombongan Jasin beberapa kali dicegat ratusan pasukan DI/TII.
Jasin sempat terheran-heran karena laskar pemberontak itu memiliki persenjataan yang cukup canggih, termasuk bazooka, padahal, kata Jasin, “Saat itu TNI belum memiliki bazooka. Kita tidak punya uang untuk membelinya” (hlm. 26).
Dalam persoalan DI/TII di Aceh ini, Jasin melakukan pendekatan personal, bukan lewat penyerangan. Tiba di markas mereka, ia justru terlibat diskusi santai dengan Daud Beureueh sembari menyeruput kopi panas. Akhirnya, misi Jasin tuntas secara damai. Pada 9 Mei 1962, Daud Beureueh dan ribuan pengikutnya menyatakan kembali ke pangkuan NKRI.
Selain itu, dalam kurun waktu yang kurang lebih sama, Jasin juga dikirim ke Indonesia bagian timur untuk menuntaskan urusan terkait Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamirkan pada 25 April 1950.
Karier polisi Jasin mulai meredup setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Ia memang amat mengagumi Sukarno, namun Jasin tidak pernah sejalan dengan orang-orang PKI. Situasi ini menjadi bumerang baginya. Jasin pun “dibuang” jauh ke Afrika sebagai Duta Besar Tanzania sejak 1967.
Jasin pulang ke tanah air ketika pemerintahan Sukarno telah berakhir, digantikan oleh Soeharto. Pada masa Orde Baru ini, Jasin aktif di pemerintahan dan sempat menjadi anggota MPR-RI periode 1972-1977.
Rezim demi rezim ia lalui. Dari masa Sukarno, kemudian zaman Orde Baru yang dikuasai Soeharto, selanjutnya era reformasi, bahkan hingga lumayan jauh setelah itu. Moehammad Jasin akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya pada 3 Mei 2012, tepat hari ini enam tahun silam, dalam usia 92.
loading...
Post a Comment