ROMBONGAN Kerajaan Sunda sudah tiba di dermaga Bubat. Letaknya tak jauh dari Sungai Jetis, di utara Trowulan, ibu kota Kerajaan Majapahit. Mereka datang untuk mengawinkan sang putri, Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit.
Barang-barang pun segera diturunkan dari kapal. Oleh para prajurit Majapahit, barang-barang itu diangkut ke bangsal paseban.
“Barang-barang kami jangan disimpan di paseban!” tegur salah seorang patih Sunda tiba-tiba.
“Memang kenapa?” tanya prajurit keheranan.
“Paseban itu hanya untuk menyimpan upeti dari daerah jajahan,” kata sang patih.
Meski sudah ditegur, barang bawaan orang Sunda itu tetap disimpan di paseban. Bagaimanapun begitulah perintah yang para prajurit Majapahit itu terima.
“Seba itu artinya pajak. Paseban itu tempat menaruh pajak dari daerah jajahan. Orang Sunda tidak terima. Sunda kan bukan daerah taklukan,” jelas Aan Merdeka Permana, penulis novel Perang Bubat, ketika dihubungi Historia.
Kisah itulah yang kemudian memantik ketegangan di antara dua kerajaan besar di Jawa itu. Terjadi adu senjata antara dua kubu yang membuat pihak Majapahit terdesak. Salah seorang di antaranya kemudian melapor ke ibukota. Dibilangnya, orang Sunda mengamuk.
“Ini perang pertamanya,” ujar Aan.
Sementara, ketika itu para pembesar Majapahit, termasuk Gajah Mada sedang mengadakan rapat persiapan penyambutan calon permaisuri negaranya. Mendengar itu, semua jadi panik.
“Mengapa? Ada apa?” kata Gajah Mada.
Gajah Mada diberitahu kalau banyak orang Majapahit yang jadi korban. Sang patih pun turun tangan dan segera membawa pasukannya ke Bubat. Dia yang sudah melepas egonya untuk tak menyempurnakan Sumpah Palapanya dengan menaklukkan Sunda, akhirnya terpaksa melakukan serangan. Inilah, yang menurut Aan, kemudian dikenal sebagai Peristiwa Bubat.
“Ini sudah hari kedua sejak rombongan Kerajaan Sunda datang,” katanya.
Apa yang dikisahkan Aan memang sangat berbeda dari penuturan Kidung Sundayana maupun Pararaton. Selama lebih dari 20 tahun, Aan menghimpun tradisi tutur yang tersebar di tengah masyarakat Jawa Barat hingga Lawangsumber, tepi kota Surabaya, Jawa Timur. Dari penelusurannya didapatkan kalau Gajah Mada bukanlah tokoh utama yang bisa disalahkan atas terjadinya peristiwa berdarah ini.
“Saya mewawancara puluhan orang yang usianya jauh di atas mereka, hasilnya sangat berbeda dari sejarah resmi selama ini,” ucapnya.
Menurut Aan, dalam tradisi tutur didapatkan kalau Perang Bubat sengaja diletuskan untuk menjatuhkan Sang Maha Patih. Bagi para elite politik di kursi pemerintahan Majapahit, Gajah Mada terlalu mendominasi. Karenanya, Kerajaan Sunda dan Gajah Mada sebenarnya adalah dua pihak yang sama-sama menjadi korban.
“Beberapa menteri pejabat negara ingin mempunyai pengaruh yang baik di depan raja. Rakyat lebih mengenal Gajah Mada daripada raja. Ini tak mengenakan bagi menteri lain,” jelas dia.
Sementara itu, Hayam Wuruk juga sudah pernah memperingatkan patihnya. Dia akan membiarkan ambisi Gajah Mada menguasai wilayah-wilayah di Nusantara, kecuali wilayah Kerajaan Sunda. Bagi Hayam Wuruk, kerajaan itu merupakan leluhurnya. Maka, lewat perkawinan diharapkan pihaknya bisa mempererat ikatan dengan kerajaan satu keturunan itu.
“Secara ambisi kecewa, tapi dia negarawan tulen, sebesar apapun ambisi Gajah Mada, baginya keinginan raja adalah keinginan negara, berbakti pada negara adalah segalanya,” ujar Aan.
Hal itu yang kemudian menjadi senjata untuk menjatuhkan Gajah Mada. Dia dijatuhkan lewat sumpahnya sendiri.
“Sumpahnya harus disempurnakan. Kalau menyerang Sunda akan dianggap pelanggaran, dan terjadilah,” lanjut Aan.
Sesudah terjadi perang besar, semua orang Sunda tewas. Gajah Mada justru yang dituding biang kerok oleh para menteri.
Tak pelak lagi, hubungan kedua kerajaan itu memburuk. Namun, kata Aan, setelah peristiwa itu, pihak Majapahit telah datang ke Kerajaan Sunda dan meminta maaf sambil menyerahkan beberapa puluh guci abu jenazah orang-orang Sunda.
“Kenapa sejak saat itu sampai masa Pajajaran tidak dimusuhi Majapahit? Karena mereka tahu peristiwa sebenarnya,” jawab Aan.
Selama ini, Kidung Sundayana yang selalu dirujuk sebagai sumber pemberitaan tentang Perang Bubat, dinilainya terlalu hitam putih. Di mana di dalamnya dikisahkan Gajah Mada dan Majapahit sebagai pihak yang licik dan Sunda adalah tokoh baik yang dikorbankan.
“Tapi ternyata yang saya temukan tak sesederhana itu,” tegasnya.
Dibanding versi tutur, Aan mengaku lebih tidak mempercayai apa yang disampaikan historiografi resmi, khususnya yang bersumber dari Kidung Sundayana. Menurut Pararaton, Perang Bubat terjadi pada 1357, sedangkan Kidung Sundayana baru dibuat 300 tahun setelahnya.
“Saya memang bukan sejarawan. Saya penulis novel saja, tapi sumbernya saya ambil dari penelusuran tradisi tutur, karena jujur saja saya tidak percaya versi sejarah resmi,” ucapnya.
Apalagi, kata Aan, kitab itu sebelumnya sempat dibawa ke Belanda. Pada 1920, naskahnya baru kembali ke Indonesia dan diterbitkan oleh filolog Belanda, C.C. Berg dalam bahasa Belanda.
Belum lagi sesudahnya pada 1940-an, melalui Negara Pasundan beberapa orang Sunda ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Adalah Raden Soeria Kartalegawa, bekas bupati Garut yang memproklamirkannya atas bantuan Belanda.
“Orang Sunda soal Perang Bubat baru tahu setelah itu (1920, red.). Apakah ini ada benang merah atau tidak saya tak tahu?” lanjut Aan.
Sejak dulu, kata Aan, selalu dipercaya jika ingin menguasai Nusantara harus menguasai Pulau Jawa lebih dulu. Sementara, untuk menguasai Pulau Jawa, dua kutub kekuatannya, Majapahit di timur dan Sunda di Barat, harus ditaklukkan.
“Jadi, ini mungkin konspirasi besar untuk menguasai Nusantara,” kata Aan.
Apapun itu yang jelas tradisi tutur masyarakat ini setidaknya mendukung kemungkinan kalau Perang Bubat, perseteruan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, pernah terjadi dahulu kala. Kini, berbagai upaya rekonsiliasi dilakukan untuk mengguyubkan kembali dua suku besar di Jawa itu.
Barang-barang pun segera diturunkan dari kapal. Oleh para prajurit Majapahit, barang-barang itu diangkut ke bangsal paseban.
“Barang-barang kami jangan disimpan di paseban!” tegur salah seorang patih Sunda tiba-tiba.
“Memang kenapa?” tanya prajurit keheranan.
“Paseban itu hanya untuk menyimpan upeti dari daerah jajahan,” kata sang patih.
Meski sudah ditegur, barang bawaan orang Sunda itu tetap disimpan di paseban. Bagaimanapun begitulah perintah yang para prajurit Majapahit itu terima.
“Seba itu artinya pajak. Paseban itu tempat menaruh pajak dari daerah jajahan. Orang Sunda tidak terima. Sunda kan bukan daerah taklukan,” jelas Aan Merdeka Permana, penulis novel Perang Bubat, ketika dihubungi Historia.
Kisah itulah yang kemudian memantik ketegangan di antara dua kerajaan besar di Jawa itu. Terjadi adu senjata antara dua kubu yang membuat pihak Majapahit terdesak. Salah seorang di antaranya kemudian melapor ke ibukota. Dibilangnya, orang Sunda mengamuk.
“Ini perang pertamanya,” ujar Aan.
Sementara, ketika itu para pembesar Majapahit, termasuk Gajah Mada sedang mengadakan rapat persiapan penyambutan calon permaisuri negaranya. Mendengar itu, semua jadi panik.
“Mengapa? Ada apa?” kata Gajah Mada.
Gajah Mada diberitahu kalau banyak orang Majapahit yang jadi korban. Sang patih pun turun tangan dan segera membawa pasukannya ke Bubat. Dia yang sudah melepas egonya untuk tak menyempurnakan Sumpah Palapanya dengan menaklukkan Sunda, akhirnya terpaksa melakukan serangan. Inilah, yang menurut Aan, kemudian dikenal sebagai Peristiwa Bubat.
“Ini sudah hari kedua sejak rombongan Kerajaan Sunda datang,” katanya.
Apa yang dikisahkan Aan memang sangat berbeda dari penuturan Kidung Sundayana maupun Pararaton. Selama lebih dari 20 tahun, Aan menghimpun tradisi tutur yang tersebar di tengah masyarakat Jawa Barat hingga Lawangsumber, tepi kota Surabaya, Jawa Timur. Dari penelusurannya didapatkan kalau Gajah Mada bukanlah tokoh utama yang bisa disalahkan atas terjadinya peristiwa berdarah ini.
“Saya mewawancara puluhan orang yang usianya jauh di atas mereka, hasilnya sangat berbeda dari sejarah resmi selama ini,” ucapnya.
Menurut Aan, dalam tradisi tutur didapatkan kalau Perang Bubat sengaja diletuskan untuk menjatuhkan Sang Maha Patih. Bagi para elite politik di kursi pemerintahan Majapahit, Gajah Mada terlalu mendominasi. Karenanya, Kerajaan Sunda dan Gajah Mada sebenarnya adalah dua pihak yang sama-sama menjadi korban.
“Beberapa menteri pejabat negara ingin mempunyai pengaruh yang baik di depan raja. Rakyat lebih mengenal Gajah Mada daripada raja. Ini tak mengenakan bagi menteri lain,” jelas dia.
Sementara itu, Hayam Wuruk juga sudah pernah memperingatkan patihnya. Dia akan membiarkan ambisi Gajah Mada menguasai wilayah-wilayah di Nusantara, kecuali wilayah Kerajaan Sunda. Bagi Hayam Wuruk, kerajaan itu merupakan leluhurnya. Maka, lewat perkawinan diharapkan pihaknya bisa mempererat ikatan dengan kerajaan satu keturunan itu.
“Secara ambisi kecewa, tapi dia negarawan tulen, sebesar apapun ambisi Gajah Mada, baginya keinginan raja adalah keinginan negara, berbakti pada negara adalah segalanya,” ujar Aan.
Hal itu yang kemudian menjadi senjata untuk menjatuhkan Gajah Mada. Dia dijatuhkan lewat sumpahnya sendiri.
“Sumpahnya harus disempurnakan. Kalau menyerang Sunda akan dianggap pelanggaran, dan terjadilah,” lanjut Aan.
Sesudah terjadi perang besar, semua orang Sunda tewas. Gajah Mada justru yang dituding biang kerok oleh para menteri.
Tak pelak lagi, hubungan kedua kerajaan itu memburuk. Namun, kata Aan, setelah peristiwa itu, pihak Majapahit telah datang ke Kerajaan Sunda dan meminta maaf sambil menyerahkan beberapa puluh guci abu jenazah orang-orang Sunda.
“Kenapa sejak saat itu sampai masa Pajajaran tidak dimusuhi Majapahit? Karena mereka tahu peristiwa sebenarnya,” jawab Aan.
Selama ini, Kidung Sundayana yang selalu dirujuk sebagai sumber pemberitaan tentang Perang Bubat, dinilainya terlalu hitam putih. Di mana di dalamnya dikisahkan Gajah Mada dan Majapahit sebagai pihak yang licik dan Sunda adalah tokoh baik yang dikorbankan.
“Tapi ternyata yang saya temukan tak sesederhana itu,” tegasnya.
Dibanding versi tutur, Aan mengaku lebih tidak mempercayai apa yang disampaikan historiografi resmi, khususnya yang bersumber dari Kidung Sundayana. Menurut Pararaton, Perang Bubat terjadi pada 1357, sedangkan Kidung Sundayana baru dibuat 300 tahun setelahnya.
“Saya memang bukan sejarawan. Saya penulis novel saja, tapi sumbernya saya ambil dari penelusuran tradisi tutur, karena jujur saja saya tidak percaya versi sejarah resmi,” ucapnya.
Apalagi, kata Aan, kitab itu sebelumnya sempat dibawa ke Belanda. Pada 1920, naskahnya baru kembali ke Indonesia dan diterbitkan oleh filolog Belanda, C.C. Berg dalam bahasa Belanda.
Belum lagi sesudahnya pada 1940-an, melalui Negara Pasundan beberapa orang Sunda ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Adalah Raden Soeria Kartalegawa, bekas bupati Garut yang memproklamirkannya atas bantuan Belanda.
“Orang Sunda soal Perang Bubat baru tahu setelah itu (1920, red.). Apakah ini ada benang merah atau tidak saya tak tahu?” lanjut Aan.
Sejak dulu, kata Aan, selalu dipercaya jika ingin menguasai Nusantara harus menguasai Pulau Jawa lebih dulu. Sementara, untuk menguasai Pulau Jawa, dua kutub kekuatannya, Majapahit di timur dan Sunda di Barat, harus ditaklukkan.
“Jadi, ini mungkin konspirasi besar untuk menguasai Nusantara,” kata Aan.
Apapun itu yang jelas tradisi tutur masyarakat ini setidaknya mendukung kemungkinan kalau Perang Bubat, perseteruan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, pernah terjadi dahulu kala. Kini, berbagai upaya rekonsiliasi dilakukan untuk mengguyubkan kembali dua suku besar di Jawa itu.
loading...
Post a Comment