Halloween Costume ideas 2015
May 2018

Ilustrasi
Biografi - Nasib malang dialami bocah perempuan berinisial N (12) setelah menjadi korban perkosaan yang dilakukan oleh anak baru gede, AN (16). Modus yang digunakan pelaku dengan cara mengiming-imingi petasan kepada korban.

Peristiwa itu terjadi saat korban main ke rumah pamannya di Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, Palembang, Rabu (23/5) pagi. Lalu, datanglah pelaku yang ikut nimbrung menonton televisi.

Suasana rumah yang sepi membuat pelaku berniat berbuat jahat. Lantas, pelaku mengajak korban masuk kamar untuk berhubungan badan. Spontan, korban menolak dan berontak.
Tak habis akal, pelaku kembali merayu korban menuruti kemauannya dengan iming-iming membelikan petasan dan uang Rp 15.000. Lagi-lagi korban berontak.

Alhasil, terjadilah perkosaan itu. Aksi pelaku dipergoki paman korban yang sebelumnya berada di depan rumah. Pelaku pun akhirnya diserahkan ke kantor polisi oleh keluarga korban.

Kepada petugas, ABG putus sekolah itu membantah telah memperkosa korban. Dia mengaku korban bersedia berhubungan badan dengannya karena iming-iming petasan.

"Tidak benar itu, saya tidak paksa. Dia buka sendiri pakaiannya, saya janji kasih duit sama petasan," ungkap tersangka AN di Mapolresta Palembang, Kamis (24/5).

Tersangka mengaku terpikat dengan tubuh korban karena pengaruh video porno yang kerap ditontonnya di HP temannya. "Nonton film porno sering, bawaannya gitu (nafsu) terus," kata dia.

Kasatreskrim Polresta Palembang, Kompol Yon Edi Winara mengatakan, tersangka tengah ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak setelah diserahkan pihak keluarga korban. Tersangka dikenakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 atas Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 15 tahun penjara.

"Tersangka mengiming-imingi memberikan barang, yakni petasan dan uang. Keterangan korban dan tersangka masih kita selidiki," katanya. | Merdeka.com

Peter Mundy, seorang pedagang Inggris yang singgah di Aceh, membuat sketsa cara berpakaian orang Aceh.
PENEGAKKAN syariat Islam di Aceh membuat warganya kerap kena razia. Mereka terjaring karena mengenakan pakaian ketat. Kaum lelaki karena memakai celana pendek di atas lutut. Razia dilakukan sebagai implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, Syiar Islam. Biasanya laki-laki yang terjaring diberi sarung dan perempuan diberi jilbab. Mereka juga dibina supaya berpakaian sesuai peraturan.

Islam sudah ada di Aceh paling tidak sejak abad 13. Namun, bukan berarti penerapan aturannya sudah sama sejak masa itu. Orang-orang asing yang datang ke Aceh menggambarkan bagaimana mereka berpakaian dan merias diri.

Francois de Vitre, penjelajah Prancis yang datang ke Aceh pada 26 Juli 1602 mengungkapkan, kebanyakan orang Aceh mengenakan ikat pinggang yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi kemaluan. Bagian tubuh lain dibiarkan terbuka.

Sementara para bangsawan dan pedagang menggunakan kain katun atau sutera yang dililitkan pada tubuh hingga lutut. Mereka juga memakai sejenis topi yang sangat lebar, dengan lengan yang juga lebar dan terbuka di bagian depan.

Vitre mencatat, orang Aceh juga biasanya memakai pakaian dari belacu biru, warnanya merah lembayung. Menurutnya, kebiasaan mereka yang suka memakai sorban sungguh aneh. Sorban itu diikat seperti gulungan sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup.

Di pundak mereka memakai baju atau rompi dengan lengan yang lebarnya bukan kepalang lalu ketat di bagian pergelangannya. Sebuah “lunghee” melilit pinggang, pedang panjang di sisi, yang bergantung pada sabuk yang diselempangkan.

Berdasarkan sketsa seorang pedagang Inggris, Peter Mundy pada 1637 sabuk itu diselempangkan di bahu kiri, senjata yang masuk dalam sarung itu panjang sekali. Senjata ini digantungkan di bawah lengan dan pegangan senjata itu tertahan di bawah ketiak. Selain pedang panjang tadi, mereka juga memakai keris. Ini semacam pisau belati.

Semua laki-laki mencukur habis kumis dan jenggot mereka. Semua berjalan tanpa alas kaki, dari raja sampai orang paling kere sekalipun.

“Mereka tak berkulit sehitam orang Guinea. Hidungnya juga tak sepesek mereka. Mereka berkulit kuning atau coklat. Berperawakan cukup tinggi,” catat Vitre.

Adapun perempuan umumnya mengenakan kain katun dari pinggang hingga lutut. Sepotong kain lain menutupi bagian dada hingga pinggang. Meskipun demikian ada pula perempuan yang bertelanjang dada, hanya mengenakan selendang yang disampirkan di bahu menutupi sebagian dada. Kepala mereka tak ditutup dan membiarkan rambut dipotong pendek.

Setiap perempuan telinganya dilubangi dan diselipi benda selebar empat jari. Selain itu pada tulang rawan telinganya terdapat juga lubang-lubang kecil yang diselipi bunga-bunga. Mereka mengenakan gelang tembaga, timah putih, atau perak. Beberapa di antara mereka juga mengenakan cincin di jari manisnya.

Agar tubuhnya wangi, para perempuan biasanya menumbuk rempah wangi dan merendamnya dalam air, seperti batang lidah buaya, cendana, dan jeruk purut. Mereka menggosokkan bahan-bahan itu ke bagian tubuh.

Para gadis kalau tidak diikat rambutnya di belakang kepala, mereka berambut pendek. Sehingga membuat mereka sulit dibedakan dari lelaki, kecuali karena buah dadanya.

Sementara itu, pejelajah Inggris lainnya, William Dampier pada 1688 memberikan gambaran sedikit berbeda. Katanya, masyarakat Aceh yang berkedudukan tinggi biasanya memakai kupiah di kepala dari kain wol berwarna merah atau warna lain. Mereka memakai celana pendek. Bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak. Sementara rakyat kecil telanjang dari pinggang ke atas. Mereka juga tidak memakai kaos kaki atau sepatu. Hanya orang kaya yang memakai sandal.

Penari

Dalam dunia hiburan, dandanan para penarinya pun begitu semarak. Penari perempuan misalnya, sebagaimana diungkapkan Augustin de Beaulieu. Di atas rambut mereka ada sebentuk topi yang terdiri dari gulungan emas dengan jambul-jambul sepanjang 1,5 kaki juga dari gulungan emas. Topi itu ditelengkan ke sebelah telinga. Mereka memakai anting-anting besar yang juga terdiri dari untaian emas. Untaian itu menggantung hingga bahu.

Bahunya ditutupi sejenis hiasan ketat yang melingkari leher dan melebar membentuk lidah lancip melengkung seperti gambaran sinar matahari. Seluruhnya dari lempeng emas yang diukir aneh sekali.

Di tubuh bagian atasnya, mereka mengenakan kemeja atau baju dari kain emas dengan sutera merah yang menutupi dada dengan ikan pinggang besar yang sangat lebar. Bahannya dari untingan-untingan emas. Pinggul mereka diikat ketat dengan selajur kain emas, sebagaimana kebiasaan di negeri itu. Di bawahnya, celana juga dari kain emas. Panjangnya tak lebih dari lutut. Di bagian bawahnya digantungi beberapa kerincing emas kecil. Lengan dan kakinya telanjang. Namun, dari pergelangan tangan hingga siku tertutup berbagai renda emas berpermata. Itu seperti juga di atas siku dan dari pergelangan kaki sampai betis.

Di pinggang, masing-masing ada keris atau pedang yang pegangan dan sarungnya bertahtakan permata. Tangan mereka juga memegang kipas besar dari emas dengan beberapa kerincing kecil di pinggirnya.

Bagi Beaulieu pakaian yang dikenakan gadis-gadis penari itu aneh, namun mereka sangat cantik. “Tak kukira ada yang seputih itu di negeri sepanas ini, sedangkan dandanannya belum pernah saya lihat sedemikian … sukar bagi saya menerangkannya, sebab seluruhnya dari emas belaka,” kata Beaulieu.

Kuku dan Keris

Rupanya, selain emas dan permata, orang-orang Aceh masa lalu juga menjadikan kuku sebagai tanda status sosial. Orang kaya bisa dibedakan dari rakyat biasa lewat kukunya. Seringkali orang kaya membiarkan kuku ibu jari dan kelingkingnya tumbuh panjang. “Ini tanda kalau mereka tak melakukan pekerjaan kasar dengan tangannya,” tulis Danys Lombard.

Keris juga menambah kekuasaan bagi pemiliknya. Lombard mencatat, keris pada masanya merupakan lambang kekuasaan, selain cap. Tanpa keris, tak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah raja. Para pegawai istana membawa keris kalau menyambut orang asing untuk mengantar mereka menghadap raja.

John Davis, seorang juru mudi Inggris, pada 1599 menjelaskan keris semacam badik yang mata dan pegangannya terbuat dari logam yang oleh raja dinilai lebih berharga dibanding emas. Pegangannya bertakhtakan batu-batu delima.

Memakai keris sembarangan sangat dilarang dan terancam hukuman mati. Namun, jika raja yang memberikan keris itu, dengan hanya memegangnya dia mampu mengambil makanan tanpa membayar dan memerintah orang lain layaknya kepada budak.

“Semua penjelajah atau hampir semuanya, memberi gambaran yang sama dari kekuasaan yang berkat keris itu melekat pada si pemakai,” tulis Lombard.[historia.id]

Arak-arakan perayaan Idul Adha di Kesultanan Aceh. Sketsa Peter Mundy 1637. (Sumber: Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra).
Biografi - Hari Raya Idul Adha 1637.Peter Mundy terkagum-kagum kala menyaksikan prosesi itu. Seperti dikisahkannya dalam buku Denys Lombard berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, ia melihat semua warga Kesultanan Aceh seolah larut dalam suatu perayaan pesta akbar: seluruh lapangan besar antara pintu masuk istana hingga ke masjid Bait ur-Rahman dihiasi dengan bendera-bendera besar. Sultan datang dengan menaiki gajah yang dihias sangat megah dan mewah.

“Kedatangan Sultan diiringi arak-arakan besar yang terdiri atas 30 barisan…” ujar pedagang Inggris tersebut

Mundy juga melihat, dalam barisan ke-28 ada 30 ekor gajah yang dihias dengan benda mirip menara kecil di atas punggungnya. Di setiap menara berdirilah dengan gagah masing-masing seorang serdadu yang berpakaian merah seraya memegang bedil. Pada deretan pertama rombongan yang terdiri atas 4 ekor gajah, gadingnya masing-masing dipasangi dua pedang besar. Banyak di antara gajah itu memiliki nama, salah satunya, gajah yang dinaiki Sultan, bernama Lela Manikam.

Perayaan Idul Adha yang disaksikan Mundy bertepatan dengan pengangkatan Iskandar Tsani sebagai sultan. Karena itu, tak aneh jika prosesinya berlangsung sangat panjang dan melibatkan banyak petinggi kerajaan, tentara, para pelayan istana, berbagai senjata, dan simbol kebesaran kerajaan. Menurut Amirul Hadi dalam Aceh: Sejarah Budaya dan Tradisi ada banyak alasan yang menjadikan perayaan Idul Adha kerap melibatkan seluruh elemen negeri secara massif. Namun yang pasti, faktor Aceh sebagai seuatu kerajaan Islam menjadikan penguasanya memiliki otoritas politik maupun agama. Perayaan juga menggunakan dua tempat, yakni istana sebagai simbol perayaan sedang masjid sebagai simbol keagamaan.

Mundy melanjutkan, ketika sampai di dalam masjid, Sultan dan para pembesar istana masuk untuk melaksanakan ibadah. Setelah beriabadah di masjid bersama Syaikh Syams ud-Din, Sultan pergi ke tempat rajapaksi. Di sana hewan-hewan yang akan dikurbankan sudah diikat di bawah kemah. Sultan kemudian melakukan penyembelihan pertama menggunakan belati emasnya. Begitu muncul tetesan darah pertama, belati diserahkan kepada Syaikh Syams ud-Din untuk meneruskan prosesi penyembelihan hewan kurban. Dari kesaksian Mundy, Sultan saat itu mengurbankan 500 kerbau muda. Tidak hanya Sultan, pejabat kerajaan pun ikut berkurban. Salah satunya adalah Kadi Malik ul-adil.

Perayaan Idul Adha di rajapaksi dilanjutkan hingga selesai sementara Sultan kembali lagi ke istananya. Dalam perjalanan pulang Sultan beserta rombongan arak-arakannya diiringi berbagai macam musik. Rakyat sangat tertarik melihat rajanya. Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra menulis bahwa ibu-ibu yang sedang hamil juga keluar untuk menyaksikan rajanya. Banyak yang melahirkan anak di jalan atau di pasar, bahkan ada orang yang tidak mendapat tempat dan harus berdesakan karena terlalu banyak orang yang ingin menyaksikan arak-arakan ini. Begitu banyak orang yang terlibat dan panjangnya prosesi membuat hampir tidak ada ruang yang tersisa dan sedikit kacau. Oleh karena itu, menurut Mundy prosesi tersebut sangat tidak beraturan.

Bersumber dari Adat Aceh, disebutkan Amirul Hadi bahwa ada lebih banyak peserta yang terlibat dengan lencana kebesaran kerajaan yang lebih lengkap dibanding perayaan dan prosesi lain di Kesultanan Aceh. Idul Adha memang secara resmi dijadikan perayaan paling penting di sana saat itu. [historia.id]

Deliar Noer (1926-2008). tirto.id/Quita
Biografi - Suatu kali, setelah menyusun naskah kumpulan karangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Ajip Rosidi meminta Deliar Noer untuk membuatkan kata pengantar. Deliar Noer bersedia. Setelah buku terbit, Ajip bermaksud memberikan honor kepada Deliar untuk kata pengantar buku tersebut. Deliar menolak honornya.

“Uang itu dikembalikannya dengan alasan bahwa dia merasa berutang budi kepada Mr. Sjafruddin dan kawannya segenerasi, maka penulisan pengantar itu dianggapnya sebagai penghormatannya kepada beliau,” tutur Ajip dalam obituari untuk Deliar Noer seperti termuat di buku Mengenang Hidup Orang Lain (2010: 188).

Deliar Noer dikenal sebagai intelektual dengan spesialisasi politik dan sejarah Islam Indonesia abad ke-20. Hasil risetnya banyak yang sudah dipublikasikan penerbit-penerbit besar, termasuk karyanya yang terkait sejarah tokoh Islam. Salah satunya biografi Mohammad Hatta yang berjudul Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990).

Ia meraih gelar doktor ilmu politik dari Universitas Cornell, Itacha, Amerika Serikat pada 1963 dan menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil menggondol doktor dalam bidang tersebut. Disertasinya, "The Rise and Development of the Modernist Movement in Indonesia", membahas bagaimana tokoh dan kelompok-kelompok Islam bergerak di era kolonial.

Disertasinya kemudian dialihbahasakan dan dibukukan dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 pada 1980. Dalam buku itu, Deliar juga mencatat keadaan umat Islam di Indonesia sebelum abad ke-20. Di masa itu, menurut Deliar, sikap taqlid “merajalela di kalangan umat Islam mulai abad XI hingga abad XIX. Apa yang disebut Ijtihad, yaitu usaha dan daya bersungguh-sungguh untuk menemukan tafsir serta pendapat tentang sesuatu soal, tidak lagi diakui.”

Hidup Deliar Noer memang tidak pernah jauh dari Islam. Ia tumbuh besar dalam keluarga Minangkabau yang merantau di Sumatera Timur. Ayahnya, Noer Joesoef, adalah pegawai pegadaian yang doyan mengadakan pengajian.

Kondidi ekonomi keluarganya tergolong lumayan. Setidaknya, sewaktu bocah, Deliar Noer pernah belajar di Hollandsche Inlandsch School (HIS) partikelir milik perguruan Taman Siswa di Tebing Tinggi, lalu ke HIS milik pemerintah. Lulus sekolah dasar 7 tahun itu, dia sebentar bersekolah di SMP kolonial—yang disebut Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—di kota Medan.

Larut dalam Revolusi
Sayangnya, Deliar Noer tidak bisa sekolah dengan normal seperti banyak pemuda seumurannya. Perang Pasifik meletus. MULO tak bisa berjalan lagi setelah Balatentara Jepang mendarat. Para siswa mau tidak mau harus melanjutkan di SMP yang disebut Chu Gakko. Sempat terpikir olehnya untuk belajar di INS Kayutanam di zaman Jepang itu. Belakangan, Deliar hijrah ke Jakarta. Maksud hati untuk sekolah, tapi dia terjebak dalam revolusi. Dia berada di pihak Republik. Di masa revolusi pula, ia pernah jadi penyiar Radio Republik Indonesia (RRI).

Waktu ada lowongan di Akademi Militer di Yogyakarta, Deliar Noer mendaftar, namun tidak diterima. Setelah itu dia dianjurkan pergi ke Cikampek, tetap untuk berjuang di pihak Republik.

“Nasibku agaknya memang tidak untuk aktif di dalam tentara, padahal keinginanku kuat juga untuk itu. Aku malah telah mengupahkan pembuatan uniform serba hijau dalam rangka itu,” tutur Deliar dalam Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer (1996: 218).

Setelahnya, Deliar Noer berangkat ke Singapura. Di sana ia menjadi Sekretaris Perdagangan pemerintah.

Usai revolusi, Deliar Noer, yang sempat bekerja di Departemen Luar Negeri dan jadi guru SMA Muhammadiyah ini, kemudian kuliah. “Aku masuk di Akademi Nasional jurusan Sosial Ekonomi Politik tahun 1950,” sebut Deliar dalam autobiografinya (1996: 301).

Di awal 1950-an, Deliar Noer adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Jakarta. Pernah jadi Ketua Cabang (1951-1953) dan Ketua Pengurus Besar HMI (1953-1955).

Dia kemudian mengenal Mohammad Hatta ketika bekerja di Pers Biro Indonesia (PIA). Dalam autobiografinya Deliar mengaku, “Yang memacu hubungan ini adalah pertemuan mingguan antara beberapa orang wartawan dengan Hatta di rumah wakil presiden di Merdeka Selatan, ketika aku menjadi pemimpin desk bahasa Inggeris kantor berita PIA, bekas Aneta—kepunyaan Belanda” (hlm. 875).

Menjadi Akademisi
Deliar berhasil merampungkan sarjana mudanya di Universitas Nasional pada 1958. Berkat bantuan dana dari Yayasan Rockefeller, ia bisa kuliah di Amerika. “Karena prestasi saya baik, mereka memutuskan untuk membiayai saya sampai meraih doktor," akunya dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986 (1986: 595-596).

Sepulang dari Amerika, pada 1963, Deliar kembali ke Pesisir Sumatera bagian Timur, yang sudah jadi Provinsi Sumatra Utara, dan menjadi dosen di Universitas Sumatra Utara (USU), Medan. Dia angkat kaki dari sana dua tahun kemudian karena berkonflik dengan golongan yang sedang berjaya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, Mayor Jenderal Sjarif Thayeb, dianggap sebagai orang yang melarangnya mengajar.

“Dia dipecat dari kampus USU karena desakan golongan kiri yang menuduhnya antek Amerika dan dekat dengan Hatta,” tulis Ajip Rosidi (hlm. 184).

Dia juga kena tuduh sebagai orang yang anti-Manifesto Politik (Manipol). Dia dan Hatta dianggap sama, berseberangan dengan Sukarno. Di masa-masa suksesi dari Sukarno ke Soeharto, antara 1965 hingga 1967, Deliar sempat dipekerjakan sebagai Kepala Biro Hubungan Luar Negeri, Departemen Urusan Riset Nasional di Jakarta.

Ketika Soeharto jadi Ketua Presidium Kabinet Ampera, Deliar termasuk dalam kelompok staf pribadi yang dikenal sebagai SPRI. Rupanya Deliar Noer tidak cocok berlama-lama jadi staf daripada jenderal yang belakangan jadi Presiden Republik Indonesia kedua itu. Dia berbeda paham dengan staf lainnya.

“Banyak contoh mengenai kebijakan dan langkah-langkah Soeharto yang tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita,” tulis Deliar dalam Delapan Puluh Tahun Deliar Noer (2007: 174).

Sejak 1967, Deliar kembali ke tempat di mana orang terpelajar harusnya berada: kampus. Dia dijadikan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta—yang belakangan jadi Universitas Negeri Jakarta. Namun, lagi-lagi dia berurusan dengan orang yang sama pada 1974.

Kala itu Sjarif Thayeb sudah jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut dia “dipecat ketika hendak membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada bulan Juni 1974, padahal masa jabatannya hanya tinggal beberapa bulan lagi” (hlm. 183).

Sang menteri menuduhnya sebagi penghasut. Kala itu, masih hangat-hangatnya gerakan mahasiswa yang disebut Malapetaka 15 Januari 1974 alias Malari 1974.

Setelahnya, Deliar Noer pun tak punya tempat mengajar. Tapi kampus bergengsi tak pernah tidur ketika melihat dosen bagus. Jauh di seberang lautan, Australian National University (ANU) di Canberra meliriknya. Terbebaslah dia sebagai manusia tanpa penghasilan yang tinggal di rumah kontrakan. “Daripada tidak bisa makan di negeri sendiri, lebih baik cari makan di negeri orang," kata Deliar Noer dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia.

Tak hanya di ANU, dia juga pernah menjadi pengajar tamu di Universitas Griffith, Brisbane. Sebagai orang dekat Hatta, Deliar Noer pernah diajak untuk membangun partai bernama Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Setelah Soeharto lengser, dia mencoba mendirikan Partai Umat Islam, namun tidak mendapat dukungan yang cukup. Kiprahnya di dunia partai politik tak sebaik nama besarnya di dunia ilmu pengetahuan.

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Sumber: tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi

BARANGKALI Balaputradewa satu-satunya raja Sriwijaya yang diingat banyak orang. Dia terkenal sampai India karena membangun asrama bagi pelajar Sriwijaya di Nalanda. Padahal, Sriwijaya mulai maju sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak abad 7. Namanya memudar pada abad 12.

Sementara Balaputradewa menjadi raja Sriwijaya pada abad 9. Lantas siapa saja yang menjadi raja Sriwijaya? Pertanyaan ini cukup merepotkan para ahli.

“Dalam kajian Sriwijaya yang menyulitkan kita adalah menyusun genealogi raja-rajanya, karena prasasti tak menyebut nama raja dengan terang,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas, kepada Historia.

Tak jelas juga siapa yang memulai imperium besar ini. Informasi awal muncul dalam Prasasti Kedukan Bukit bernama Dapunta Hyang. Namun, sesungguhnya yang disebut prasasti dari tahun 682 itu hanyalah gelar.

Untungnya, Prasasti Talang Tuo memperjelasnya. Ditemukan di Palembang, prasasti dari tahun 684 ini menyebut tokoh Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Kedua tokoh itu dianggap orang yang sama karena prasasti itu dikeluarkan dalam jarak waktu berdekatan.

“Kita baru tahu nama lengkapnya setelah ditemukan prasasti tentang taman, Prasasti Talang Tuo,” ujar Bambang.

Menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya berdasarkan isi Prasasti Talang Tuwo, Dapunta Hyang Sri Jayanaga dipuja dengan doa yang muluk setelah dia memerintahkan pembuatan taman Sriksetra. Taman yang ditanami beraneka buah-buahan itu diciptakan demi kehidupan semua makhluk. 

“Jadi logisnya Dapunta Hyang adalah gelar raja Sriwijaya yang bernama Sri Jayanaga,” catat Slamet Muljana.

Siapa yang melanjutkan pemerintahannya?

Menurut Bambang, informasinya terputus sampai muncul nama Balaputradewa. Ada petunjuk kecil dari Prasasti Ligor A dan kronik Tiongkok. Prasasti itu menyebut raja Sriwijaya menyerupai Indra yang membangun kuil di Ligor (kini, Nakhon Si Thammarat di Thailand selatan) pada 775.

Hsin-t’ang-hsu, catatan sejarah yang disusun berdasarkan berita Ch’iu T’ang Shu atau sejarah lama, ketika Dinasti Sung berkuasa pada abad 11. Tercatat Kerajaan Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) mengirim utusan ke Tiongkok pada 670-673 dan 713-741.

Pada 724, seorang utusan bernama Kiu-mo-lo (Kumara) datang ke Tiongkok. Kaisar memberi gelar jenderal padanya. Dia juga memberi gelar pada raja Sriwijaya bernama Che-li-to-le-pa-mo (Sri Indrawarman).

“Jika masa pemerintahan itu kita hubungkan dengan Prasasti Ligor A, yaitu 775, maka selisih 51 tahun, mungkin Sri Indrawarman masih memerintah, mungkin juga sudah diganti putranya,” tulis Slamet. Bisa jadi raja yang dilukiskan serupa Dewa Indra oleh Prasasti Ligor A adalah Sri Indrawarman atau anaknya yang entah siapa namanya.

Tak banyak lagi informasi mengenai pemegang takhta berikutnya. Permasalahan genealogi kian ruwet ketika sampai ke Balaputradewa dalam suksesi Sriwijaya. Dalam Prasasti Nalanda dari tahun 860, Balaputradewa mengaku keturunan Sailendra, sebuah wangsa di Jawa. Ini menjadi pertanyaan bagaimana seorang keturunan Jawa bisa berkuasa di Sumatra.

Namun, setidaknya dia menjadi raja Sriwijaya lebih jelas. Prasasti itu menyebut namanya sebagai Maharaja di Suwarnadwipa, sebutan lama bagi Sumatra yang identik dengan Sriwijaya.

Setelah Balaputradewa, ada dua nama yang disebut dalam kronik Tiongkok sebagai raja di San-Bo-Zhai (Sumatra). Namun, keduanya tak didukung data prasasti. Dalam catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279), disebutkan pada 960, Si-ri-hu-da-xia-li-tan mengirimkan utusan ke Tiongkok. Rajanya bernama Si-ri-wu-ya. Dua puluh tahun kemudian, rajanya sudah berganti. Ha-chi atau Haji (Aji) tertulis sebagai raja yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 980.

Informasi agak terang muncul soal dua raja selanjutnya. Selain dari catatan Sejarah Dinasti Song, kedua raja ini juga disebut dalam prasasti berbahasa Tamil, Prasasti Leiden dari tahun 1005.

Kronik Tiongkok menyebut pada 1003, Raja Si-ri-zhu-la-wu-ni-fo-ma-diao-hua mengirimkan utusan ke Tiongkok. Utusan ini menyampaikan kepada kaisar kalau mereka mendirikan vihara Buddha bagi sang kaisar. Untuk itu mereka memohon agar penguasa Tiongkok bersedia memberikan nama dan genta. Pada 1008, penggantinya, Se-ri-ma-la-pi juga mengirim utusan ke Tiongkok.

Kedua raja itu merupakan ayah dan anak. Dalam Prasasti Leiden disebutkan Sri Marawijayotunggawarman, putra Raja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, raja Kataha dan Sriwijaya, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Sementara sang ayah menghadiahkan sebuah biara bernama Cudamaniwarmanwihara. Hadiah ini, diberikan pada tahun pertama pemerintahan Raja Cola, Rajaraja I (1005/1006).

Berikutnya, pada 1017 berita Tiongkok kembali menyebut Raja Ha-chi-su-wu-cha-pu-mi mengirimkan utusan yang membawa surat berhuruf emas dan beberapa hadiah kepada kaisar. Pada 1028, raja yang berbeda, Raja Si-li-die-hua atau mungkin dibaca Sri Deva, mengutus bawahannya ke Tiongkok. Dua tahun sebelum utusan ini datang, Sriwijaya diserang Kerajaan Cola dari India Selatan. Dalam Prasasti Tanjore (1030) disebutkan Raja Sangramawijayattungawarman ditawan.

Dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, George Coedes memperkirakan raja yang ditawan itu segera diganti. Yang tercatat dalam kronik Tiongkok itu bisa jadi adalah raja yang menggantikan.

Bambang menjelaskan, Sriwijaya masih tercatat mengirimkan bantuan ke Tiongkok dalam pembangunan kuil Tao di Kanton. Dalam Prasasti Kanton (1079) tercatat perbaikan kuil T’ien Ching dilakukan atas biaya raja San-fo-ts’i bernama Ti-hu-ka-lo.

Nama itu mungkin yang terakhir dari berita-berita tentang penguasa Sriwijaya. Informasi penguasa di Suwarnadwipa baru muncul kembali saat di Jawa sudah berkuasa Krtanagara, raja Singhasari. Namun, agaknya kekuasaan di Sumatra sudah beralih dari Sriwijaya ke Kerajaan Melayu. Pusat kekuasaannya berubah ke Dharmmasraya di barat Sumatra.

Lewat Prasasti Padang Roco (1286) yang ada di lapik arca Amoghapasa diketahui kalau Krtanagara menghadiahi rakyat Bhumi Malayu arca itu. Raja di Bhumi Malayu itu bernama Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa.

Gelar Srimat sebelumnya juga pernah muncul. Ia tercantum dalam Prasasti Grahi (1183) untuk raja bernama Srimat Trailokyaraja Mauplibhusanawarmadewa. Adapun prasasti ini berada di Chaiya, selatan Thailand yang sebelumnya pernah menjadi negeri bawahan Sriwijaya.

Menurut Slamet Muljana, gelar Srimat dan nama Mauli hanya dikenal oleh raja-raja Melayu. Tak pernah sebelumnya digunakan oleh penguasa trah Sailendra, baik di Sumatra maupun di Jawa.

“Dengan kata lain Kerajaan Sriwijaya pada 1183 sudah runtuh digantikan Kerajaan Malayu, dan wilayah Semenanjung tak lagi diperintah Sriwijaya, melainkan Kerajaan Melayu,” jelasnya.| historia.id

Ribuan warga Palestina yang melancarkan aksi di berbagai titik perbatasan Gaza-Israel, ditembaki serdadu Israel (Foto: idf.il)
SEOLAH tak mempedulikan nyawa manusia, militer Israel meladeni demonstrasi “Great March Return” rakyat Palestina dengan tembakan. Akibatnya, lebih dari 100 orang tewas dan 1000 lainnya terluka.

Israel mengklaim para serdadunya menjaga kedaulatan. Insiden berdarah itu menambah panjang deretan insiden berdarah yang sejak lama terjadi. Suasana makin dikeruhkan oleh peresmian Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Yerussalem pada Selasa (15/5/2018).

Meski banyak pemimpin dunia mengutuk dan mengecam keputusan itu, Presiden Donald Trump bergeming. AS bahkan mematahkan sejumlah resolusi yang dikeluarkan Dewan Kemanan (DK) PBB. “Apapun resolusinya akan di-veto AS. Mereka kan pegang hak veto,” ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana kepada Historia.

Eksodus Penduduk Palestina

Great March Return dihelat untuk memperingati eksodus besar-besaran orang Palestina. Dalam Perang Palestina 1948, sekira 700 ribu warga Palestina mengungsi dari tempat tinggal mereka akibat pendudukan Israel. Menurut Benny Morris dalam The Birth of Palestinian Refugee Problem Revisited, hingga kini para penyintas dan keturunan mereka tersebar di Yordania (dua juta), Lebanon (428 ribu), Suriah (478 ribu), Tepi Barat (788 ribu), dan Jalur Gaza (satu juta).

Hari pengungsian itu dikenal sebagai Nakba atau Yawm an-Nakba, yang berarti Hari Bencana. Pada 1950-an, Liga Arab menyebutnya sebagai Hari Palestina. Oleh Yasser Arafat Hari Nakba ditetapkan secara resmi pada 1998. “Orang-orang Arab di Israel-lah yang awalnya mengajarkan para penduduk di wilayah Israel untuk memperingati Hari Nakba,” cetus mantan Wakil Walikota Yerusalem Meron Benvenisti dalam Son of Cypresses.

Mempertanyakan Legalitas Kedubes Amerika

Dalam peringatan 70 tahun Hari Nakba yang jatuh tahun ini, rakyat Palestina menggelar Gerakan 40 ribu warga Palestina di berbagai wilayah Gaza. Berbarengan dengan gerakan itu, AS meresmikan perpindahan kedubesnya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan itu ibarat menyiram bensin ke bara api hubungan Palestina-Israel. “Besar dugaan, motifnya Trump ingin mewujudkan janji kampanyenya,” ujar Hikmahanto.

Trump berpijak pada undang-undang (UU) bernama Jerusalem Embassy Act (JEA) yang RUU-nya dicetuskan kali pertama oleh Senator Bob Dole di Komite Senat Bidang Luar Negeri dan Komite Kongres Bidang Hubungan Internasional Senat, 13 Oktober 1995. Setelah diluluskan Senat dan Kongres pada 24 Oktober 1995, JEA resmi jadi UU pada 8 November 1995.

JEA berangkat dari prinsip AS bahwa Yerusalem berdasarkan sejarahnya merupakan bagian dari pemerintahan di bawah Inggris (Mandatory Palestine). Untuk memperkuat prinsip itu, AS menggunakan UU Yerusalem Israel yang –mengklaim Yerusalem sebagai ibukota Israel– diterbitkan Knesset (badan legislatif Israel) pada 30 Juli 1980.

Kebijakan Trump meruntuhkan fondasi toleransi yang dibangun para pendahulunya. Meski ayat 3 JEA menyatakan bahwa Kedubes AS harus sudah dipindah dari Tel Aviv pada 31 Mei 1999, pemerintahan Clinton hingga Barack Obama senantiasa menunda pelaksanaannya. Mereka berpijak pada ayat 7, di mana presiden berhak menunda proses pemindahan kedubes selama enam bulan.

Trump sebetulnya sempat mengikuti para pendahulunya, namun pada Desember 2017 dia mengakui Yerusalem adalah ibukota Israel meski kembali menandatangani penundaan pemindahan kedubes. Pada 15 Mei 2018, berbarengan dengan 70 tahun deklarasi kemerdekaan Israel, Trump meresmikan pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem yang kemudian diikuti Guatemala.

Keputusan Trump yang menggugurkan sejumlah resolusi DK PBB itu menuai kecaman keras dari berbagai pihak. Keputusan itu melanggar banyak hukum internasional sekaligus mencederai legitimasi AS sebagai penengah konflik Israel-Palestina.

“Dunia harus terus menunjukkan penentangannya. Termasuk mengingatkan Trump, rakyat AS, dan kepentingan AS di luar negeri bisa jadi korban kebijakannya. Ditambah, dunia juga mesti mendorong Rusia atau negara-negara pemilik hak veto lainnya di DK PBB untuk melakukan tindakan unilateral yang bisa membuat Trump berpikir ulang,” lanjut Hikmahanto.

Tindakan unilateral mesti diambil mengingat jika persoalan itu dibawa ke DK PBB, hasil resolusinya bisa kembali di-veto AS. “Atau masyarakat dunia hendaknya merangkul warga AS dengan harapan bisa dihentikan (atau dibatalkan) melalui lembaga peradilan di AS, atau bahkan mendorong agar Presiden Trump di-impeach (dimakzulkan),” tutup Hikmahanto.

ROMBONGAN Kerajaan Sunda sudah tiba di dermaga Bubat. Letaknya tak jauh dari Sungai Jetis, di utara Trowulan, ibu kota Kerajaan Majapahit. Mereka datang untuk mengawinkan sang putri, Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit.

Barang-barang pun segera diturunkan dari kapal. Oleh para prajurit Majapahit, barang-barang itu diangkut ke bangsal paseban.

“Barang-barang kami jangan disimpan di paseban!” tegur salah seorang patih Sunda tiba-tiba.

“Memang kenapa?” tanya prajurit keheranan.

“Paseban itu hanya untuk menyimpan upeti dari daerah jajahan,” kata sang patih.

Meski sudah ditegur, barang bawaan orang Sunda itu tetap disimpan di paseban. Bagaimanapun begitulah perintah yang para prajurit Majapahit itu terima.

“Seba itu artinya pajak. Paseban itu tempat menaruh pajak dari daerah jajahan. Orang Sunda tidak terima. Sunda kan bukan daerah taklukan,” jelas Aan Merdeka Permana, penulis novel Perang Bubat, ketika dihubungi Historia.

Kisah itulah yang kemudian memantik ketegangan di antara dua kerajaan besar di Jawa itu. Terjadi adu senjata antara dua kubu yang membuat pihak Majapahit terdesak. Salah seorang di antaranya kemudian melapor ke ibukota. Dibilangnya, orang Sunda mengamuk.

“Ini perang pertamanya,” ujar Aan.

Sementara, ketika itu para pembesar Majapahit, termasuk Gajah Mada sedang mengadakan rapat persiapan penyambutan calon permaisuri negaranya. Mendengar itu, semua jadi panik.

“Mengapa? Ada apa?” kata Gajah Mada.

Gajah Mada diberitahu kalau banyak orang Majapahit yang jadi korban. Sang patih pun turun tangan dan segera membawa pasukannya ke Bubat. Dia yang sudah melepas egonya untuk tak menyempurnakan Sumpah Palapanya dengan menaklukkan Sunda, akhirnya terpaksa melakukan serangan. Inilah, yang menurut Aan, kemudian dikenal sebagai Peristiwa Bubat.

“Ini sudah hari kedua sejak rombongan Kerajaan Sunda datang,” katanya.

Apa yang dikisahkan Aan memang sangat berbeda dari penuturan Kidung Sundayana maupun Pararaton. Selama lebih dari 20 tahun, Aan menghimpun tradisi tutur yang tersebar di tengah masyarakat Jawa Barat hingga Lawangsumber, tepi kota Surabaya, Jawa Timur. Dari penelusurannya didapatkan kalau Gajah Mada bukanlah tokoh utama yang bisa disalahkan atas terjadinya peristiwa berdarah ini. 

“Saya mewawancara puluhan orang yang usianya jauh di atas mereka, hasilnya sangat berbeda dari sejarah resmi selama ini,” ucapnya.

Menurut Aan, dalam tradisi tutur didapatkan kalau Perang Bubat sengaja diletuskan untuk menjatuhkan Sang Maha Patih. Bagi para elite politik di kursi pemerintahan Majapahit, Gajah Mada terlalu mendominasi. Karenanya, Kerajaan Sunda dan Gajah Mada sebenarnya adalah dua pihak yang sama-sama menjadi korban.

“Beberapa menteri pejabat negara ingin mempunyai pengaruh yang baik di depan raja. Rakyat lebih mengenal Gajah Mada daripada raja. Ini tak mengenakan bagi menteri lain,” jelas dia.

Sementara itu, Hayam Wuruk juga sudah pernah memperingatkan patihnya. Dia akan membiarkan ambisi Gajah Mada menguasai wilayah-wilayah di Nusantara, kecuali wilayah Kerajaan Sunda. Bagi Hayam Wuruk, kerajaan itu merupakan leluhurnya. Maka, lewat perkawinan diharapkan pihaknya bisa mempererat ikatan dengan kerajaan satu keturunan itu.

“Secara ambisi kecewa, tapi dia negarawan tulen, sebesar apapun ambisi Gajah Mada, baginya keinginan raja adalah keinginan negara, berbakti pada negara adalah segalanya,” ujar Aan.

Hal itu yang kemudian menjadi senjata untuk menjatuhkan Gajah Mada. Dia dijatuhkan lewat sumpahnya sendiri.

“Sumpahnya harus disempurnakan. Kalau menyerang Sunda akan dianggap pelanggaran, dan terjadilah,” lanjut Aan.

Sesudah terjadi perang besar, semua orang Sunda tewas. Gajah Mada justru yang dituding biang kerok oleh para menteri.

Tak pelak lagi, hubungan kedua kerajaan itu memburuk. Namun, kata Aan, setelah peristiwa itu, pihak Majapahit telah datang ke Kerajaan Sunda dan meminta maaf sambil menyerahkan beberapa puluh guci abu jenazah orang-orang Sunda.

“Kenapa sejak saat itu sampai masa Pajajaran tidak dimusuhi Majapahit? Karena mereka tahu peristiwa sebenarnya,” jawab Aan.

Selama ini, Kidung Sundayana yang selalu dirujuk sebagai sumber pemberitaan tentang Perang Bubat, dinilainya terlalu hitam putih. Di mana di dalamnya dikisahkan Gajah Mada dan Majapahit sebagai pihak yang licik dan Sunda adalah tokoh baik yang dikorbankan.

“Tapi ternyata yang saya temukan tak sesederhana itu,” tegasnya.

Dibanding versi tutur, Aan mengaku lebih tidak mempercayai apa yang disampaikan historiografi resmi, khususnya yang bersumber dari Kidung Sundayana. Menurut Pararaton, Perang Bubat terjadi pada 1357, sedangkan Kidung Sundayana baru dibuat 300 tahun setelahnya.

“Saya memang bukan sejarawan. Saya penulis novel saja, tapi sumbernya saya ambil dari penelusuran tradisi tutur, karena jujur saja saya tidak percaya versi sejarah resmi,” ucapnya.

Apalagi, kata Aan, kitab itu sebelumnya sempat dibawa ke Belanda. Pada 1920, naskahnya baru kembali ke Indonesia dan diterbitkan oleh filolog Belanda, C.C. Berg dalam bahasa Belanda.

Belum lagi sesudahnya pada 1940-an, melalui Negara Pasundan beberapa orang Sunda ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Adalah Raden Soeria Kartalegawa, bekas bupati Garut yang memproklamirkannya atas bantuan Belanda.

“Orang Sunda soal Perang Bubat baru tahu setelah itu (1920, red.). Apakah ini ada benang merah atau tidak saya tak tahu?” lanjut Aan.

Sejak dulu, kata Aan, selalu dipercaya jika ingin menguasai Nusantara harus menguasai Pulau Jawa lebih dulu. Sementara, untuk menguasai Pulau Jawa, dua kutub kekuatannya, Majapahit di timur dan Sunda di Barat, harus ditaklukkan.

“Jadi, ini mungkin konspirasi besar untuk menguasai Nusantara,” kata Aan.

Apapun itu yang jelas tradisi tutur masyarakat ini setidaknya mendukung kemungkinan kalau Perang Bubat, perseteruan antara Kerajaan Sunda dan Majapahit, pernah terjadi dahulu kala. Kini, berbagai upaya rekonsiliasi dilakukan untuk mengguyubkan kembali dua suku besar di Jawa itu.

Jenderal Soeharto saat dilantik menjadi pejabat presiden oleh Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution pada 1967. Sumber: Repro buku "Soeharto: Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya".
Biografi - Dalam suatu kesempatan pidato di penghujung masa kekuasaannya, Presiden Sukarno pernah berujar jengkel. Dia gerah menyaksikan banyak orang dibuat bingung dengan perkatan “Orla” dan “Orba”. Orde Lama atau Orde Baru? Pertanyaan itu kerap ditimpakan kepadanya baik oleh kalangan terdekat maupun wartawan.

“Saya akan menjawab, saya ini tidak tahu apa ini orde lama atau orde baru. Saya tidak tahu,” kata Sukarno di hadapan 120 seniman dan seniwati Sulawesi Utara di Istana Merdeka, Jakarta 14 Desember 1966. “Saya adalah, nah ini jawab saya, orde asli. Orde asli pokok tujuan sumber daripada revolusi. Dan aku menggolongkan diriku di situ.” 

Dalam buku Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara suntingan Budi Setiyono dan Bonnie Triyana, Sukarno mengidentifikasi dirinya sebagai orde asli. Suatu tatanan yang terdiri dari Trikerangka Revolusi Indonesia. Ketiganya meliputi kedaulatan dari Sabang sampai Merauke; masyarakat adil dan makmur; dunia baru yang bebas dari penindasan manusia atas manusia.

Sukarno agak terganggu dengan istilah Orde Baru. Menurutnya, penamaan itu punya tendensi menuduh dirinya telah menyimpang dari tujuan revolusi. Bagaimana ceritanya istilah Orde Baru muncul dan mulai mengkhalayak?

Bermula dari Seminar

Soeharto yang menjadi tokoh sentral Orde Baru dalam otobiografinya berkisah tentang ihwal istilah itu. Pada 25-31 Agustus 1966, TNI AD menggelar Seminar II Angkatan Darat (AD) di Bandung. Beberapa tokoh AD maupun sipil hadir dalam seminar memberikan prasaran. Beberapa diantaranya: Jenderal Nasution, Mayjen Maraden Panggabean, Mayjen Suwarto, Profesor Sarbini, Somawinata, Dr. Emil Salim, dan lainnya.

Mereka mengoreksi kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan pada masa Sukarno. Untuk mengatasi krisis nasional yang terjadi, berbagai usulan disampaikan. Salah satunya adalah keinginan untuk membangun tatanan baru pemerintahan dengan semangat pemurnian Pancasila dan UUD 1945. Pada akhirnya seminar menetapkan,”Orde Baru” menghendaki suatu tata pikir yang lebih realistis dan pragmatis. AD kemudian menyerahkan hasil seminar kepada Kabinet Ampera sebagai sumbang saran.

“Orde Baru tidak menolak kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat, malahan menghendaki ciri-ciri demikian dalam masa peralihan dan pembangunan,” kata Soeharto kepada penulis Gufron Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam Soeharto: Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya.

Menurut pengamat politik militer Salim Said, Seminar II AD merupakan langkah penting Jenderal Soeharto setelah menguasai keadaan dan mengonsolidasi kekuatan. Soeharto membutuhkan teori untuk landasan peranan tentara sebagai pengelola negara. Pada seminar itu, AD menyadari dan menyimpulkan bahwa ABRI umumnya dan AD khususnya, menjadi tumpuan harapan masyarakat.

“Di atas landasan harapan rakyat yang dipersepsikan Angkatan Darat pada 1966 itulah tegaknya pemerintahan Orde Baru,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. “Lewat Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto itulah TNI memelopori pembangunan Indonesia.”

Orba dalam Kamus Sejarah

Orde Baru populer dengan akronimnya “Orba”. Dalam bidang ilmu sejarah terjadi perdebatan kapan berdirinya rezim Orba. Ada yang menyatakan sejak 1 Oktober 1965. Ada yang sejak 11 Maret 1966 ketika Soeharto mendapat mandat kekuasaan melalui Supersemar. Selanjutnya ada juga yang menyebutkan tatkala Presiden Sukarno telah sepenuhnya dilucuti dari kekuasaannya lewat TAP MPRS XXXIII, 7 Maret 1967. 

Menurut Kamus Sejarah Indonesia yang disusun Robert Cribb dan Audrey Kahin,  Orde Baru adalah istilah umum untuk sistem politik yang berlaku setelah berkuasanya Soeharto tahun 1966 hingga kejatuhannya pada Mei 1998. Senada dengan Cribb dan Kahin, menurut Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok, Orba merujuk sistem pemerintahan baru yang diberlakukan di Indonesia sejak 11 Maret 1966. Ia berakhir sebagai sistem sejak pemerintahan baru hasil pemilu 1998 terbentuk.  

Sementara menurut Harsutejo dalam Kamus Kejahatan Orba, tonggak Orde Baru bermula pada 1 Oktober 1965. Soeharto telah memegang kekuasaan nyata ketika dia menentang perintah Sukarno yang meminta Pangdam Jaya Jenderal Umar Wirahadikusuma dan Jenderal Pranoto untuk menghadap ke Pangkalan AU Halim Perdana Perdanakusuma.

Menurut Crib dan Kahin, kata Orde Baru pertama kali digunakan untuk merujuk koalisi antara AD, mahasiswa, intelektual, dan Muslim yang menentang Sukarno dan PKI. “Istilah ini segera menujukkan perbedaan mendasar dari Orde Lama Sukarno, terutama dalam kebijakan pemerintah,” tulis Cribb dan Kahin.

Sejak berkuasa, Orde Baru meninggalkan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia serta poros Jakarta-Peking. Menumpas PKI dan membersihkan negara dan masyarakat dari pengaruh sayap kiri. Kemudian di bidang ekonomi, membuka negara untuk investasi asing. Dalam dinamikanya, rezim Orba membenarkan penindasan kepentingan kelompok tertentu atas nama pembangunan.

“Dengan dalih kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara ‘murni dan konsekuen’, hakikat Orde Baru Indonesia ialah melakukan ‘desukarnoisasi’,” tulis Hersri. “Sukarno dan ajarannya, kepemimpinan Sukarno dan sistem pemerintahannya sepanjang tahun-tahun kekuasaannya, bagi pandangan Orba adalah masa Orde Lama.”

Salah satu putra Kartosoewirjo menandatangani ikrar kesetiaan terhadap RI. Foto: Koleksi Museum Mandala Wangsit Siliwangi
DALAM kunjungan ke Jakarta pada 2008, Prof. John L. Esposito menyatakan rasa kagumnya terhadap kecintaan kaum Muslim terhadap agamanya. Namun dia mengkritik ekspresi itu kerap kali tidak disertai semangat untuk memahami Islam lebih mendalam. Akibatnya, banyak kelompok Islam yang terjatuh dalam tindak radikalisme.

“Sedangkan gerakan radikalisme agama merupakan taman bermain paling nyaman bagi para agen intelijen dan ini membahayakan masa depan agama itu sendiri,” ujar Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu.

Pernyataan Esposito bisa jadi benar. Menurut Karen Armstrong dalam The Batlle for God, (lewat badan intelijen) negara-negara di dunia sering menggunakan kelompok-kelompok keagamaan sebagai instrumen untuk memainkan kepentingan mereka. Kasus HAMAS (Gerakan Pertahanan Islam) di Palestina, menjadi salah satu contohnya.

“Israel pada awalnya mendukung HAMAS, sebagai cara untuk meruntuhkan PLO,” ujar perempuan yang dijuluki sebagai “Duta Besar Islam di Dunia Barat” tersebut.

Pendiri WikiLeaks Julian Assange memperkuat pendapat Karen Armstrong. Dalam suatu wawancara dengan sebuah surat kabar Argentina yang dikutip Russia Today edisi 25 Maret 2015, Assange mengatakan: “Jaringan kami mengungkapkan bahwa Israel selalu mendukung HAMAS terutama pada masa awal kelompok ini berkembang, tujuannya untuk memecah perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka.”

ISIS (Negara Islam Irak dan Syam) yang menjadi biang keladi kerusuhan berdarah di Mako Brimob dan beberapa kota di Indonesia belakangan ini, juga disinyalir sebagai organ yang dibentuk para agen Mossad (Badan Intelijen Israel), CIA (Badan Intelijen AS) dan M16 (Badan Intelijen Inggris). Berbagai kalangan mengakui hal tersebut, termasuk Edward Snowden, eks anggota NSA (Badan Keamanan Nasional AS) yang membelot ke Rusia.

Kasus Indonesia


Di Indonesia, pemanfaatan kelompok-kelompok radikal oleh para agen rahasia sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Salah satunya adalah DI/NII (Darul Islam/Negara Islam Indonesia), gerakan yang menjadi cikal bakal adanya dua gerakan Islam radikal pada hari ini: Jamaah Islamiyah (JI) yang menginduk ke Al Qaidah dan Jamaah Anshar Daulah (JAD) yang berafiliasi kepada ISIS.

Kisah tersebut bermula dari kejadian pada 1 Agustus 1962, saat DI/NII memutuskan untuk mengakhiri pemberontakan mereka terhadap pemerintah RI (Republik Indonesia) yang sudah berusia 13 tahun. Keputusan itu dicetuskan oleh 32 tokoh dan ulama DI/NII (terdiri dari orang-orang terdekat Imam DI/NII S.M. Kartosoewirjo). Mereka antara lain Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, Tahmid Rahmat Basuki, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani dan Djaja Sudjadi.

Ikrar kesetiaan terhadap pemerintah RI tidak sia-sia karena beberapa waktu kemudian pemerintah RI (lewat tentara) mengganjar mereka dengan berbagai “hadiah”. Untuk para eks kombatan DI/NII setingkat prajurit dan perwira disediakan modal usaha dan biaya untuk memulai hidup baru di wilayah transmigrasi. Sedangkan untuk para petingginya, mereka langsung dibina oleh Kodam Siliwangi dan dimodali untuk berbisnis.

“Seperti Ateng Djaelani dan Adah Djaelani, mereka dijadikan penyalur minyak tanah di Bandung dan Jakarta,” ujar Solahudin dalam NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia.

Hubungan mesra antara eks anggota DI dengan tentara semakin kuat manakala mereka dilibatkan dalam penumpasan orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) pasca Peristiwa 1 Oktober 1965. Pihak tentara menunjuk pentolan Kodam Siliwangi seperti H.R. Dharsono dan Aang Kunaefi serta beberapa pejabat BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yakni Ali Moertopo dan Yoga Sugama untuk berkoordinasi dengan para petinggi DI.

“Dalam operasi itu, pihak tentara hanya memberikan pinjaman senjata sedangkan untuk soal-soal teknis termasuk logistik, orang-orang DI membiayai sendiri,” ungkap Sholahudin.

Sukses memberangus eks anggota PKI, para tokoh DI/NII diarahkan oleh para petinggi BAKIN untuk terlibat dalam proyek pemenangan Golkar (Golongan Karya) dalam Pemilihan Umum 1971. Kendati sempat terjadi perdebatan di kalangan internal eks anggota DI/NII, pada akhirnya ajakan itu diterima.

“Lewat Pertemuan Situaksan, Bandung (yang ditengarai dananya dari BAKIN) pada 21 April 1971, sekitar 3000 eks anggota DI menyatakan siap mendukung Golkar,” kata Solahudin.

Perkembangan selanjutnya DI/NII bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan bersenjata kembali. Sejak pertengahan tahun 1970-an, ruang lingkup perjuangan mereka tidak lagi hanya semata di Jawa, namun juga sudah meluas hingga Sumatera dan Sulawesi. Aksi-aksi DI/NII semakin militan, kreatif dan mulai berjejaring secara internasional, terutama setelah mereka mendirikan JI dan JAD.

Apakah mereka sudah terlepas dari kuasa para agen rahasia? Dalam dunia intel, tak ada yang bisa menjamin itu terjadi.

Biografi - Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto mondar-mandir di Direktorat Polisi Satwa Mako Brimob, Rabu malam (9/5/2018). Begitu bertemu wartawan, ia dicecar banyak pertanyaan, dari kondisi terkini penyanderaan hingga hasil negosiasi.

“Kami belum bisa cerita itu, masih rahasia,” katanya menjawab pertanyaan salah seorang wartawan soal negosiasi.

Malam itu ia mungkin polisi paling sibuk di Indonesia. Hampir tiap menit ia harus meladeni pertanyaan wartawan. Dalam semalam, ia pun sudah menggelar dua kali konferensi pers. Matanya sudah sedikit merah. Makin malam, suaranya makin pelan. Mungkin sudah kelelahan.

Saya hadir dalam konferensi pers terakhir Setyo. Saat itu ia baru saja tiba dari gedung terdekat dengan blok rumah tahanan tempat para narapidana dan terdakwa terorisme melakukan penyanderaan. Ia datang dengan informasi baru: Brigadir Iwan Sarjana, sandera terakhir, sudah berhasil dibebaskan.

“Brigadir Iwan mengalami luka-luka lebam di muka dan di tubuhnya, sejam lalu sudah berhasil dibawa keluar,” ujar Setyo.

Jika sandera sudah habis, mengapa polisi tidak segera bertindak? Apakah adakah sandera lain? Pertanyaan itu tidak dijawab Setyo.

Kronologi Tak Sinkron
 
Sejak awal, polisi memang irit komentar tentang kasus kerusuhan di Mako Brimob. Setelah informasi bocor dan menyebar, polisi barulah buru-buru membenarkan. Sekali berkomentar pun muncul banyak versi.

Simpang siur pertama adalah waktu kejadian. Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, kericuhan ini bermula seusai magrib. Saat itu salah seorang terdakwa kasus terorisme menemui sipir untuk menanyakan titipan makanan. Sialnya, petugas jaga sudah ganti. Titipan makanan itu disimpan oleh petugas jaga sebelumnya.

Tak terima dengan alasan itu, si terdakwa lantas mengamuk dan mengajak teman-temannya membuat kerusuhan di Blok C. Terdakwa itu belakangan diketahui bernama Wawan Kurniawan alias Abu Afif, pimpinan Jamaah Ansharut Daulah Pekanbaru, Riau.

Keterangan Argo Yuwono ini berbeda dari keterangan Wakapolri Komjen Syafruddin. Versi Syafruddin, kerusuhan sudah terjadi sejak pukul 5 sore. Soal penyebabnya, Syafruddin tak menjelaskan. Namun, Kepala Biro Penerangan Mabes Polri, Brigjen Mohamad Iqbal, menjelaskan penyebab kerusuhan sama dengan omongan Argo.

Waktu kerusuhan versi Syafruddin tidak masuk akal. Sebab hari itu, Wawan tengah mengikuti persidangan di Jakarta Barat hingga sore. Pengacara Wawan, Asludin Hatjani, mengatakan masih bersama Wawan sampai pukul 4 sore.

Sebelum mulai persidangan, Wawan sempat mengeluh pada Asludin bahwa makanan titipan dari istrinya tak boleh masuk ke sel. Persoalan ini sudah terjadi beberapa kali, tetapi Wawan baru bercerita kepada Asludin hari itu.

Kerusuhan itu, kata Argo, melibatkan satu Blok C yang berjumlah 34 penghuni. Para tahanan di Blok C lantas memprovokasi Blok B lalu merusak ruang penjaga dan penyidikan. Di sanalah empat polisi dihajar dan mendapat luka-luka lebam. Keempatnya berhasil kabur.

Waktu kerusuhan itu menurut versi Syafruddin terjadi pukul 19.30. Namun, versi lain ada yang menyebutkan kerusuhan baru dimulai pukul 22.00. Waktu mulai kerusuhan ini penting karena terkait penyanderaan enam polisi yang berakhir tragis.

Polisi tak memberikan keterangan apa pun setelah itu, sampai akhirnya pada Kamis dini hari, Brigjen M. Iqbal mengumumkan kerusuhan itu hanya membuat beberapa polisi terluka.

"Ada beberapa korban luka. Baik dari petugas, tapi lukanya tidak serius. Tetapi saat ini, saat ini, tepat pukul 01.00 dini hari, tidak ada yang meninggal dunia," kata Iqbal.

Dalam keterangan pers, Iqbal tak menyinggung enam polisi yang disandera para teroris di dalam. Ini cukup aneh. Sebab, malam itu, kantor berita ISIS Amaq sudah mengklaim aksi teror di Rutan Mako Brimob adalah bagian dari mereka dan sudah menewaskan lima polisi. Kabar itu justru dibantah oleh polisi.

Pada waktu hampir bersamaan, polisi sudah menseterilkan area di sekitar Mako Brimob. Para jurnalis yang meliput dijauhkan dari Mako. Mereka bahkan sudah membentangkan pagar berduri. Penjagaan di sekitar Mako makin ketat. Sejumlah polisi sudah berjaga di setiap jalan yang masuk dan keluar Mako Brimob.

Polisi baru memberi pernyataan resmi tentang kematian 6 orang dalam insiden tersebut pada pukul 16.20. Dari jumlah itu 5 orang adalah polisi, 1 orang teroris. Mereka adalah Bripda Wahyu Catur Pamungkas (Idensos), Bripda Syukron Fadhli (Idensos), Ipda Rospuji (Penyidikan), Bripka Denny (Penyidikan), Briptu Fandi (Penyidikan), dan teroris Benny Syamsu Tresno.

Pernyataan itu jauh terlambat. Amaq sudah lebih dahulu merilis kematian para polisi pada Selasa malam, 8 Mei, bahkan mengunggah videonya. Sedangkan polisi baru merilis pada Rabu sore, 9 Mei. Terlambatnya polisi merilis informasi itu menunjukkan polisi menyembunyikan sesuatu dari publik.

Munculnya video ini tentu menimbulkan pertanyaan: Bagaimana bisa para narapidana dan terdakwa itu memiliki ponsel untuk berkomunikasi dengan pihak luar?

Negosiasi Lunak dengan Teroris
Polisi baru bisa membawa keluar jasad korban meninggal sekitar pukul 10 pagi Rabu (9/5). Semua jasad itu tiba satu jam kemudian di Rumah Sakit Kramat Jati untuk visum. Setelahnya, polisi baru memberikan keterangan pers soal jumlah korban pada petang harinya.

Hilangnya nyawa enam orang itu tidak lantas membuat eskalasi menurun. Para teroris justru makin beringas. Pada pukul 22.00, polisi mengabarkan para teroris sudah berhasil menguasai tiga blok, yakni Blok A, B dan C. Polisi pun makin mengetatkan keamanan.

Malam itu semua akses jalan ke Mako Brimob ditutup. Tidak ada yang boleh masuk tanpa rekomendasi dari dalam Mako. Saya sempat diadang polisi ketika menuju ke arah Mako Brimob. Mereka sudah lengkap memegang senjata api dan mengenakan rompi anti peluru serta helm. Meski sudah menjelaskan bahwa saya adalah jurnalis, saya tidak diperbolehkan masuk, kecuali dengan satu syarat: shifting dengan jurnalis di dalam Mako.

Untuk masuk ke Mako pun tidak mudah. Para jurnalis harus menunjukkan kartu pers dan mencocokkannya dengan data KTP, setelah itu difoto dengan tangan memperlihatkan KTP dan kartu pers. Di dalam pun jurnalis tak bisa bergerak dengan leluasa. Semua informasi hanya bisa didapat dari satu sumber kepolisian.

Jarak lokasi pusat informasi, tempat jurnalis menunggu, tidak terlalu jauh dari Blok A, B dan C. Lokasi penyanderaan itu ada di sebelah kanan Direktorat Polisi Satwa yang gedungnya menjadi tempat pusat informasi. Jika Anda hendak ke blok tersebut, Anda harus berjalan melewati deretan asrama Brimob, sebuah lapangan serba guna, dan barulah terlihat gedung tempat para teroris bersembunyi.

Saat saya sampai di sana, polisi tengah melakukan negosiasi. Cukup mengesankan, para negosiator berhasil meyakinkan teroris untuk melepas sandera hidup, Brigade Iwan Sarjana. Sebagai gantinya, teroris meminta makanan. Pukul 00.00, Iwan pun dibebaskan.

Setyo enggan mendetailkan permintaan lain dari para teroris. Bahkan untuk jumlah porsi dan menu makan untuk para teroris itu, Setyo tidak bisa memberitahukan. “Mereka minta dukungan makanan. Kami bujuk untuk mau bebaskan dulu,” katanya.

Pilihan polisi memilih jalan negosiasi ini patut diapresiasi. Meski demikian, pilihan ini cukup aneh jika melihat rekam jejak kepolisian. Selama ini polisi terkenal garang jika berhadapan dengan kelompok yang dianggap mengganggu. Misalnya, dalam kasus pengamanan sengketa lahan di desa Patiala Bawa, Sumba Barat, pada 25 April 2018. Di sana Brimob justru garang. Bahkan tak segan menembak warga. Poro Duka, seorang warga dalam kasus konflik agraria itu, mati dengan luka tembak di dada.

Sikap itu tidak ditunjukkan polisi terhadap para teroris di Mako Brimob. Alih-alih bertindak tegas, polisi bernegosiasi meski sandera sudah bebas semua. Polisi bahkan memfasilitasi para teroris untuk pindah ke Nusakambangan.

Kamis pagi, sekitar pukul 4, dua buah bus dan 5 truk berisi pasukan polisi terlihat memasuki Mako Brimob. Bus itu yang nantinya digunakan untuk memindahkan teroris ke Nusakambangan. Kedatangan dua bus itu kemudian disusul mobil berpelat RI 13. Tampaknya sejak malam itu sudah ada kesepakatan antara polisi dan para teroris.

Tembakan dan Ledakan Bom
Pemindahan ke Nusakambangan rupanya tak disepakati utuh oleh para teroris. Dari 155 teroris, 145 orang di antaranya sepakat menyerahkan diri dan pindah ke Nusakambangan. Sementara 10 sisanya bersikeras angkat senjata.

Sebanyak 145 teroris menyerahkan diri pada pukul 5 pagi. Mereka kemudian disiapkan untuk diangkut dalam bus. Pukul 07.20, tiba-tiba terdengar suara ledakan bom sebanyak empat kali, kemudian disusul suara rentetan tembakan.

Baku tembak tidak berlangsung lama. Kata Menkopolhukam Wiranto, sepuluh teroris turut menyerahkan diri setelahnya. Namun, sepuluh orang terakhir ini tidak masuk dalam kesepakatan pemindahan ke Nusakambangan.

Wakapolri Komjen Syafruddin menegaskan suara tembakan dan ledakan bom itu bukan dari baku tembak, melainkan proses sterilisasi oleh polisi. Karena saat itu polisi menemukan bom rakitan yang dibuat oleh para teroris.

“Di dalam ada banyak senjata. Tapi ledakan yang Anda dengar, tidak ada korban jiwa,” katanya.

Senjata yang dipegang oleh para teroris adalah senjata sitaan yang diambil oleh para teroris dari gudang barang bukti di sebelah Blok A. Menurut Wiranto, ada sekitar 30 senjata api yang diambil oleh para teroris.

“Bukan senjata organik dari kepolisian, tapi senjata sitaan dari aparat keamanan pada saat melaksanakan operasi lawan terorisme sebelumnya,” kata Wiranto.

Klarifikasi terakhir dari kepolisian datang dari Syafruddin. Ia mengkritik penggunaan nama Rutan Mako Brimob karena sebetulnya Rutan itu adalah Rutan cabang Salemba. Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM, Sri Puguh Budi Utami membenarkan hal itu. Namun untuk pengawasan Rutan tersebut sepenuhnya menjadi wewenang Brimob.(*)

“TUANKU, Gubernur Jenderal. Tuanku, dengan dalih yang dicari-cari sekurang-kurangnya dengan alasan-alasan provokasi yang dibuat-buat, kini sedang memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan maksud hendak merampas kedaulatan tanah pusakanya. Tuanku, perbuatan ini bukan saja tidak tahu berterima kasih, tidak satria ataupun tidak jujur, melainkan juga tidak bijaksana.”

Inilah isi surat yang ditulis pujangga Multatuli. Ia merupakan nama pena dari tokoh Belanda ternama, Dowes Dakker. Surat itu ditulis saat Multatuli mendengar kasak-kusuk yang menyebutkan Kerajaan Belanda akan segera menyerang Kesultanan Aceh. Surat terbuka berjudul Brief aan den koning (Surat untuk Paduka Raja) itu dikirim Oktober 1872, beberapa bulan sebelum Hindia Belanda mengumumkan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, 142 tahun yang lalu.

Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, menyebutkan, Surat untuk Paduka Raja ditulis Multatuli untuk mengingatkan raja Belanda agar tidak menyerang Aceh. Sebab, Multatuli khawatir Belanda akan kualat kalau tetap menyerang kesultanan yang berada di pintu masuk Selat Melaka itu. “Menyerang Aceh aka nada malapetakanya,” ujar Rusdi Sufi.


Surat peringatan Multatuli itu bukan tak beralasan. Menurut Rusdi, dosen sejarah Universitas Syiah Kuala, Kesultanan Aceh lah yang pertama menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Belanda, saat negara Kincir Angin itu masih berperang melawan Spanyol selama 80 tahun dalam merebut kemerdekaannya.

Di tengah peperangan kemerdekaan itu, Sultan Aceh Darussalam Alaidin Riayatsyah, pada 1602 M, mengirim dua utusan bersama surat dukungan kepada Raja Belanda. Kedua utusan diplomatik Sultan Aceh itu adalah Abdul Hamid dan Amir Hasan.

“Mereka keduanya meninggal di Belanda. Abdul Hamid waktu itu sudah tua dan tidak tahan dengan musim dingin,” terang Rusdi Sufi lagi. Keduanya dimakamkan di sana.


Meski mendapat kritikan keras, Raja Belanda tetap gelap mata. Pada 26 Muharram 1290 H atau bertepatan 26 Maret 1873, di geladak kapal Citadel van Antwerpen, Wakil Presiden Hindia Belanda F.N Nieuwenhuijzen menyatakan perang terhadap Aceh. Saat itu, kapal Citadel van Antwerpen tengah berlayar di antara daratan Aceh dan Pulau Sabang.

“Ada beberapa sebab kenapa Belanda ingin memerangi Aceh,” sebut Rusdi, “di antaranya karena takut nantinya wilayah ini diambil oleh kolonial lain dan juga karena ini tempat yang paling staregis karena pintu masuk jalur laut.”

Memerangi Aceh, Belanda mengerahkan enam kapal perangnya. Selain Citaden van Antwerpen, ada pula kapal Coehoorm, Soerabaya, Sumatera, Marnix, dan Djambi. Belanda juga mengerahkan kapal Angkatan Laut Siak dan Bronbeek. Pada Senin, 16 April 1873, sebulan kemudian, Mayor Jenderal J.H.R Kohler mendarat bersama pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue, Banda Aceh.


Bisik-bisik intelijen menyebutkan bahwa jantung pertahahan Aceh berada di Masjid Raya Baiturrahman. Jadilah, Kohler mengarahkan pasukan perangnya ke Baiturrahman. Naas, saat berada di depan Masjid yang terbuat dari kayu itu, di bawah sebatang pohon geulumpang, Kohler memekik keras.

“Oh, Tuhan… Aku terkena,” ia meringis sembari memegang dada. Ia tersungkur seketika.

Prajurit Belanda terbirit-birit melihat Sang Jenderal Kohler tewas bersimbah darah. Mereka mundur dan Hindia Belanda menuai kekalahan pertamanya.

“Aceh tidak takluk, tidak pada hari itu tidak pula setelahnya. Ini kisah perang yang panjang yang oleh orang Belanda disebut Aceh Oorlog atau Perang Aceh,” kisah Rusdi Sufi.

***

BERPERANG melawan Aceh, Belanda menuai kepedihan dan kehilangan yang tiada tara. Di Tanah Seulanga, mereka kehilangan empat jenderal dan lebih 2.200 serdadu. Para serdadu itu dimakamkan di sebuah perkuburan umum di kawasan Blang Padang, selatan Masjid Raya Baiturrahman. Kuburan ini dinamakan dengan Kerkhof Peutjoet. Inilah tempat peristirahatan terakhir serdadu Belanda yang meregang nyawa di tangan pejuang-pejuang Aceh.

Kerkhof Peutjoet pun menjadi saksi bahwa Belanda harus membayar mahal perang melawan Aceh.


Kerkhof, sering juga disebut Kuburan Belanda, terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, tersembunyi di balik kemegahan gedung Museum Tsunami. Dari Jalan Teuku Umar, Kuburan Belanda bisa dilihat dari kejauhan. Kerkhof dikunjungi turis lokal, nasional, maupun mancanegara. Biasanya, usai melihat-lihat Museum Tsunami, para turis menyempatkan diri mengunjungi Kerkhof.

Memasuki Kerkhof, kita akan disambut tembok tinggi melengkung. Pintu gerbang itu dibangun pada 1893, yang terbuat dari batu bata. Di atasnya tertulis “Untuk sahabat kita yang gugur di medan perang. Ditulis dalam empat Bahasa: Belanda, Arab, Melayu, dan Jawa.

Gerbang ini dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada letnan satu J.J.P Weijerman yang tewas dalam pertempuran dekat Masjid Siem, Kroeng Kale pada 20 Oktober 1883.

Buku De hel den serie jilid 8 halaman 25 yang diterbitkan oleh Atjehsch Leger Museum (museum tentara Belanda di Aceh) tahun 1940 menuliskan, “Luitent Weijerman was de eerste officer die op peutjoet na de oprachting van de monumentele poor ter aarde werd besdteld (Letnan Weijerman adalah perwira pertama yang dikuburkan di Peutjeoet setelah Peutjoet dilengkapi dengan pintu gerbang kehormatan).”


Di sebelah kiri pintu gerbang terukir ”In memoriam Generaal – Majoor JHR Kohler, Gesneuveld, 14 April 1873”. Sementara itu di sisi kanan tertulis kalimat “In Memoriam Luitenant – Kolonel W.B. J.A Scheepens Overleden 17 October 1913”. Di bawah kalimat tersebut juga tertulis J.H.J Brendgen VRIEND VAN Aceh.

Menurut Amri, juru kunci Kerkhof, nama-nama yang tercetak di dinding gerbang adalah tentara yang tewas di pelbagai lokasi perperangan. Nama mereka diurut berdasarkan nama tepat tersebut. Ada Teunom, Lambesoi, Koewala, Sigli, Olee Karang, Samalanga, Kandang dan lainnya yang terjadi dari tahun 1873 sampai 1910.

Nama-nama itu tak melulu mereka yang berkebangsaan Belanda. Kita juga akan mudah menemukan nama-nama Ambon, Manado, Jawa, dan bangsa nusantara lainnya. Sebab, serdadu Belanda –selain menggunakan tentara Belanda—juga berasal dari kaum pribumi.

“Tidak semua di antara mereka berasal dari Belanda namun ada prajurit Marsose lainnya yang berasal dari Jawa, Ambon dan Manado yang dibawa kemari,” jelas Amri menunjuk relief yang ada.


“Nah kalau prajurit Belanda itu di nama belakangnya ada tanda EF/F Art. Kalau Ambon dengan tanda AMB, Manado ada tulisan MND sedangkan kalau dari Jawa identitasnya dengan If atau Inlander Fuselier,” ujar Amri.

***

KERKHOF berasal dari kata Belanda yang artinya kuburan ataupun halaman gereja. Sedangkan Peutjoet merupakan nama panggilan dari putra mahkota kesayangan Sultan Iskandar Muda yang makamnya sudah lama ada dalam kompleks itu.

Memang, di situ ikut dikuburkan putra mahkota Sultan Iskandar Muda yaitu Meurah Pupok atau Poe Cut. Meurah Pupok dipancung karena dinilai melanggar hukum Islam yang berlaku di Kerajaan Aceh Darussalam. Makam Meurah Pupok ada dalam pagar kecil di sisi kiri di bawah sebatang pohon besar. Kuburan itu berbeda dengan yang lainnya. Di tempat itu mempunyai motif  Batu Aceh pada tanda nisannya. Kuburan itu juga dipayungi oleh pohon tua yang lebat daunnya yang akarnya juga sudah menonjol keluar dari tanah.


“Poe Cut itu panggilan kesayangan dalam bahasa Aceh. Dia anak Sultan yang dihukum mati oleh ayahnya sendiri karena tuduhan berbuat tidak sesuai agama,” ungkap Rusdi Sufi. “Saat itu tidak ada yang berani menghukum karena dia adalah anak Sultan. Kemudian Iskandar Muda menghukumnya sendiri.”

Ketika itu banyak yang melarang Sultan karena Meurah Pupok merupakan anak laki-laki satu-satunya dan merupakan putra mahkota kerajaan. Sehingga Sultan mengatakan “Matee aneuk meupat jirat, matee adat pat tamita.”  Kata bijak itu diingat sampai sekarang.

Tanah Kerkhof ini sebelumnya merupakan milik Kerajaan Aceh Darussalam, jauh sebelum Belanda datang dan menyerang Aceh. “Jadi makam anak Sultan sudah ada di situ lama sekali dan Belanda sangat menghargai itu sehingga tidak dihancurkan,” kisah jebolan Universitas Leiden, Belanda ini. “Namun tidak ada yang tahu dua makam yang lain itu milik siapa karena arkeolog sendiri belum melakukan pengalian eskatasi untuk meneliti.”

Sebelum menjadi komplek kuburan, tanah ini merupakan kebun milik seorang Yahudi kaya bernama Bolchover, yang oleh orang Aceh karena kesulitan pengucapan lambat laun menjadi Blower. Ia juga dimakamkan di kawasan itu. “Banyak keturunan Yahudi yang mempunyai tanah di Aceh dahulu, seperti tanah Gedung Sosial itu, juga punya orang Yahudi,” ungkapnya Rusdi.

Komplek Kerkhof ini sudah ada sejak 1880. Namun setelah itu tempat ini kurang terawat. Tahun 1979, salah seorang bekas tentara KNEIL bernama J.H.J Brendgen melihat ini dan merasa prihatin karena tanpa pagar dan takut rusak. Merekapun mendirikan Stichting Peutjut Fonds sejak 29 Januari 1976. Letnan Jendral F. Van der Veen yang merupakan mantan perwira dari Korp Marchausse yang pernah bertugas di Aceh menjadi ketua yayasan yang pertama.

“Ini sebagai pengingat bahwa pernah terjadi perang besar dulu dan bukti kekuatan orang Aceh. Ada empat jenderal Belanda yang mati di sini. Sedangkan untuk perang Diponogoro saja, Belanda hanya mengutus prajurit berpangkat kapten,” sebut Rusdi Sufi yang juga merupakan perwakilan Yayasan Peutjut Fond di Aceh. “Aset ini menjadi penting, bersejarah. Kalau hilang, cuma jadi cerita saja, jadi cerita rakyat bak dongeng,” ujarnya.

Empat jenderal Belanda yang tewas di Aceh adalah Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin. Minus Kohler, tiga Jenderal itu dimakamkan di Kompleks Kerkhof Peutjoet. Ini menjadi “kebanggaan” bagi orang Belanda yang pernah bertugas di Aceh, yang mewasiatkan andaikata mati agar dimakamkan di Peutjoet, di tengah-tengah semua teman-temannya seperjuangan.

Jenderal Van Heutsz di masa Perang Aceh juga berpesan serupa. Ia ingin dimakamkan di Kerkhof jika meninggal saat bertugas di Aceh. Namun keinginannya tidak tercapai. Meski jasadnya penuh luka perang, ia tidak meninggal di sini. Para perwira yang mati muda bahkan menuliskan pesan “Zegaan mujn moeder dat lk mijin best hrb gedaan (Katakan kepada ibuku bahwa aku telah melakukan tugas dengan sebaik baiknya).

Kohler sendiri walaupun tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman namun ia dikuburkan jauh di Batavia sana. Tahun 1978 atas permintaan keluarga dan pemerintah Belanda, ketika Tanah Abang, Jakarta, akan digusur untuk dibuat pusat perbelanjaan, tulang belulang sang jenderal dipindahkan.

Selain Peutjuet, dulu ada Tugu Serdadu Belanda, tempat pemakaman massal di Lampade dan Oedjong Peunajong Banda Aceh. Namun kini jejaknya sudah tak terbaca lagi.

Yayasan Peutjut hingga kini terus memberikan dana untuk perawatan dan pemugaran serta biaya lainnya dengan juga dibantu oleh Dinas Pariwisata. “Mereka masih terikat emosi dengan tempat ini, namun dana terus berkurang setiap tahunnya,” harap Rusdi Sufi.

***

SIANG itu Kompleks Dutch Cemetery terluas di luar Belanda masih dipenuhi pengunjung. Tak banyak memang, namun di antaranya terdapat para kameramen yang datang untuk membuat film dokumenter. Ada pula seorang turis asal Belanda bernama Mar Sarens. Rambut cokelat kemerah-merahannya pendek sebahu, kacamata hitam tersemat di dahinya. Dia datang dari Medan, Sumatera Utara.

“First time I see this feel pain (Ketika saya melihat ini pertama sekali sakit rasanya),”  kata Mar Sarens usai berkeliling. “Kemudian saya terkejut akan luasnya, terenyuh karena tempat ini masih ada dan sangat menarik because we remember with this way (karena kami bisa mengigat dengan cara ini).”

Perempuan itu berkisah bahwa sedikit sulit mendapatkan informasi tentang lokasi komplek ini namun ayahnya dulu pernah bercerita tentang perang Aceh, sehingga merasa terpanggil untuk mengunjunginya. Saat tahu masih banyak tempat lainnya yang berhubungan dengan negaranya “Lho kok saya nggak tahu ya?” katanya.

Sebelum bergegas pulang Mar Sarens memenuhi permintaan pengunjung lain yang meminta foto bersama. “Oh I love Aceh people,” katanya sambil berdiri dan membuat bermacam gaya bahkan meminta juga difoto dengan kameranya.

Tak lama kemudian datang Jasmine van Der land, ia berjalan bersama temannya dari Museum Tsunami karena orang-orang bilang ia harus kemari. Memakai baju batik kurung dengan rambut biru yang terkepang, ia terkejut melihat komplek ini.

“Banyak sekali ya,” katanya.

Ketika mengetahui bahwa ada lembaga yang dibentuk di Belanda untuk mendanai tempat ini, dia binggung dan kehilangan senyum.

“Untuk apa?” tanyanya. ”Oh, begitu ya itu hak mereka” tambahnya ketika kemudian mendapat penjelasan kalau itu dibiayai oleh sebagian keluarga tentara yang terkubur di situ.

“Kolonialisme bukanlah sesuatu yang perlu dibangga-banggakan setidaknya buat saya,” ujar Jasmine sebelum berlalu pergi. []

Sumber: acehkita.com

Saladin. ©2018 Wikipedia/Ismail al-Jazari
Biografi - Saladin terkenal sebagai sultan yang menyatukan dunia Muslim pada abad ke-12. Ia berhasil merebut kembali Yerusalem, yang memicu terjadinya Perang Salib Ketiga.

Dia kemudian meninggal setelah sebuah penyakit misterius menyerang tubuhnya. Para ahli kemudian menganalisis gejala-gejala penyakit Saladin berdasarkan data yang ditulis lebih dari 800 tahun yang lalu.

Seorang profesor kedokteran dari University of Pennsylvania's Perelman School of Medicine, Amerika Serikat, Stephen Gluckman mengungkapkan, tifus adalah penyakit yang membunuh Saladin.

"Diagnosis pasti mungkin tidak akan pernah diketahui karena Saladin hidup sebelum zaman alat diagnostik penyakit modern muncul. Tifus tampaknya sesuai perkiraan yang jadi penyebabnya. Penyakit ini masuk ke tubuh setelah seseorang menelan makanan atau air yang terkontaminasi dengan bakteri Salmonella typhi," kata Gluckman, dikutip dari Live Science, Minggu (6/5/2018).

Tifus yang dialami Saladin baru saja diumumkan pada 4 Mei 2018 dalam sesi Konferensi Klinopatologi Tahunan ke-25 di Fakultas Kedokteran Universitas Maryland.

Para ahli yang hadir dalam konferensi itu mendiagnosis kematian para tokoh sejarah dunia. Diagnosis kematian Lenin, Darwin, Eleanor Roosevelt, dan Lincoln pun dibahas pada konferensi tersebut.

Pemimpin Muslim terpenting

Saladin adalah sosok yang berperan penting dalam sejarah Eropa dan Timur Tengah. Seorang profesor sejarah abad pertengahan di Queen Mary University of London, Tom Asbridge mengungkapkan, Saladin termasuk salah satu pemimpin Muslim terpenting di era Perang Salib pada Abad Pertengahan.

Mantan Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser (1918-1970) bahkan terobsesi dengan Saladin. Saladin, lahir sekitar tahun 1137 atau 1138 di Tikrit--lokasi yang sekarang menjadi Irak. Ia berasal dari keluarga Kurdi sewaan (yang bekerja hanya demi uang).

Jejak perjuangannya terlihat saat Saladin dan pamannya, seorang pemimpin militer, melawan Kekhalifahan Mesir Fatimiyah, sebuah dinasti keagamaan yang memerintah dari tahun 909 hingga 1171.

Setelah pamannya meninggal pada tahun 1169, Saladin menggantikan kedudukan pamannya menjadi pemimpin militer. Pada waktu itu, Saladin berusia 31 atau 32 tahun. Menang dalam pertempuran, Saladin ditunjuk sebagai komandan pasukan Suriah di Mesir, menurut Encyclopedia Britannica.

Pada 1187, tentara Saladin berhasil menaklukkan kota suci Yerusalem dan mengusir kaum Frank, yang mengambil Yerusalem 88 tahun sebelumnya pada Perang Salib Pertama. Tindakannya ini menyebabkan Perang Salib Ketiga terjadi pada tahun 1189 sampai 1192.

Setahun kemudian (1193), Saladin mengalami demam tanpa diketahui penyakitnya. Ia hanya bertahan selama dua minggu melawan penyakit itu. Ia meninggal pada usia 55 atau 56 tahun.

Gluckman punya beberapa rincian untuk membuat diagnosis. Wabah atau cacar mungkin bukan penyebab Saladin meninggal. Ini penyakit itu membunuh orang dengan cepat. Bukan pula tuberkulosis (TBC) karena catatan tidak menyebutkan Saladin didera masalah pernapasan.

Gejala yang dialami Saladin cocok dengan gejala tifus, yang ditandai demam tinggi, lemah, sakit perut, sakit kepala, dan kehilangan nafsu makan.

Sumber: Liputan6.com

Ilustrasi: Douglas MacArthur saat tiba di Pulau Morotai dalam langkah awal memenangi Perang Pasifik. FOTO/Wikipedia
Biografi - Menduduki Filipina adalah hal penting bagi Jenderal Douglas MacArthur (1880-1964). Sebelum Perang Dunia II, MacArthur yang menjalani masa pensiun menjadi penasihat militer di Filipina. Namun, Perang Pasifik membuatnya ditugaskan pada 1941, menjabat Panglima Angkatan Darat Amerika Serikat di Timur Jauh. Kekuatan Jepang di sekitar Filipina membuat MacArthur dan pengikutnya mundur ke Australia. Di sana MacArthur pernah bilang, "Aku akan kembali."

Untuk bisa kembali ke Filipina, kekuatan Jepang di sekitar Papua harus dipreteli. Sebuah pulau dengan dataran luas tentu diperlukan sebagai batu pijakan untuk menuju Filipina. Pilihan jatuh ke Halmahera atau Morotai.

“Data intelijen yang tersedia mengindikasikan bahwa garnisun tempur Jepang yang kuat ada di Halmahera,” tulis Robert Ross Smith dalam The Approach to the Philippines (2014: 451). Sementara di Morotai pertahanan militer Jepang terbilang lemah. Akhirnya, MacArthur memilih Morotai.

Rencana penyerbuan itu diberitahukan via radio kepada Jenderal Walter Krueger (1881-1967), komandan Sixth United States Army di Area Pasifik Barat Daya pada Perang Dunia II. Pada 21 Juli 1944, Krueger diperintahkan melakukan persiapan.

Kruger lantas menunjuk Mayor Jenderal Charles Philip Hall (1886–1953), yang baru selesai dalam kampanye serbuan ke Aitape, sebuah kota kecil di pesisir utara Papua Nugini, untuk memimpin satuan tugas Operasi Tradewind guna merebut Morotai. Serangan itu dilakukan pada 15 September 1944.

MacArthur bergerak semakin ke utara. William Manchester dalam MacArthur: Sang Penakluk (1994) menulis bahwa sang jenderal membuat markas besar di Hollandia (nama saat itu untuk Jayapura) pada 30 Agustus 1944, dan pada 15 September 1944 ia berada di kapal penjelajah Nashville menuju Morotai.

Memimpin pasukan pendarat menuju pantai, yang ditingkahi arus dan gelombang, MacArthur mendapati bahwa Pulau Morotai hanya dihuni 500-1.000 tentara Jepang, sementara ia punya pasukan 61.000 personel.

“Pendaratan itu tidak mendapat perlawanan; tanpa korban seorang pun,” tulis Manchester.

Smith menulis, sekitar 16 September pukul 8 pagi, pada hari-hari pertama operasi, ketiga resimen Divisi ke-31 pimpinan Mayjen John Cecil Persons bergerak maju. Sekitar pukul 1 siang mereka menemukan tentara Jepang menyerah begitu saja.

Divisi itu pun mengamankan daerah Pitu, yang dikenal sebagai daerah landasan pacu. Pada hari-hari berikutnya, pasukan penyerbu itu seolah menjadi pasukan pemburu terhadap satuan-satuan kecil serdadu Jepang yang bertahan di pulau itu. Resimen Infanteri ke-126 pada 17 September mulai menduduki pulau-pulau di lepas pantai barat daya dan sekitarnya.

Di bagian utara dan sepanjang pantai barat, militer AS menghantam aktivitas serdadu Jepang. Peralatan musuh berhasil dihancurkan, termasuk sekitar sepuluh truk peralatan radar, bahan bakar minyak, pakaian, dan mesin duplikasi. Banyak serdadu Jepang melarikan diri ke pedalaman Morotai ketika diserang, dan tak ingin mengambil langkah damai.

“Selain itu, stasiun radar dan pos pengamatan didirikan di banyak pulau lepas pantai dan di berbagai titik di sekitar pantai Morotai,” tulis Smith.

Pos-pos militer diperbanyak pada hari-hari berikutnya. Pos-pos tambahan dibangun di sekitar pantai timur laut dan utara. Kemudian di Pulau Raoe, stasiun radar terakhir didirikan pada 21 September 1944.

Sementara pos-pos dan stasiun radar dibangun, menurut catatan Smith, Divisi ke-31 telah membangun instalasi dan bivak militer. Morotai pun dijadikan basis pasukan AS dalam Perang Pasifik. Ia menjadi pusat arus logistik bagi pasukan AS beraksi ke arah Filipina dan Borneo timur.

Biaya Perang di Pihak Jepang & Sekutu
Militer Jepang di Halmahera, masih menurut catatan Robert Ross Smith (2014), berusaha dengan keterbatasannya, mengirim tak lebih tiga atau empat tongkang ke Morotai dari 15 September hingga 4 Oktober 1944.

Serdadu Jepang yang terbunuh di Morotai mencapai 104 orang, sementara 13 orang ditangkap. Beberapa nahkoda mencatat setidaknya 200 serdadu Jepang tenggelam dalam sebuah serangan di perairan antara Morotai dan Halmahera. Di pihak sekutu, hingga 4 Oktober, 30 orang tewas, 85 terluka, dan satu orang hilang. Sedikitnya, ada 46 kuburan tentara sekutu di daerah Tanjung.

Jenderal Krueger menyatakan operasi Morotai berakhir pada 4 Oktober 1944. Namun, bulan-bulan berikutnya, beberapa pasukan tongkang Jepang berhasil menyelinap melalui blokade Sekutu untuk mencapai Morotai dari Halmahera. Meski begitu, serangan via tongkang ini cuma bikin gangguan kecil bagi militer Sekutu.

Serangan militer Jepang via udaralah yang cukup merugikan bagi pasukan Sekutu. Meski hanya 12 prajurit Sekutu yang terluka, serangan-serangan udara berikutnya menyebabkan kerusakan pesawat-pesawat Sekutu di Morotai.

Hingga 4 Oktober 1944, hanya ada 49 kasus malaria dan 22 kasus demam berdarah; sebagian besar di luar Divisi ke-31. Sekitar 990 pria dari satuan tugas dirawat di rumah sakit. Di antara itu ada sekitar 175 tentara Sekutu yang cedera di luar pertempuran; dan 103 personel terluka akibat pertempuran. Hingga 4 Oktober, hampir semua kasus ini telah dievakuasi di kapal Seventh Fleet LST's.

Pihak yang luar biasa untung, dan nyaris tanpa kontribusi, atas perebutan Morotai dari pihak Jepang adalah Belanda. Sebelum Perang Dunia II, Morotai termasuk koloni Hindia Belanda. Di masa perang, di Australia, pejabat pelarian dari Hindia Belanda sudah mempersiapkan diri membentuk Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), yang diartikan sebagai pemerintah sipil Hindia Belanda.

"Urusan sipil di Morotai ditangani, seperti biasa, oleh Detasemen NICA [...] detasemen ini cepat membawa penduduk asli kembali di bawah kedaulatan Belanda," tulis Smith.

Itu tugas yang tergolong mudah mengingat penduduk lokal bersikap kooperatif. Bekerja melalui NICA, banyak penduduk setempat memberikan informasi mengenai disposisi Jepang di Morotai dan Halmahera; sementara yang lain bertindak sebagai pemandu untuk patroli yang tersebar di Morotai.

Dari sanalah NICA memobilisasi penduduk lokal membangun desa-desa. Setidaknya ada sekitar 350 penduduk yang terlibat.

Warisan Vital Pasca-PD II
Sesudah keberhasilan Sekutu mengoyak kekuatan Jepang yang lemah di Morotai, gugus tugas Operasi Tradewind dibubarkan pada 25 September 1944. Pasukan sekutu lantas berfokus membangun lapangan udara.

Dari sanalah Jenderal MacArthur memutuskan memperluas pembangunan lapangan udara di Morotai. Melebihi dari yang dipikirkan sebelumnya, ada tujuh landasan pacu yang dibangun, lima bandara sepanjang 2 kilometer dan dua lain sepanjang 3 kilometer.

Mengingat serangan udara Jepang cukup bikin kerepotan Sekutu, pengerjaan landasan pacu itu agak terhambat. Toh, pada hari-hari berikutnya, landasan udara bisa dibereskan, dengan bahan material yang mudah ditemukan di Morotai yang penuh karang.

Setelah hari ke-19 perebutan Morotai, pada 4 Oktober, landasan di Morotai mulai didarati pesawat pertama. Puluhan pesawat, bahkan pesawat pembom berukuran besar, akhirnya bisa mendarat.

Posisi Morotai itu sekali lagi sangat vital bagi pasukan Jenderal Douglas MacArthur karena “menghindari 22 ribu pasukan musuh dan berada 300 mil dari Filipina,” tulis William Manchester dalam MacArthur: Sang Penakluk.

Semasa di Morotai, MacArthur sempat tinggal di Pulau Zum-zum. Berkat menguasai Morotai, armada MacArthur tak hanya mampu merebut Filipina, tentara Australia Divisi VII pun bisa merebut beberapa kota di kawasan Indonesia bagian timur.

Belasan tahun setelah Perang Dunia II, Morotai menjadi tempat yang menarik. Hingga tahun 1950-an, peninggalan basis Sekutu itu menjadi landasan pacu terbesar di Indonesia bagian Timur. Hal ini pernah dimanfaatkan oleh Ventje Sumual dan pemimpin Permesta lain, yang pernah mengirim pasukannya untuk beberapa saat menguasai Morotai. Harapannya, jika Permesta punya pesawat besar, mereka bisa menempatkannya di sana.

Maka, demi kemenangan Sekutu di Pasifik bagian timur, merebut Morotai adalah kunci.

loading...

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget