Biografi - Belakangan ini banyak beredar poster yang berisi foto-foto ulama kharismatik Aceh. Poster-poster tersebut bisa dengan mudah kita dapatkan di toko-toko buku yang ada di Aceh. Di sebagian tempat juga ada para pedagang keliling yang membawa poster-poster tersebut pada hari-hari pasaran (uroe peukan). Keberadaan poster-poster tersebut yang memuat foto dan juga biografi singkat para ulama Aceh tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat guna mengenal ulama dan tokoh-tokoh pendahulunya.
Namun di sebalik itu, saya melihat ada “kejanggalan” dalam poster-poster tersebut, di mana ramai ulama-ulama besar di Aceh yang namanya tidak tercantum dalam poster dimaksud. Pada awalnya, saya berpikir cuma saya saja yang merasa heran, tapi ternyata dugaan saya ini keliru. Beberapa waktu lalu, saya sempat membaca sepucuk surat terbuka yang dikirimkan oleh salah seorang masyarakat Aceh melalui rubrik droe keu droe di Harian Serambi Indonesia. Penulis surat tersebut mempertanyakan kenapa Teungku Muhammad Daud Beureueh tidak masuk dalam poster ulama Aceh.
Sebenarnya, jika ditelisik lebih jauh, bukan saja Teungku Muhammad Daud Beureueh yang tidak masuk dalam poster tersebut, tetapi juga ramai ulama lainnya yang juga tidak tercantum foto dan namanya di poster dimaksud. Di antara ulama yang tidak masuk dalam katagori ulama Aceh “versi poster” adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap, Teungku Syekh Hamid Samalanga, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan masih banyak lagi ulama lainnya yang tidak mungkin kita sebut satu persatu.
Muncul pertanyaan. Apakah karena nama-nama mereka tidak tercantum dalam poster lantas mereka bukan ulama? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiknya kita ajukan saja pertanyaan serumpun. Apakah untuk menjadi seorang ulama harus dipampang di poster? Nah! Semoga saja pertanyaan ini menjadi PR bagi kita semua.
Oke, kita lanjut. Demi mengisi kekosongan informasi, dalam artikel singkat ini, saya akan berusaha menampilkan riwayat singkat dan juga sekelumit pemikiran dari ulama-ulama besar Aceh yang namanya tidak masuk atau mungkin “terdelete” di poster-poster ulama kharismatik yang terpajang di kedai-kedai kopi.
Untuk kali ini, saya memilih menulis tentang sosok Al Mujahid Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri Rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama besar Aceh yang pernah memimpin Dayah Indrapuri. Di antara murid beliau yang di kemudian hari juga menjadi ulama besar di Aceh adalah Teungku Syekh Mudawali Al-Khalidi Rahimahullah, pimpinan Dayah Labuhan Haji Aceh Selatan yang saat ini murid-muridnya tersebar hampir di seluruh Aceh.
Adapun riwayat singkat tentang Al Mujahid Teungku Muhammad Daud Beureueh Rahimahullah sudah pernah saya tulis dalam artikel yang bertajuk “Teungku Muhammad Daud Beureueh, Sang Revolusioner dan Mujaddid Tanah Rencong”.
Tentang Nama dan Istilah
Dalam menulis nama Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, para penulis sejarah memakai sebutan yang berbeda-beda tetapi tetap bermuara pada orang yang sama. Nama-nama dimaksud adalah Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri (tanpa kata haji), Teungku Hasballah Indrapuri (tanpa Ahmad dan Haji), Teungku Syekh Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Chik Indrapuri dan Abu Indrapuri. Ada pula sebagian penulis yang menyebut beliau dengan nama Teungku Ahmad Hasbullah, wallahu a’lam.
Sebenarnya kita bebas saja menggunakan nama mana pun sebagaimana tersebut di atas. Tapi dalam artikel singkat ini, saya memilih memakai nama Abu Indrapuri dan akan saya gunakan secara konsisten Insya Allah.
Adapun istilah Wahabi atau Wahabiyah yang juga akan anda temukan dalam artikel ini pada prinsipnya hanyalah sebuah istilah yang dinisbahkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebenarnya saya kurang tertarik menggunakan nama ini (Wahabi), karena nama yang cocok untuk mereka adalah Salafiyah. Lebih tepat lagi nama mereka adalah “Muwahhidun”, nama yang mereka pakai sendiri. Namun dalam artikel ini saya “terpaksa” menggunakan nama Wahabi atau Wahabiyah dengan pertimbangan bahwa nama tersebut sudah cukup dikenal dan telah akrab di telinga kaum muslimin.
Kelahiran dan Pendidikan
Nama lengkap Abu Indrapuri adalah Teungku Haji Ahmad Hasballah bin Teungku Haji Umar bin Teungku Auf. Ali Hasjimi menceritakan bahwa Abu Indrapuri dilahirkan di Kampung Lam-U, Aceh Besar pada tanggal 03 Juni 1888. Abu Indrapuri adalah anak dari pasangan, Teungku Haji Umar dan Hajjah Safiah.[1] Ayah Abu Indrapuri yaitu Teungku Umar bin Auf adalah salah seorang ulama, pejuang dan juga pimpinan Dayah Lam-U Aceh Besar.
Abu Indrapuri dilahirkan dalam suasana peperangan melawan Belanda di Aceh. Pada saat beliau lahir, ayahnya sedang berada dalam medan pertempuran melawan Belanda. Sejak kecil (remaja) Abu Indrapuri telah dibawa oleh ayahnya ke medan perang untuk berjihad.[3]
Pada saat masih kecil Abu Indrapuri belajar langsung kepada ayahnya Teungku Haji Umar. Abu Indrapuri sangat tertarik untuk menjadi qari yang baik. Bakatnya tersebut terus dikembangkan pada saat beliau belajar di Mekkah. Tidak hanya belajar pada ayahnya, Abu Indrapuri muda juga menuntut ilmu di beberapa dayah di Aceh, seperti Dayah Piyeung, Dayah Samalanga, Dayah Titeu dan Dayah Lamjabat. Dengan ketekunan belajar, akhirnya Abu Indrapuri dapat menguasai bahasa Arab, Fiqih, Tauhid, Sejarah, Tafsir dan Hadits.[4]
Dalam perjalanan ilmiahnya untuk menuntut ilmu, di tengah kondisi Aceh yang tidak kondusif, Abu Indrapuri muda memiliki daya nalar yang cukup kuat sehingga beliau mampu menguasai bahasa Arab dengan predikat mumtaz.[5]
Pada saat sebagian wilayah Aceh dapat dikuasai oleh Belanda, beberapa tokoh dan masyarakat Aceh atas izin dari pimpinan perang gerilya berhijrah ke Semenanjung Tanah Melayu. Pada saat itu, Abu Indrapuri bersama ayahnya juga turut berhijrah ke sana. Di tanah Melayu, Abu Indrapuri belajar di Dayah Yan yang merupakan pusat pendidikan Islam di Kerajaan Kedah. Di antara pemuda-pemuda dari Aceh saat itu yang seangkatan dengan beliau adalah Hasan Krueng Kalee dan Muhammad Saman. Ketiga pemuda ini kemudian melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Setelah belajar di Mekkah beberapa lama, akhirnya ketiga pemuda tersebut kembali ke Aceh dan menjadi ulama besar. Selanjutnya ketiga pemuda tersebut dikenal dengan Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee dan Teungku Syekh Muhammad Saman.[6]
Menjadi Pimpinan Dayah Indrapuri
|
Dari kiri ke kanan: Abu Indrapuri, Abu Daud Beureueh dan Tgk Di Lam Oe Sumber Foto: T.A. Talsya, Sekali Republiken Tetap Republiken |
Dayah Indrapuri dibangun oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam pada tahun 1607-1636 M. Dayah tersebut berpusat di Mesjid Jami’ Indrapuri yang saat ini dikenal dengan nama Mesjid Tuha (mesjid lama) yang terletak di Gampong Pasar Indrapuri Aceh Besar.[7]
Pada masa Kerajaan Aceh, Mesjid Indrapuri merupakan salah satu pusat pendidikan Islam. Semenjak dahulu, sebagaimana dikemukakan oleh Hasjimi, Dayah Indrapuri telah melahirkan banyak ulama dan juga tokoh yang berpengaruh dalam Kerajaan Aceh. Namun akibat peperangan dengan Belanda, banyak dayah-dayah di Aceh yang macet dalam melaksanakan aktivitas pendidikan. Seperti halnya dayah-dayah lain, Dayah Indrapuri juga mengalami kevakuman disebabkan para pemimpin dayah tersebut juga turut dalam pertempuran melawan Belanda.[8]
Atas anjuran dan bantuan dari Tuanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, pada tahun 1912 Teungku Haji Ismail (Teungku Chiek Empeu Trieng) berusaha menghidupkan kembali Dayah Indrapuri yang telah berhenti beraktivitas selama puluhan tahun. Setelah aktivitas Dayah Indrapuri berjalan selama sepuluh tahun dibawah pimpinan Teungku Haji Ismail, namun kemajuan Dayah Indrapuri belum terlihat. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kesibukan Teungku Haji Ismail yang tidak hanya memimpin Dayah Indrapuri, tetapi juga memiliki tugas untuk mengajak masyarakat membangun dayah-dayah lain yang sudah terhenti aktivitasnya selama perang berlangsung.[9]
Pada tahun 1922 dilaksanakan satu musyawarah yang dihadiri oleh Tuanku Raja Keumala, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, Teungku Haji Ismail dan Teungku Haji Abdullah Lam-U. Musyawarah tersebut memutuskan untuk mencari seorang tokoh ulama lain yang mampu memimpin Dayah Indrapuri. Atas saran dari Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, akhirnya dipilihlah Abu Indrapuri untuk memimpin dayah tersebut. Pada saat itu Abu Indrapuri masih bermukin di Yan, Semenanjung Tanah Melayu. Setelah mendapat pesan dari utusan Tuanku Raja Keumala, akhirnya Abu Indrapuri bersedia pulang ke Aceh untuk memimpin dayah tersebut. Sejak saat itulah, Dayah Indrapuri dipimpin oleh Abu Indrapuri, seorang ulama muda yang banyak terinspirasi dengan semangat Gerakan Wahabiyah di Mekkah Al-Mukarramah.[10]
Selama berada di bawah pimpinan Abu Indrapuri, Dayah Indrapuri semakin maju dan berkembang pesat. Pada saat itu ramai para santri dari seluruh tanah Aceh datang dan belajar di Dayah Indrapuri.[11]
Pemikiran Keagamaan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa Abu Indrapuri pernah mununtut ilmu di Mekkah di bawah asuhan ulama-ulama Wahabi (Salafi). Sesuai dengan ajaran yang pernah diperolehnya di Mekkah, Abu Indrapuri berpendapat bahwa iman dan ibadah yang murni merupakan syarat mutlak bagi umat Islam jika ingin bangkit dan maju. Akidah dan ibadah harus dibersihkan dari berbagai bid’ah dan khurafat. Tidak hanya itu, dalam proses pembelajaran di Dayah Indrapuri, Abu Indrapuri juga menggunakan Kitab Tauhid yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.[12]
Abu Indrapuri menolak segala bentuk bid’ah dan khurafat seperti kupanji, yaitu meletakkan kain putih di kuburan dengan maksud melepas nazar. Beliau juga menolak ritual tolak bala (tulak bala) dengan memakai sesajen dari bubur nasi. Tradisi rabu abeh, yaitu pergi ke laut pada akhir bulan Safar untuk peulheuh jalen (buang sial) juga ditolak oleh Abu Indrapuri, karena menurut beliau perbuatan tersebut masuk dalam katagori syirik.[13]
Abu Indrapuri merupakan ulama yang punya pengaruh besar di Aceh, khususnya Aceh Besar. Abu Indrapuri sangat giat dalam melaksanakan pemurnian akidah dan pembaharuan pemikiran umat Islam di Aceh. Sebagaimana disebut di atas bahwa Abu Indrapuri menggunakan Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sebagai pegangannya. Kitab tersebut telah memberi inspirasi kepada Abu Indrapuri dalam mengadakan pembaharuan dan juga menanam semangat anti penjajahan kepada masyarakat Aceh.[14]
Abu Indrapuri pernah mendirikan sebuah organisasi yang beliau beri nama Jam’iyah Al-Ataqiyah Al-Ukhrawiyah (Persatuan Kemerdekaan Akhirat). Organisasi ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari kurafat dan bid’ah. Menurut Abu Indrapuri “apabila manusia telah bebas dari perbudakan hawa nafsu, dari akidah yang salah dan dari ibadah bukan kepada Allah, maka ia akan menjadi manusia yang dapat dengan sendirinya berjuang untuk membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan jasmani”.[15]
Di sisi lain, Abu Indrapuri adalah salah seroang ulama yang sangat anti kepada paham komunisme dan atheisme. Sebagai seorang “ulama Wahabiyah” beliau berkeyakinan bahwa hanya dengan kemurnian akidah dan ibadah umat Islam akan menang menghadapi musuh-musuhnya. Abu Indrapuri juga sempat merasa sangat kecewa kepada Pemerintah Republik Indonesia saat itu yang memberi keleluasaan kepada kaum komunis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI).[16]
Nazaruddin Sjamsuddin menyatakan bahwa Abu Indrapuri dan Teungku Hasan Krueng Kalee adalah ulama kelas 1 di Aceh, khususnya pasca revolusi. Cuma saja mereka berdua memiliki pandangan keagamaan yang berbeda. Abu Indrapuri seorang ulama reformis, sedangkan Teungku Hasan Krueng Kalee lebih condong kepada tradisionalis. Namun menurut Sjamsuddin, pengaruh dua ulama besar tersebut tidaklah mampu menandingi pengaruh dari Teungku Muhammad Daud Beureueh.[17]
Abu Indrapuri adalah ulama tertua dalam kubu reformis. Menurut Sjamsuddin hal tersebutlah yang membuat Abu Indrapuri sangat dekat dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Dalam konferensi pertama PUSA pada tahun 1940 di Sigli, Abu Indrapuri diangkat sebagai penasehat PUSA. Wafatnya Abu Indrapuri pada tahun 1956 [1959?] dirasakan sebagai satu kehilangan besar bagi perjuangan Darul Islam, terutama bagi Teungku Muhammad Daud Beureueh.[18]
Abu Indrapuri adalah salah seorang ulama yang sangat berpengaruh di masanya. Nazaruddin Sjamsuddin mengisahkan suatu kejadian yang menimpa Abu Indrapuri. Pada awal tahun 1953, Abu Indrapuri mengalami musibah kecelakaan lalul lintas di Kutaraja. Pada saat itu beliau ditabrak oleh sebuah truk militer. Kejadian tersebut telah menggoncangkan masyarakat di pedesaan, khususnya di Aceh Besar. Melihat gelagat masyarakat yang tegang akibat kejadian tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan militer. Pihak militer takut terjadinya huru-hara akibat kejadian yang menimpa ulama besar tersebut. Akibat kekhawatiran tersebut, akhirnya pihak militer meminta maaf kepada Abu Indrapuri secara terbuka dan menyatakan bahwa kejadian tersebut tidak disengaja. Pihak militer juga mengumumkan bahwa supir truk militer tersebut sudah dihukum.[19]
Kontribusi dalam Pembaharuan Pendidikan Islam
Abu Indrapuri adalah salah satu tokoh yang sangat peduli kepada pendidikan umat Islam di Aceh. Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo juga memasukkan nama Abu Indrapuri dalam bukunya Tokoh-Tokoh Pendidikan di Aceh Awal Abad XX.
Nazaruddin Sjamsuddin, mengemukakan bahwa para pemimpin reformis di masa lalu, yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Abu Indrapuri tidak hanya mendirikan sekolah-sekolah di seluruh daerah Aceh, tetapi mereka juga mengembangkan gagasan keagamaan yang baru dan belum dikenal oleh masyarakat Aceh. Waktu itu juga sempat terjadi perbedaan pendapat dan pertentangan dengan ulama-ulama tradisional yang dipimpin oleh Teungku Hasan Krueng Kalee.[20]
Hasjimi menceritakan bahwa dalam rangka melaksanakan pembaharuan pendidikan Islam, Abu Indrapuri mendirikan Madrasah Hasbiyah dalam lingkungan Dayah Indrapuri. Madrasah Hasbiyah ini terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah dengan menggunakan kurikulum baru yang sesuai dengan kurikulum madrasah di seluruh Indonesia. Tidak hanya Madrasah Hasbiyah, Abu Indrapuri juga mendirikan madrasah khusus perempuan di Tanjung Karang Lhue dengan nama Madrasah Lil Ummahat.[21]
Dayah Indrapuri dan Madrasah Hasbiyah dibawah asuhan Abu Indrapuri telah melahirkan banyak ulama yang menjadi pemimpin umat di Aceh. Di antara lulusan Dayah Indrapuri adalah Teungku Haji Mudawali Al-Khalidi yang di kemudian hari menjadi pimpinan Madrasah Islamiah Labuhan Haji Aceh Selatan.[22] Teungku Haji Mudawali Al-Khalidi sebagaimana diceritakan oleh Hasjimi belajar ilmu-ilmu Al-Qur’an di Dayah Indrapuri.
Teungku Haji Mudawali Al-Khalidi yang dikenal dengan sebutan Teungku Muda Wali lahir di Labuhan Haji pada tahun 1917. Teungku Mudawali sempat menjadi murid Abu Indrapuri. Sebagaimana diceritakan oleh Said Abubakar, bahwa Abu Indrapuri melihat sosok Teungku Muda Wali sebagai seorang yang cerdas dan berbakat. Abu Indrapuri kemudian meminta kepada T.M Hasan Glumpang Payong yang menjabat sebagai wakil ketua Aceh Studi Fonds agar membantu Teungku Muda Wali untuk melanjutkan pendidikan pada Normal Islam di Padang yang dipimpin oleh Mahmud Yunus yang juga beraliran reformis.[23]
Kontribusi dalam Politik
Abu Indrapuri bukan hanya ulama besar dan tokoh pendidikan, tetapi beliau juga terlibat aktif dalam gerakan politik, pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau adalah salah seorang pemimpin politik yang sangat berpengaruh di Aceh, selain Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Teungku Hasan Krueng Kalee.
Sebelum kemerdekaan, Abu Indrapuri pernah menjabat sebagai ketua Majelis Syura Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).[24] Sebagaimana diterangkan oleh Aboebakar Atjeh, bahwa organisasi PUSA bertujuan untuk menyiarkan, menegakkan dan mempertahankan syiar Islam yang suci, khususnya di Aceh.[25]
Pasca kemerdekaan, dalam musyawarah ulama seluruh Aceh pada 23 November 1945 di Mesjid Raya Baiturrahman disepakati untuk membentuk Barisan Hizbullah dengan ketua umum Teungku Muhammad Daud Beureueh. Dalam Barisan Hizbullah tersebut Abu Indrapuri menjabat sebagai wakil ketua umum.[26]
Di antara jabatan dalam pemerintah yang pernah dipikul oleh Abu Indrapuri adalah: (1) Kadi pada Teungku Panglima Polem Muhammad Daud di zaman Belanda; (2) Ketua Pengadilan pada zaman pendudukan Jepang; (3) Anggota Pengadilan Tentara Divisi X pada zaman Republik Indonesia; (4) Ketua Bagian Kehakiman pada Dewan Agama Kerisidenan Aceh; (5) Ketua Mahkamah Syar’iyah Kerisidenan Aceh; (6) Anggota Mahkamah Islam Tertinggi; dan (7) Ketua Majelis Ifta pada Jawatan Agama Kerisidenan Aceh.[27]
Jabatan dalam organisasi politik yang pernah diemban oleh Abu Indrapuri, di antaranya: (1) Ketua Majelis Syura Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA); (2) Penasehat Pemuda PUSA; (3) Penasehat Kepanduan Islam; (4) Penasehat Pergerakan Angkatan Muda Islam Indonesia (PERAMINDO); Penasehat Serikat Pemuda Islam Aceh (SEPIA); (5) Penasehat Pucuk Pimpinan Serikat Pegawai Republik Indonesia (SERPRI); dan (6) Penasehat Lasykar Mujahidin.[28]
Sejak bulan Oktober 1945, pada awal-awal revolusi kemerdekaan, Abu Indrapuri pernah menjabat sebagai Kepala Mahkamah Syari’ah Daerah Aceh.[29] Abu Indrapuri adalah salah seorang dari empat ulama besar yang mengeluarkan fatwa perang sabil untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada saat revolusi fisik. Fatwa tersebut keluar pada tanggal 15 Oktober 1945 yang ditandatangani oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Haji Jakfar Shiddiq dan Abu Indrapuri [30].
Sebagaimana dicatat oleh Kahin, bahwa dalam pernyataan tersebut keempat ulama dimaksud, termasuk Abu Indrapuri di dalamnya, menyerukan kepada seluruh rakyat Aceh untuk bersatu dan berada di belakang Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno, dalam rangka melawan agresi Belanda yang akan kembali ke Indonesia.[31]
Abu Indrapuri adalah salah seorang pendiri Majelis Ifta Daerah dalam konferensi di Kutaraja pada tanggal 15 Februari 1950. Majelis tersebut berfungsi untuk menasehati pemerintah daerah dalam masalah-masalah keagamaan pasca revolusi fisik.[32] Majelis Ifta yang berfungsi memberikan fatwa ini diketuai langsung oleh Abu Hasballah Indrapuri.[33]
Abu Indrapuri juga salah satu tokoh Darul Islam yang terlibat aktif dalam pemberontakan terhadap pemerintah Republik di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh. Dalam gerakan DI TII di Aceh, Abu Indrapuri menjabat sebagai ketua mahkamah.[34]
Wafatnya Sang Pejuang dan Ulama Besar
Setelah Panglima Kodam I Iskandar Muda, Syamaun Gaharu dan Gubernur Aceh Ali Hasjimi berhasil meyakinkankan ulama-ulama Aceh yang tergabung dalam DI TII bahwa PKI tidak akan sanggup menghapus sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila, maka para ulama Aceh tersebut bersedia kembali ke pangkuang Republik Indonesia. Pada saat itu, Abu Indrapuri juga turun gunung bersama ulama-ulama lainnya.
Atas persetujuan Panglima dan juga Gubernur Aceh, akhirnya Abu Indrapuri hijrah kembali untuk kedua kalinya ke Semenajung Tanah Melayu. Salah satu asalan beliau hijrah ke sana adalah karena ayah beliau dikuburkan di Kampung Yan Keudah. Abu Indrapuri ingin apabila dia wafat juga dikuburkan di samping ayahnya yang sekaligus juga merupakan gurunya. Abu Indrapuri berangkat ke Semanjung Tanah Melayu pada akhir tahun 1958. Hanya lebih kurang satu tahun berada di Tanah Melayu, Abu Indrapuri wafat pada 26 April 1959. Beliau dikuburkan di Kampung Yan Keudah, dekat dengan makam ayahnya Teungku Haji Umar bin Auf.[36]
Penutup
Sebagai masyarakat Aceh, tentunya kita harus bersyukur karena di Aceh pernah hidup ulama-ulama besar, di antaranya Abu Indrapuri yang telah menghabiskan usianya untuk menjaga kemurnian tauhid kaum muslimin di Aceh. Sebagaimana telah penulis kemukakan di atas bahwa Teungku Haji Mudawali Labuhan Haji yang juga ulama besar di Aceh adalah salah seorang murid yang diasuh dan bahkan direkomendasikan untuk belajar di Padang oleh Abu Indrapuri. Sekarang mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, pantaskah kita “mencaci” ulama-ulama “Wahabi” semisal Abu Indrapuri yang memiliki kontribusi besar dalam melahirkan ulama-ulama besar Aceh di kemudian hari?
Abu Indrapuri tidak hanya berperan sebagai guru umat bagi masyarakat Aceh, tapi beliau juga salah seorang mujahid (pejuang) yang sejak remaja telah maju di medan tempur melawan kafir Belanda. Dan, sebagaimana telah diulas di atas, Abu Indrapuri juga merupakan salah seorang ulama besar yang mengeluarkan fatwa Perang Sabil melawan Belanda dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Akhinya hanya kepada Allah kita kembali dan menyerahkan diri. Mari kita berdoa kepada Allah ‘Azza Wajalla agar mengampuni dosa-dosa Abu Indrapuri, seorang mujahid, seorang mujaddid dan ulama besar di Aceh. Kita berdoa kepada Allah agar kebaikan beliau dibalas oleh Allah, dan ditempatkan di sisi-Nya – Insya Allah. Allahumagfirlahu warhamhu.
Daftar Pustaka
Ali Hasjimi, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1997
A. Hasjimi, 50 Tahun Aceh Membangun, Banda Aceh: t.p, 1995
Aboebakar Atjeh, Salaf Muhji Atsaris Salaf Gerakan Salafijah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Permata, 1970
Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
A. K. Jakobi, Aceh Daerah Modal Long March Ke Medan Area, Jakarta: Yayasan Seulawah RI-001
Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemedekaan, terj. Satyagraha Hoerip, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990
Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, terj. Grafiti Press, Jakarta: Garfiti Press, 1983
Depdikbud, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Depdikbud, 1983
Lembaga Research dan Survey IAIN Djami’ah Ar-Raniry, Laporan Penelitian Pengaruh PUSA terhadap Reformasi di Aceh, Banda Aceh: Lembaga Reseacrh dan Survey IAIN Djami’ah Ar-Raniry, 1978
Muliadi Kurdi dkk (Ed), Ensiklopedi Ulama Besar Aceh (The Encyclopedia of Great Acehnese Ulamas) Volume 1, t.t: Lembaga Kesehteraan Aceh Semata, 2010
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam di Aceh, Jakarta: Pustaka Utama Graviti, 1990
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Tokoh-Tokoh Pendidikan di Aceh Awal Abad XX, Banda Aceh: Badan Perpustakaan Prov Aceh, 2007
Said Abubakar, Berjuang Untuk Daerah: 70 Tahun H. Said Abubakar, Banda Aceh: Yayasan Nagasakti, 1995
Endnote:
[1]Ali Hasjimi, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hal. 46.
[2]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 47.
[3]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 46.
[4]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 47.
[5]Muliadi Kurdi dkk (Ed), Ensiklopedi Ulama Besar Aceh (The Encyclopedia of Great Acehnese Ulamas) Volume 1, (t.t: Lembaga Kesehteraan Aceh Semata, 2010), hal. 157.
[6]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 49.
[7]Muliadi Kurdi dkk (Ed), Ensiklopedi..., hal. 159.
[8]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 49.
[9]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 50-51.
[10]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 51.
[11]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 51.
[12]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 52.
[13]Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Tokoh-Tokoh Pendidikan di Aceh Awal Abad XX, (Banda Aceh: Badan Perpustakaan Prov Aceh, 2007), hal. 109-110.
[14]Lembaga Research dan Survey IAIN Djami’ah Ar-Raniry, Laporan Penelitian Pengaruh PUSA terhadap Reformasi di Aceh, (Banda Aceh: Lembaga Reseacrh dan Survey IAIN Djami’ah Ar-Raniry, 1978), hal. 34.
[15]A. Hasjimi, 50 Tahun Aceh Membangun, (Banda Aceh: t.p, 1995), hal. 70.
[16]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 59.
[17]Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam di Aceh, (Jakarta: Pustaka Utama Graviti, 1990), hal. 194.
[18]Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan…, hal. 194.
[19]Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan…, hal. 184.
[20]Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan…, hal. 21.
[21]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 53.
[22]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 53.
[23]Said Abubakar, Berjuang Untuk Daerah: 70 Tahun H. Said Abubakar, (Banda Aceh: Yayasan Nagasakti, 1995), hal. 117.
[24]A. Hasjimi, 50 Tahun…, hal. 81.
[25]Aboebakar Atjeh, Salaf Muhji Atsaris Salaf Gerakan Salafijah di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Permata, 1970), hal. 184.
[26]Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 55.
[27]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 55.
[28]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 54.
[29]Depdikbud, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Depdikbud, 1983), hal. 186.
[30]Tgk. A. K. Jakobi, Aceh Daerah Modal Long March Ke Medan Area, (Jakarta: Yayasan Seulawah RI-001), hal. 91.
[31]Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemedekaan, terj. Satyagraha Hoerip, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), hal. 98.
[32]Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan…, hal. 38.
[33]Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, terj. Grafiti Press, (Jakarta: Garfiti Press, 1983), hal. 299.
[34]Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan…, hal. 187.
[35]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 60.
[36]Ali Hasjimi, Ulama Aceh…, hal. 60.