Biografi - Kasus perkosaan massal saat prahara Mei 1998 selalu memunculkan tanya: Benarkah terjadi?
Ada kalangan yang meragukan itu, termasuk pemerintah Indonesia. Namun, sejumlah saksi dan pendamping korban punya cerita lain.
Ita Fatia Nadia, mantan direktur Kalyanamitra, organisasi nonpemerintah bagi kerja-kerja dan kesetaraan perempuan, menuturkan pengalamannya mendampingi serangkaian peristiwa perkosaan pada 12 hingga 15 Mei 1998. Dalam 4 hari itu, Ita bersama relawan lain menerima hampir 200 pengaduan kasus perkosaan. Dari segunung kasus itu, sebanyak 189 kasus terverifikasi.
“Tapi waktu Tim Gabungan Pencari Fakta masuk, banyak korban yang ditanyain, kemudian tidak mau mengaku. Karena itu ada perbedaan data dengan TGPF,” ujar Ita menjawab polemik perkosaan massal.
Alasan korban tidak mau mengaku, salah satunya, karena rasa takut yang sangat besar. Seorang korban perkosaan, Ita Martadinata, yang memutuskan untuk buka suara, justru dihabisi nyawanya sebelum bersaksi.
“Perempuan diperkosa itu sudah habis, apalagi dia Cina, apalagi ada hukum diskriminatif waktu itu, sehingga mereka lebih milih diam, aman tenang," ujar Ita Nadia. "Keamanan lebih penting daripada saya bercerita dan kasus saya diungkap. Karena kasus Ita Martadinata itu menjadi pembelajaran penting bagi mereka. Jadi TGPF itu dibuat setelah kasus pembunuhan Ita Martadinata.”
“Saya sampai merinding ingat kejadian itu,” ujarnya mengenang pembunuhan terhadap Ita Martadinata.
Selama 19 tahun, kasus perkosaan massal tidak pernah diusut tuntas. Alih-alih dituntaskan, soal perkosaan massal yang sistematis itu masih diperdebatkan. Tapi tidak bagi Ita. Ia melihat langsung korban-korban perkosaan pada Mei 1998 di Jakarta.
Menurut temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, yang dirilis Oktober 1998, "tidak mudah memperoleh data yang akurat untuk menghitung jumlah korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan." TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. Jumlah korban yang diverifikasi tim: 52 orang korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/ penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. (Baca: Temuan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998)
Mawa Kresna dari Tirto mewawancarai Ita F. Nadia pada 17 Mei lalu di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan. Obrolan membahas bagaimana pola-pola penaklukan terhadap tubuh perempuan sebagai teror kekuasaan di antara hari-hari menjelang kejatuhan Soeharto.
Pada waktu itu apa yang dilakukan teman-teman? Kenapa membentuk relawan?
Sejarah pembentukan tim relawan dari Romo Sandy (Ignatius Sandyawan Sumardi), melalui Institut Sosial Jakarta ketika peristiwa penyerangan PDI-P pada 1996. Romo Sandy membuat relawan yang disebut TRK, Tim Relawan untuk Kemanusiaan. (Serangan terhadap kantor PDI-nya Megawati di akhir kekuasaan Soeharto dikenal "Peristiwa 27 Juli")
TRK ini menghimpun sejumlah orang dan organisasi seperti YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dan wartawan. Saya waktu itu sebagai direktur Kalyanamitra bergabung di TRK. Waktu itu kerelawanan diumumkan sangat terbatas karena masalah ini menyangkut politik, sehingga yang diterima menjadi relawan itu harus tahu apasih peristiwa itu.
Jadi, Pak Sandyawan itu menskrining betul. Nah, kami itu ada yang tugasnya mencari korban penyerangan kantor, ada yang mengurusi aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik). Fungsinya adalah pendampingan, investigasi, dan dokumentasi. Dari 1996 itu kerelawanan tetap dijaga.
Ketika (kerusuhan Mei) 1998 meletus, pertama kali itu penyerangan mahasiswa Trisakti, ada penembakan mahasiswa, kami diminta untuk ke lapangan semua. Masih ada beberapa teman yang juga ikut.
Tanggal 12 Mei sesudah pemakaman mahasiswa di Tanah Kusir, saya pulang ke kantor, mendapat telepon dari Pak Sandy, "Mbak Ita, ini ada perkosaan."
Itu sore hari. Pak Sandy bilang, "perkosaan di daerah Jakarta Utara. Tolong ke sana." Enggak berapa lama, beliau telepon lagi: ada perkosaan di daerah Glodok.
Saya baru mau berangkat, dalam keadaan panik, muncul telepon lagi, bahwa di depan Trisaksi terjadi penyerangan terhadap perempuan oleh sejumlah orang dengan menggunakan mobil.
Kami terbiasa dengan perkosaan, tapi bukan perkosaan politik seperti KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), jadi kami panik. Kemudian saya pergi ke Grogol, teman saya ke Jakarta Utara, dan ada yang ke Glodok.
Ketika sudah di lapangan, kami mikir: “Enggak bisa kerja begini”. Karena setelah itu kami mendapat telepon bahwa ada kasus yang sama di Jembatan Lima, Jembatan Dua, dan Jembatan Tiga. Kemudian di Pluit. Jadi malam itu jadi kaos. Waktu dari lapangan jam 2 malam, kami pulang dan bertemu dengan Pak Sandyawan.
Saat itu sudah mengecek bahwa perkosaan itu benar terjadi?
Iya. Kami sudah mengecek. Kondisinya parah, maaf ya, ada anak perempuan yang dipotong puting payudaranya. Itu langsung saya bawa ke Soekarno-Hatta untuk diberangkatkan ke Singapura. Jadi itu kacau. Motor saya taruh di gereja. Saya dibantu seorang pastor mebawa korban ke bandara.
Mbak Ita sendiri menemukan berapa korban perkosaan?
Waktu itu saya bawa tiga. Tapi di bandara, saya melihat ada tujuh korban lain yang sudah dalam keadaan panik dan stres. Sudah ada yang didorong pakai kursi roda. Jadi, malam itu adalah malam puncak kekacauan untuk orang semuanya pergi ke luar.
Saya menangani tiga korban. Lainnya sudah tidak bisa mengecek apakah yang lain itu diperkosa. Kondisinya tidak memungkinkan. Dan beberapa orang termasuk dari suster Katolik ikut membantu di Cengkareng.
Karena kondisinya yang sudah tidak bisa lagi ditangani, makin banyak telepon, akhirnya kami membuat Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan, TRKP. Kemudian malam sampai pagi, kami tidak tidur, kami melakukan identifikasi terhadap korban.
Kami mengidentifikasi masalahnya. Ada perkosaan, pelecehan seksual, pemukulan, penganiayaan, dilempari batu. Di Jembatan Lima, mereka diserang. Teman saya di sana, menemukan dua kasus perkosaan, tapi kekerasan itu terjadi di banyak tempat. Satu keluarga dianiaya. Kami petakan itu semua.
Kami lalu membentuk tim investigasi, tim pendampingan, dan tim pemindahan korban. Kami memutuskan membuka saluran telepon, mengumumkan kami butuh relawan, dan menggelar konferensi pers.
Sejak itu banyak relawan yang mendaftar. Saat itu kami juga membagi tugas dan hotline untuk (kasus) perkosaan di Kalyanamitra. Kalau masalah pembantaian, penganiayaan, pembakaran ada di Institut Sosial Jakarta tempat Pak Sandyawan.
Pada saat itu, beberapa teman membantu untuk koordinasi relawan: Jaringan Kerja Budaya, Hilmar Farid, seniman, akademisi; kami semua koordinasi. Ada juga tim dokumentasi. Tim media itu ketuanya Kamala Chandrakirana (Ketua Komnas Perempuan 2004-2009), dan tim pendampingan dari psikolog Atma Jaya. Kami juga bikin tim verifikasi: memastikan apakah benar ada laporan perkosaan, apakah perkosaan itu benar ada.
Ada berapa banyak laporan yang diverifikasi waktu itu?
Kami menerima laporan itu 150, dan kami verifikasi.
Semuanya korban perkosaan?
Iya, semua korban perkosaan. Tapi waktu TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) masuk, banyak korban yang ditanyain, kemudian tidak mau mengaku. Karena itu ada perbedaan data dengan TGPF.
Ada berapa relawan yang bergabung waktu itu?
Ada banyak. Tapi kami saring relawannya. Karena riskan sekali kalau menerima sembarangan. Jadi kami menggandeng komunitas agama. Gereja Katolik, Kristen itu dengan PGI, Budha juga ikut. Mereka sangat kuat sekali. Kelompok NU juga gabung. Waktu itu Gus Dur langsung bilang, "NU bagian dari relawan." Mereka bagian di keamanan. Banser siap mengamankan. Jadi total relawan itu mungkin seribu lebih.
Waktu Soeharto turun, Anda di mana?
Saya selama Mei 1998 di jalanan terus bersama Pak Sandyawan. Nyaris tidak pernah pulang, enggak pernah ada di kantor. Tugas saya memastikan setiap simpul relawan itu bekerja. Tapi kalau memang ada kasus yang berat, saya baru turun langsung mendampingi. Misalnya, kayak perkosaan yang di Tangerang, satu keluarga diperkosa, ibunya meninggal, kakaknya meninggal. Saya waktu itu dibantu tim relawan Budha di Tangerang.
Perkosaan massal ini masih kontroversi. Apakah benar?
Jadi perkosaan itu cepat sekali. Seperti yang di Trisakti ada tiga anak cewek, mau pulang ditangkap, dimasukkan mobil, dianiaya, setelah selesai, dibuang saja.
Perkosaan massal itu terjadi. Korban pertama adalah perempuan Cina. Dalam tradisi Tionghoa, kalau kamu sudah diperkosa secara seksual, itu adalah aib yang besar untuk keluarga dan komunitas. Oleh sebab itu, dua korban perkosaan di Jembatan Tiga dan Jembatan Dua diberi pisau oleh keluarganya agar bunuh diri, karena aib. Aib keluarga, aib komunitas.
Jadi waktu TGPF masuk, banyak korban yang tidak mau muncul, karena menyatakan "pernah diperkosa" itu sudah enggak bisa. Yang bisa ketahuan itu, yang bicara itu, hanya beberapa yang kami dampingi.
Saya waktu itu selain ngurusin korban perkosaan, juga mengurusi yang demo. Jadi banyak relawan yang tidak hanya anak muda, tapi juga orang tua, ibu-ibu bakul. Mereka itu membungkus air minum pakai plastik, datang ke kantor kami dan memberikan air minum itu.
“Mbak, ini buat mahasiswa, ya, biar Suharto jatuh.” Itu yang mereka katakan ke kami. Nasi juga begitu. ibu-ibu buat nasi isi oseng tempe. Banyak sekali yang menyumbang. Ada uang. Tiba-tiba orang naik mobil datang ke kami memberikan plastik isi uang. Sehingga sampai selesai, kami serahkan ke Sandyawan. Total ada Rp380 juta dari sumbangan.
Puncak perkosaan itu kapan?
Tanggal 12, 13, 14, 15 Mei itu puncaknya. Itu kami semua kebingungan. SOP-nya kalau ada korban perkosaan, kami akan tanya, “Kamu mau di bawa ke mana?” Karena nomor satu bukan didampingi secara medis, korban harus merasa aman dulu.
Kelompok Budhis itu punya safe house. Saya buka sekarang: safe house mereka ada di sebuah apartemen mewah di Taman Anggrek, ada 1 unit. Satu lagi di Puncak. Terus ada juga dokter yang membantu kami, namanya Lie Dharmawan, dulu kerjanya di rumah sakit Pluit. Itu dokter yang paling banyak terima korban perkosaan. Dokter Boenjamin, Direktur Kalbe Farma.
Kebanyakan mau ke mana?
Kebanyakan korban maunya ke komunitas agama. Mereka enggak mau ke pendamping LSM. Semua ke komunitas agama, paling banyak itu Budha. Untuk Katolik, mereka ada safe house di Carolus.
Itu ada yang ke Singapura, ada berapa? Dan ke mana saja yang ke luar negeri?
Yang ke luar negeri itu yang kaya-kaya. Terbanyak ke Australia, Singapura, Amerika, dan Taiwan. Misalnya, saya pernah ke Amerika, ke New York dan Washington D.C., ada korban tujuh orang di New York dan dua orang di Washington. Mereka minta permanent resident.
Dari sembilan orang di Amerika, semua korban perkosaan?
Korban perkosaan itu 3 orang, salah satunya ada anak dari tokoh (off-the-record nama). Kemudian, ada ahli mode (off-the-record nama). Itu dari tengah jalan di Cengkareng, kalau enggak ada saya, sudah habis. Saya dulu pakai jilbab, jadi aman di perjalanan.
Korban lain yang ditangani Anda?
Ada korban ibu, kakak pertama, dan anak yang paling kecil meninggal semua. Yang kecil itu meninggal di pelukan saya. Ada juga kakak-beradik yang hamil, saya bawa ke Bali. Yang satu digugurkan. Di Surabaya, ada juga yang diperkosa. Transit di Jakarta. Dia diperkosa di dalam lemari karena ngumpet. Itu pelakunya tetangga belakang rumah sendiri.
Salah satu korban yang kita tahu adalah Ita Martadinata, ibunya adalah aktivis Budhis. Ibunya sangat vokal. Ita ini korban. Waktu itu PBB sudah tahu karena Ita adalah satu-satunya anak yang mau bersaksi. Dia sebetulnya tidak boleh pulang karena harus ke Amerika. Setelah seminggu pulang ke rumah, kami mendapat kabar Ita dibunuh. Jam 3 dibunuh, jam 5 saya sudah di sana. Darah itu masih hangat.
Bagaimana pesawat bersedia menerbangkan korban dengan mudah?
Nah ini yang menarik. Singapore Airlines sangat baik sekali. Loading itu gampang sekali. Tapi itu yang kaya-kaya.
Sesudah itu ada Tim Gabungan Pencari Fakta. Apa problemnya sehingga muncul perbedaan data? Sampai sekarang ini jadi polemik.
Saya betulnya salah salah satu anggota TGPF. Tapi dua minggu setelah itu, saya mengundurkan diri. Masalahnya korban penyiksaan, pembakaran, penjarahan itu beda dengan korban perkosaan. Perkosaan itu adalah pembunuhan integritas diri dari tubuh perempuan.
Perempuan diperkosa itu sudah habis, apalagi dia Cina, apalagi ada hukum diskriminatif waktu itu. Sehingga mereka lebih milih diam, aman tenang. Keamanan lebih penting daripada saya bercerita dan kasus saya diungkap. Karena kasus Ita Martadinata itu menjadi pembelajaran penting bagi mereka. Jadi TGPF itu dibuat setelah kasus pembunuhan Ita Martadinata.
Jadi kasus pembunuhan itu menjadi pembelajaran bagi korban perkosaan untuk tidak bicara. Mereka tidak akan bicara. Mereka harus menjaga nama baik keluarga dan keluarga pun memastikan tidak ada yang mengetahui kalau keluarganya menjadi korban. Ini yang tidak diketahui pemerintah, oleh polisi.
Kembali ke TGPF, itu diketuai oleh Da'i Bachtiar dari polisi, ada tentaranya juga. Mereka dalam rapat-rapat selalu mengatakan, “Kami percaya ada perkosaan kalau kami bisa ngomong langsung dengan korban.”
Saya bilang, “tidak bisa.”
TRKP tidak pernah mau menyebutkan nama. Karena kami pernah menyebutkan nama, malah didatangi polisi dan dipaksa mengaku dan dipaksa ke rumah sakit untuk dilihat vaginanya.
Jadi untuk saya ini sebuah pelanggaran HAM dan pelanggaran privasi. Karena itu saya mundur. Karena polisi sudah menyalahi aturan untuk menyelidiki perkosaan.
Saat awal menerima laporan dari korban, tidak melapor ke polisi? Atau polisi tidak bertindak saat ada kejadian itu?
Tidak ada sama sekali. Polisi saat itu ngurusi kaos. Karena semua orang tidak mungkin bicara pada militer. Dan di antara (korban) terhadap perempuan Tionghoa, sebagian besar cepak-cepak semua.
Ada dugaan ini dilakukan secara sistematis?
Menurut saya tidak mungkin perkosaan dilakukan dalam waktu 3 menit, 5 menit. Itu terlalu lama. Jadi begini modusnya: datang, ada yang menjarah, setelah menjarah datang lagi, memperkosa.
Jadi merusak, menjarah, memperkosa. Memperkosa itu terakhir. Dan antara orang yang merusak, menjarah dan memperkosa itu berbeda. Polanya lebih banyak pemerkosa itu berbeda. Di Cengkareng itu di pinggir jalan.
Tapi enggak ada saksi?
Ada saksi. Ada keluarga. TGPF waktu itu tidak mau menerima ketika kami menghadirkan pendamping dari Budha dari suster-suster. Mereka disumpah. TGPF tidak mau mengakui. Dr Lie banyak menerima korban, tapi dia malah diteror, sampai keluarganya pindah ke luar negeri. Justru pendamping malah diteror.
Ini pelajaran berharga buat kita: Tidak bisa lagi percaya sama militer.
Banyak perkosaan yang tidak menggunakan penis, tapi menggunakan alat. Jadi cepat, tinggalkan.
Orang bilang perkosaan berarti dinikmati, dong. Itu kurang ajar sekali! Di TGPF, waktu itu, polisi juga bilang begitu. “Kalau gitu, Cina-Cina itu menikmati dong diperkosa. Bagaimana ini?” Kurang ajar sekali!
Yang di Tangerang itu tidak diperkosa. Mereka pakai alat.
Saya mau katakan: perkosaan ini menjadi modus untuk meneror masyarakat di dalam perubahan politik dengan menggunakan tubuh perempuan. Dan itu terjadi di Rwanda, Bosnia, Jerman, Jepang, juga Timor Leste.
Perkosaan 98 itu bisa ke internasional karena waktu itu, setelah Soeharto lengser, pelapor khusus PBB kekerasan perempuan, Radhika Coomaraswary, mengundang saya untuk membawa kasus itu. Kami membuat laporan cepat, dan pendamping datang, ada hampir 200 kasus perkosaan berdasarkan laporan semuanya.
Kami bawa data ini ke ke Kolombo, Sri Lanka. Radhika minta laporan itu dilengkapi, jadi total 189 korban setelah kami verifikasi. Itu terjadi mass rape. Laporan itu kemudian dibawa ke Jenewa. Oleh UN (PBB) dimasukkan ke dalam agenda. Di Swiss, saya membacakan kembali.
Bulan agustus 1998, Radhika datang ke Indonesia dan ditolak oleh pemerintah. Habibie saat itu. Tapi Wiranto masih. Hanya Prabowo yang dipecat. Kami akhirnya berusaha mempertemukan korban dengan Radhika di Hotel Sari San Pasific.[Sumber: tirto.id]