Sejumlah wisatawan menikmati suasana pantai di kawasan batu pemecah ombak di Desa Suak Indrapuri, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Senin (24/4). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww/17 |
Biorafi - Jalan aspal nan lebar di antara barisan pegunungan dan tepi laut sudah jadi pemandangan lumrah di kawasan Aceh Besar. Para pelancong, dengan sepeda motor maupun mobil, kerapkali menjadikan Pesisir Barat Aceh sebagai tujuan wisata mereka.
Saya bertemu dengan Feri, pria 24 tahun kelahiran Banda Aceh. Ia mengisahkan pengalamannya mendirikan tenda di sebuah bukit menghadap bibir pantai. Sewaktu senggang, ia dan teman-temannya kerap menghabiskan waktu bermalam di pinggir pantai sembari memasak makanan laut.
“Kalau ko (kamu) enggak bisa nge-camp di sini," katanya sembari tertawa, "karena susah kalau cewek.”
Bekerja sebagai fixer, Feri kerap melakukan perjalanan ke pelbagai tempat di Aceh. Ia diuntungkan sebagai lelaki, yang punya ruang leluasa untuk bergerak di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Islam secara ketat. Namun, ia juga menjelaskan ada banyak tempat di Aceh yang boleh dikunjungi oleh perempuan.
Tidak ada aturan larangan secara resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Aceh buat perempuan bepergian ke alam bebas. Kabar larangan ke tempat-tempat tertentu hanya disampaikan dari dari mulut ke mulut. Kabar bahwa ada larangan macam ini diterima oleh Via, gadis 21 tahun pencinta alam dari salah satu kampus di Aceh.
Lantaran lewat jalur kegiatan resmi komunitas kampus, Via bisa pergi ke sejumlah lokasi alam bebas di Aceh, meski terbatas. Misalnya ia bersama tim pencinta alam bisa berkemah di hutan, juga mendaki Gunung Burni Telong di Bener Meriah, sekira 7 jam perjalanan darat dari Banda Aceh. Tim pecinta alam di kampusnya mendapat izin resmi dari universitas, dari pihak keamanan daerah setempat, serta yang tersulit dari masyarakat setempat.
“Untungnya ada anggota kami yang dekat dengan masyarakat, jadi kami diizinkan buat mendaki. Mereka percaya ini kegiatan resmi, tidak mungkin macam-macam,” ujarnya.
Namun, selama hampir tiga tahun bergiat di komunitas pencinta alam, pendakian ke Burni Telong adalah satu-satunya yang bisa dilakukan Via. Ia dan anggota tim pernah berencana mendaki ke Gunung Halimun, tapi Via hanya bisa mencapai kaki gunung. Via tidak diizinkan untuk ikut mendaki ke puncak.
“Kalau ada anak pencinta alam dari wilayah lain main ke sini, mereka biasanya tanya sudah mendaki kemana saja. Saya cuma bisa tertawa karena sampai sekarang baru mendaki satu gunung,” ungkapnya.
Della, gadis 21 tahun lulusan salah satu kampus di Aceh, hingga saat ini masih memendam keinginan mendaki gunung di Aceh. Della ingin bergabung dengan beberapa teman kampus yang berencana mendaki Burni Telong. Tapi keinginan ini ditolak hanya karena ia perempuan, yang dianggap oleh teman laki-lakinya "tidak pantas untuk ikut mendaki" dan "hanya merepotkan saja."
Saya bertemu dengan Feri, pria 24 tahun kelahiran Banda Aceh. Ia mengisahkan pengalamannya mendirikan tenda di sebuah bukit menghadap bibir pantai. Sewaktu senggang, ia dan teman-temannya kerap menghabiskan waktu bermalam di pinggir pantai sembari memasak makanan laut.
“Kalau ko (kamu) enggak bisa nge-camp di sini," katanya sembari tertawa, "karena susah kalau cewek.”
Bekerja sebagai fixer, Feri kerap melakukan perjalanan ke pelbagai tempat di Aceh. Ia diuntungkan sebagai lelaki, yang punya ruang leluasa untuk bergerak di Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Islam secara ketat. Namun, ia juga menjelaskan ada banyak tempat di Aceh yang boleh dikunjungi oleh perempuan.
Tidak ada aturan larangan secara resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Aceh buat perempuan bepergian ke alam bebas. Kabar larangan ke tempat-tempat tertentu hanya disampaikan dari dari mulut ke mulut. Kabar bahwa ada larangan macam ini diterima oleh Via, gadis 21 tahun pencinta alam dari salah satu kampus di Aceh.
Lantaran lewat jalur kegiatan resmi komunitas kampus, Via bisa pergi ke sejumlah lokasi alam bebas di Aceh, meski terbatas. Misalnya ia bersama tim pencinta alam bisa berkemah di hutan, juga mendaki Gunung Burni Telong di Bener Meriah, sekira 7 jam perjalanan darat dari Banda Aceh. Tim pecinta alam di kampusnya mendapat izin resmi dari universitas, dari pihak keamanan daerah setempat, serta yang tersulit dari masyarakat setempat.
“Untungnya ada anggota kami yang dekat dengan masyarakat, jadi kami diizinkan buat mendaki. Mereka percaya ini kegiatan resmi, tidak mungkin macam-macam,” ujarnya.
Namun, selama hampir tiga tahun bergiat di komunitas pencinta alam, pendakian ke Burni Telong adalah satu-satunya yang bisa dilakukan Via. Ia dan anggota tim pernah berencana mendaki ke Gunung Halimun, tapi Via hanya bisa mencapai kaki gunung. Via tidak diizinkan untuk ikut mendaki ke puncak.
“Kalau ada anak pencinta alam dari wilayah lain main ke sini, mereka biasanya tanya sudah mendaki kemana saja. Saya cuma bisa tertawa karena sampai sekarang baru mendaki satu gunung,” ungkapnya.
Della, gadis 21 tahun lulusan salah satu kampus di Aceh, hingga saat ini masih memendam keinginan mendaki gunung di Aceh. Della ingin bergabung dengan beberapa teman kampus yang berencana mendaki Burni Telong. Tapi keinginan ini ditolak hanya karena ia perempuan, yang dianggap oleh teman laki-lakinya "tidak pantas untuk ikut mendaki" dan "hanya merepotkan saja."
loading...
Post a Comment