Biografi - Tanggal 19 Mei, 19 tahun lalu, Soeharto menyadari kekuasaannya tinggal seujung kuku --bisa lepas kapanpun, tinggal tunggu waktu. Kala itu situasi negara sudah kacau balau. Kerusuhan merebak di mana-mana, dan ribuan mahasiswa demonstran menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta.
Hari itu, Soeharto memanggil 9 tokoh Islam: Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat itu menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, budayawan Emha Ainun Nadjib, Nurcholish Madjid selaku Rektor Universitas Paramadina, Al Yafie sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, Achmad Bagdja dan Ma’ruf Amin dari NU, Abdul Malik Fadjar dan Sumarsono dari Muhammadiyah, Yusril Ihza Mahendra selaku Guru Besar Hukum Tata Negara UI, dan KH Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia.
Kesembilan tokoh Muslim tersebut, selama dua jam lebih, memaparkan situasi terkini saat itu kepada Soeharto: rakyat ingin dia mundur.
Dihadapkan pada kenyataan tak terelakkan, Soeharto mengusulkan pembentukan Komite Reformasi dan berencana merombak kabinet. Kabinet Pembangunan VII hendak ia ganti menjadi Kabinet Reformasi.
Komite Reformasi akan terdiri dari unsur masyarakat, perguruan tinggi, dan pakar. Mereka bertugas merampungkan penyusunan Undang-Undang Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan MPR DPR dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.
Rencana itu sepintas tampak realistis, sebab reformasilah yang memang diinginkan rakyat.
Maka usai pertemuan maraton sepanjang pagi hingga siang itu, Soeharto menggelar konferensi pers, menyatakan tak keberatan untuk mundur dari jabatan presiden.
“Bagi saya, sebetulnya mundur dan tidak itu tidak menjadi masalah. Yang perlu kita perhatikan, apakah dengan kemunduran saya kemudian keadaan akan segera bisa diatasi. ... saya sebagai Presiden, Mandataris MPR, akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin,” ujar Soeharto.
Pada bagian akhir pidatonya, Soeharto kembali menegaskan bahwa tak menjabat presiden sama sekali bukan soal baginya.
“Dalam bahasa Jawa, tidak menjadi Presiden, tidak patheken. Kembali menjadi warga negara biasa tidak kurang terhormat dari presiden asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa. Jadi, jangan dinilai saya sebagai penghalang. Tidak sama sekali. Semata-mata karena tanggung jawab saya.”SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment