Ilustrasi syekh yusuf |
“Syech Yusuf adalah ulama pejuang, bahkan Nelson Mandela menjadikannya
inspirasi bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan apartheid,”
tulis Suryana Sudrajat dalam Ulama Pejuang dan Ulama Petualang: Belajar Kearifan dari Negeri Atas Angin (2006).
Belakangan, Syekh Yusuf pun menjadi tali penyambung antara Afrika Selatan dengan Indonesia. “Kedekatan Indonesia dan Afrika Selatan juga terbantu oleh Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, pendakwah Islam asal Sulawesi Selatan yang disebut "Salah Seorang Putra Afrika Terbaik" oleh mantan Presiden Nelson Mandela,” demikian yang ditulis kantor berita Antara (23/04/2015).
Meski beda generasi, bahkan zaman, keduanya diasingkan oleh rezim (bermental) kolonial. Nelson Mandela oleh rezim apartheid kulit kulit putih dan Syekh Yusuf oleh rezim perusahaan bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda. Tentu, Yusuf melawan VOC.
“Semasa hidupnya, beliau dikatakan senantiasa berulang-alik dari Pulau Robben ke Cape Town untuk menemui teman-temannya,” tulis Hanapi Dollah dalam Melayu Cape Town di Afrika Selatan (2010).
Lima tahun di Cape Town adalah lima tahun terakhir hidupnya di dunia. Dia meninggal pada 23 Mei 1699 dan dimakamkan di Cape Town. Meski banyak juga yang percaya bahwa dia bermakam di Gowa yang terhitung kampung halamannya.
"Semasa hidupnya, Yusuf dipuja sebagai orang sakti dan sesudah mati, makamnya dihias secara Islam dengan nisan yang indah, terdiri atas batu-batu yang tinggi, dan sampai sekarang masih dianggap keramat,” tulis Abu Hamid dalam Syekh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (1994).
Abu Hamid juga menulis bahwa Syekh Yusuf berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang dengan VOC, meski dia bukan asli Banten. Hamid mencatat Yusuf lahir pada 3 Juli 1626 di daerah Gowa, Sulawesi Selatan. Ketika belia, dia merantau untuk belajar ilmu agama. Dia ke Banten sebelum ke Serambi Mekah dan lalu ke Mekah.
“Nama Banten sudah sering didengar oleh Yusuf dari pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang,” tulis Abu Hamid.
Menurut Suryana Sudrajat, dia belajar Islam di Timur Tengah, termasuk Mekah, Madinah, dan sebelumnya di Yaman. Dia juga sempat ke Suriah. Setelahnya, dia sempat kembali ke Gowa dan ke Banten lagi menjadi pemimpin agama di sana. Diduga, dia berkawan dengan Sultan Ageng sejak ia hendak belajar Islam ke Timur Tengah.
“Syekh Yusuf berada di Banten sekitar 20 tahun lamanya hanya diketahui sedikit peranannya sebagai Mufti Kerajaan Banten, guru bagi Sultan dan keluarganya, serta syekh tarikat bagi penduduk,” tulis Abu Hamid.
Di Banten, Yusuf menjadi bagian dari sejarah dan legenda masyarakat lokal, termasuk cerita bahwa ia berada di pihak Banten saat berperang dengan VOC.
Sekitar Januari 1683, Syekh Yusuf bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul mengadakan perang gerilya di daerah Tangerang. “Dari Tangerang terus ke daerah Cimancung, lalu ke daerah Jasinga dan terus menyusuri sungai Cidurian. Kompeni memerintahkan van Happel untuk mengejar gerilyawan itu. Dari daerah Jasinga, Syekh Yusuf menuju arah timur, Jakarta Selatan untuk tujuan ke Cirebon.” Selanjutnya
Belakangan, Syekh Yusuf pun menjadi tali penyambung antara Afrika Selatan dengan Indonesia. “Kedekatan Indonesia dan Afrika Selatan juga terbantu oleh Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, pendakwah Islam asal Sulawesi Selatan yang disebut "Salah Seorang Putra Afrika Terbaik" oleh mantan Presiden Nelson Mandela,” demikian yang ditulis kantor berita Antara (23/04/2015).
Meski beda generasi, bahkan zaman, keduanya diasingkan oleh rezim (bermental) kolonial. Nelson Mandela oleh rezim apartheid kulit kulit putih dan Syekh Yusuf oleh rezim perusahaan bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda. Tentu, Yusuf melawan VOC.
“Semasa hidupnya, beliau dikatakan senantiasa berulang-alik dari Pulau Robben ke Cape Town untuk menemui teman-temannya,” tulis Hanapi Dollah dalam Melayu Cape Town di Afrika Selatan (2010).
Lima tahun di Cape Town adalah lima tahun terakhir hidupnya di dunia. Dia meninggal pada 23 Mei 1699 dan dimakamkan di Cape Town. Meski banyak juga yang percaya bahwa dia bermakam di Gowa yang terhitung kampung halamannya.
"Semasa hidupnya, Yusuf dipuja sebagai orang sakti dan sesudah mati, makamnya dihias secara Islam dengan nisan yang indah, terdiri atas batu-batu yang tinggi, dan sampai sekarang masih dianggap keramat,” tulis Abu Hamid dalam Syekh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (1994).
Abu Hamid juga menulis bahwa Syekh Yusuf berpihak pada Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang dengan VOC, meski dia bukan asli Banten. Hamid mencatat Yusuf lahir pada 3 Juli 1626 di daerah Gowa, Sulawesi Selatan. Ketika belia, dia merantau untuk belajar ilmu agama. Dia ke Banten sebelum ke Serambi Mekah dan lalu ke Mekah.
“Nama Banten sudah sering didengar oleh Yusuf dari pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang,” tulis Abu Hamid.
Menurut Suryana Sudrajat, dia belajar Islam di Timur Tengah, termasuk Mekah, Madinah, dan sebelumnya di Yaman. Dia juga sempat ke Suriah. Setelahnya, dia sempat kembali ke Gowa dan ke Banten lagi menjadi pemimpin agama di sana. Diduga, dia berkawan dengan Sultan Ageng sejak ia hendak belajar Islam ke Timur Tengah.
“Syekh Yusuf berada di Banten sekitar 20 tahun lamanya hanya diketahui sedikit peranannya sebagai Mufti Kerajaan Banten, guru bagi Sultan dan keluarganya, serta syekh tarikat bagi penduduk,” tulis Abu Hamid.
Di Banten, Yusuf menjadi bagian dari sejarah dan legenda masyarakat lokal, termasuk cerita bahwa ia berada di pihak Banten saat berperang dengan VOC.
Sekitar Januari 1683, Syekh Yusuf bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul mengadakan perang gerilya di daerah Tangerang. “Dari Tangerang terus ke daerah Cimancung, lalu ke daerah Jasinga dan terus menyusuri sungai Cidurian. Kompeni memerintahkan van Happel untuk mengejar gerilyawan itu. Dari daerah Jasinga, Syekh Yusuf menuju arah timur, Jakarta Selatan untuk tujuan ke Cirebon.” Selanjutnya
loading...
Post a Comment