Biografi - Situasi Jakarta masih genting saat itu. Pusat negara dan pemerintahan
telah dipindahkan ke Yogyakarta sejak 1946 lantaran ibukota diduduki
oleh pasukan NICA atau Belanda yang ingin berkuasa lagi kendati bangsa
Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945.
Namun, tidak semua pejuang dan meninggalkan Jakarta. Masih ada sejumlah tokoh berpengaruh yang bertahan, termasuk demi harga diri dan martabat masyarakat Betawi meskipun setiap saat harus menghadapi risiko tinggi. Salah satunya adalah KH Mohammad Mansur atau yang lebih masyhur dengan nama Guru Mansur.
Namun, tidak semua pejuang dan meninggalkan Jakarta. Masih ada sejumlah tokoh berpengaruh yang bertahan, termasuk demi harga diri dan martabat masyarakat Betawi meskipun setiap saat harus menghadapi risiko tinggi. Salah satunya adalah KH Mohammad Mansur atau yang lebih masyhur dengan nama Guru Mansur.
Demi Betawi dan Umat Islam
Guru Mansur tak sekadar bertahan melainkan terus melancarkan upaya
sebagai wujud perlawanannya terhadap kaum penindas. Suatu ketika pada
1948, misalnya, ia dengan memasang dan menaikkan bendera Merah-Putih di
menara masjid tempatnya bermukim, Masjid Jami Al-Mansur di Kampung
Sawah. Hal ini tentu saja membuat Belanda marah.
Tak pelak, Guru Mansur harus berurusan dengan aparat kepolisian atas perbuatan nekadnya tersebut. Sang ulama tetap bergeming, tidak mau menurunkan bendera kebesaran Indonesia itu dari ujung tiangnya walaupun di bawah ancaman senjata hingga akhirnya ditahan (Alwi Shahab, Batavia Kota Banjir, 2009:153).
Baca juga: Si Raja Debat yang Gigih Membela Islam
Kendati sempat menahan Guru Mansur, Belanda sebenarnya harus berpikir panjang sebelum mengambil tindakan yang lebih tegas terhadapnya. Apabila itu dilakukan, bukan mustahil akan memicu perlawanan besar dari masyarakat Betawi dan umat Islam.
Maka, Belanda mencoba segala cara untuk membujuk Guru Mansur agar bersikap kooperatif dan bersedia bekerjasama. Tak main-main, Belanda menawarkan imbalan segepok uang (Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi: Asal-Muasal, Kebudayaan, dan Adat-Istiadatnya, 1997:205).
Lantas, bagaimana reaksi sang guru atas tawaran menggiurkan itu? “Umat Islam tidak mau ditindas. Saya tidak mau ngelonin kebatilan!” tolaknya dengan tegas.
Belanda gigit jari. Sekali lagi, terlalu besar risikonya jika bertindak macam-macam terhadap tokoh bernyali tinggi yang satu ini. Bisa saja terjadi revolusi di Jakarta jika panutan rakyat ditindak secara berlebihan, dan Belanda tentu saja tidak menghendaki munculnya perlawanan yang lebih besar.
Tak pelak, Guru Mansur harus berurusan dengan aparat kepolisian atas perbuatan nekadnya tersebut. Sang ulama tetap bergeming, tidak mau menurunkan bendera kebesaran Indonesia itu dari ujung tiangnya walaupun di bawah ancaman senjata hingga akhirnya ditahan (Alwi Shahab, Batavia Kota Banjir, 2009:153).
Baca juga: Si Raja Debat yang Gigih Membela Islam
Kendati sempat menahan Guru Mansur, Belanda sebenarnya harus berpikir panjang sebelum mengambil tindakan yang lebih tegas terhadapnya. Apabila itu dilakukan, bukan mustahil akan memicu perlawanan besar dari masyarakat Betawi dan umat Islam.
Maka, Belanda mencoba segala cara untuk membujuk Guru Mansur agar bersikap kooperatif dan bersedia bekerjasama. Tak main-main, Belanda menawarkan imbalan segepok uang (Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi: Asal-Muasal, Kebudayaan, dan Adat-Istiadatnya, 1997:205).
Lantas, bagaimana reaksi sang guru atas tawaran menggiurkan itu? “Umat Islam tidak mau ditindas. Saya tidak mau ngelonin kebatilan!” tolaknya dengan tegas.
Belanda gigit jari. Sekali lagi, terlalu besar risikonya jika bertindak macam-macam terhadap tokoh bernyali tinggi yang satu ini. Bisa saja terjadi revolusi di Jakarta jika panutan rakyat ditindak secara berlebihan, dan Belanda tentu saja tidak menghendaki munculnya perlawanan yang lebih besar.
Menentang Belanda Sejak dalam Pikiran
Guru Mansur adalah sosok ulama berpengaruh yang berdiri mantap di
belakang panji-panji republik. Menjelang kemerdekaan Indonesia, ia
menaikkan bendera Merah-Putih, lalu menganjurkan kepada masyarakat
Betawi dan umat Islam untuk melakukan hal serupa.
Persatuan umat demi menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia menjadi salah satu fokus utama Guru Mansur saat itu. Ia terkenal dengan slogan atau seruannya yang melegenda: rempug! (Saidi, 1997:205)
Rempug merupakan kata dalam bahasa Betawi yang bermakna “kompak”, “berkumpul”, atau “bersatu”. Untuk mengobarkan semangat umat Islam, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Betawi yang memang menjadi basis utama pendukung perjuangannya, Guru Mansur kerap berseru: “Betawi, rempuglah!”, artinya, “(Rakyat) Betawi, bersatulah!” SELANJUTNYA
Persatuan umat demi menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia menjadi salah satu fokus utama Guru Mansur saat itu. Ia terkenal dengan slogan atau seruannya yang melegenda: rempug! (Saidi, 1997:205)
Rempug merupakan kata dalam bahasa Betawi yang bermakna “kompak”, “berkumpul”, atau “bersatu”. Untuk mengobarkan semangat umat Islam, bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Betawi yang memang menjadi basis utama pendukung perjuangannya, Guru Mansur kerap berseru: “Betawi, rempuglah!”, artinya, “(Rakyat) Betawi, bersatulah!” SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment