Biografi - Istri gugat cerai suami (fasakh) mendominasi kasus perceraian di Aceh. Pemicunya beragam, dari faktor ekonomi, perselingkuhan, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
“Kalau urusan nikah, dipermudah. Tapi untuk urusan cerai, prosedur dan aturannya dipersulit.”
Demikian kira-kira kalimat yang meluncur di bibir Yusna, sesaat setelah keluar dari ruang sidang Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Wanita paruh baya ini mengikuti sidang ke tiga, setelah melayangkan gugatan cerai terhadap suaminya.
Warga Kecamatan Peusangan itu mengaku terpaksa menggugat cerai suaminya, padahal sudah belasan tahun mengarungi biduk rumah tangga. Alasannya sederhana, ia mengaku sudah tidak tahan hidup bersama karena suaminya tidak bisa mencukupi materi yang diinginkannya. Terutama kebutuhan biaya pendidikan anak-anak mereka.
Saat ditemui beberapa waktu lalu, gugatan Yusna belum diputuskan mahkamah. Hal itu dikarenakan suaminya—sebut saja Salman—tidak menginginkan perkawinan mereka berakhir di tengah jalan. “Anak-anak selalu menjadi alasannya. Tapi kebutuhan mereka payah tamita keudro teuh (harus saya yang usahakan),” tuturnya.
Dia berharap, semoga saja majelis hakim bisa mempercepat urusan perceraiannya. “Saya sudah capek dengan semua ini, apalagi saya harus bekerja untuk memenuhi biaya pendidikan anak,” sebut Yusna.
Lain lagi cerita Rina, bukan nama sebenarnya. Wanita berusia 28 tahun ini menggugat cerai suaminya karena kawin lagi dan sudah setahun tidak menafkahinya. “Ia juga sudah tidak peduli terhadap dua putra kami,” katanya.
Menurut Rina, dalam tiga kali persidangan, majelis hakim langsung memutuskan perkara gugatan yang diajukannya. “Ini dikarenakan bapak anak-anak saya tidak pernah memenuhi panggilan mahkamah,” katanya.
Dalam persidangan terakhir itu, papar dia, dirinya ikut menghadirkan saksi yang menguatkan gugatannya dari kalangan perangkat gampong. “Setelah mendengarkan kesaksian keuchiek dan imam gampong, perkara saya langsung diputuskan. Sekarang tinggal menunggu akta cerai,” tandasnya.
Angka perceraian di Aceh memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama 2016, Mahkamah Syar’iyah Aceh telah menerima 5.191 laporan perkara perceraian. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga November, belum termasuk Desember.
“Untuk Desember, akan ada sekira 500 kasus lagi. Tapi ini masih perkiraan, karena kita belum merekapitulasi data dari seluruh kabupaten/kota,” ujar Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Jufri Ghalib, Kamis pekan lalu.
Dibandingkan tahun sebelumnya, kata Jufri, jumlah kasus tahun ini mengalami peningkatan. Pada 2015, kata dia, mahkamah menerima 5.300 laporan perkara perceraian dari seluruh Aceh.
Secara keseluruhan, perkara perceraian yang telah diputuskan selama 2016 berjumlah 4.508 kasus. “Jadi masih tersisa 1.000 lebih kasus yang belum kami ketahui persis hasilnya. Hingga akhir Desember masih diproses dan datanya belum dimasukkan dalam laporan,” imbuh Jufri.
Sementara itu, Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Aceh mencatat, pada 2015 terdapat 40 ribu pasangan yang mengajukan pernikahan. Dari jumlah itu, sekitar 13 persen berakhir dengan perceraian. “Untuk tahun 2016, kita masih dalam proses mendata,” ucap Ketua BP4 Aceh Gani Isa.
Persentase perceraian itu, kata Gani, sama dengan data secara nasional. Terdapat 13 persen dari dua juta pasangan di Indonesia memilih mengakhiri rumah tangga mereka. Menariknya, baik Aceh maupun nasional, pengajuan cerai dari pihak istri menempati peringkat terbanyak. “Di Banda Aceh saja, hampir dua per tiga kasus perceraian adalah fasakh (gugatan dari istri). Sisanya talak cerai,” ujar Gani.
Pernyataannya ini diperkuat oleh data Mahkamah Syar’iyah Aceh. Selama 2016, mahkamah mencatat 3.789 kasus cerai merupakan gugatan dari istri. Sisanya perkara cerai talak yang berjumlah 1.402 kasus.
ACEH UTARA TERBANYAK
Panitera Muda Hukum Mahkamah Syar’iyah Aceh, Abdul Latief menyebutkan, kasus gugat cerai oleh istri paling banyak terjadi di Aceh Utara. “Berdasarkan data hingga November 2016, kasus perceraian yang ditangani Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon berjumlah 544 kasus. Sekitar 80 persen dari jumlah tersebut adalah kasus fasakh,” ungkap Latief.
Di bawahnya ada Aceh Tengah dengan 465 kasus. Dari jumlah ini, kasus gugat cerai oleh istri juga mendominasi, yakni 310 kasus. “Posisi ketiga ditempati Aceh Tamiang dengan 401 kasus. Adapun gugat cerai oleh istri 335 kasus,” katanya.
Sementara di Banda Aceh, lanjut Latief, angka perceraian mencapai 260 kasus, dengan laporan gugat cerai oleh istri berjumlah 190 kasus.
“Kalau urusan nikah, dipermudah. Tapi untuk urusan cerai, prosedur dan aturannya dipersulit.”
Demikian kira-kira kalimat yang meluncur di bibir Yusna, sesaat setelah keluar dari ruang sidang Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Wanita paruh baya ini mengikuti sidang ke tiga, setelah melayangkan gugatan cerai terhadap suaminya.
Warga Kecamatan Peusangan itu mengaku terpaksa menggugat cerai suaminya, padahal sudah belasan tahun mengarungi biduk rumah tangga. Alasannya sederhana, ia mengaku sudah tidak tahan hidup bersama karena suaminya tidak bisa mencukupi materi yang diinginkannya. Terutama kebutuhan biaya pendidikan anak-anak mereka.
Saat ditemui beberapa waktu lalu, gugatan Yusna belum diputuskan mahkamah. Hal itu dikarenakan suaminya—sebut saja Salman—tidak menginginkan perkawinan mereka berakhir di tengah jalan. “Anak-anak selalu menjadi alasannya. Tapi kebutuhan mereka payah tamita keudro teuh (harus saya yang usahakan),” tuturnya.
Dia berharap, semoga saja majelis hakim bisa mempercepat urusan perceraiannya. “Saya sudah capek dengan semua ini, apalagi saya harus bekerja untuk memenuhi biaya pendidikan anak,” sebut Yusna.
Lain lagi cerita Rina, bukan nama sebenarnya. Wanita berusia 28 tahun ini menggugat cerai suaminya karena kawin lagi dan sudah setahun tidak menafkahinya. “Ia juga sudah tidak peduli terhadap dua putra kami,” katanya.
Menurut Rina, dalam tiga kali persidangan, majelis hakim langsung memutuskan perkara gugatan yang diajukannya. “Ini dikarenakan bapak anak-anak saya tidak pernah memenuhi panggilan mahkamah,” katanya.
Dalam persidangan terakhir itu, papar dia, dirinya ikut menghadirkan saksi yang menguatkan gugatannya dari kalangan perangkat gampong. “Setelah mendengarkan kesaksian keuchiek dan imam gampong, perkara saya langsung diputuskan. Sekarang tinggal menunggu akta cerai,” tandasnya.
Angka perceraian di Aceh memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama 2016, Mahkamah Syar’iyah Aceh telah menerima 5.191 laporan perkara perceraian. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga November, belum termasuk Desember.
“Untuk Desember, akan ada sekira 500 kasus lagi. Tapi ini masih perkiraan, karena kita belum merekapitulasi data dari seluruh kabupaten/kota,” ujar Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Jufri Ghalib, Kamis pekan lalu.
Dibandingkan tahun sebelumnya, kata Jufri, jumlah kasus tahun ini mengalami peningkatan. Pada 2015, kata dia, mahkamah menerima 5.300 laporan perkara perceraian dari seluruh Aceh.
Secara keseluruhan, perkara perceraian yang telah diputuskan selama 2016 berjumlah 4.508 kasus. “Jadi masih tersisa 1.000 lebih kasus yang belum kami ketahui persis hasilnya. Hingga akhir Desember masih diproses dan datanya belum dimasukkan dalam laporan,” imbuh Jufri.
Sementara itu, Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Aceh mencatat, pada 2015 terdapat 40 ribu pasangan yang mengajukan pernikahan. Dari jumlah itu, sekitar 13 persen berakhir dengan perceraian. “Untuk tahun 2016, kita masih dalam proses mendata,” ucap Ketua BP4 Aceh Gani Isa.
Persentase perceraian itu, kata Gani, sama dengan data secara nasional. Terdapat 13 persen dari dua juta pasangan di Indonesia memilih mengakhiri rumah tangga mereka. Menariknya, baik Aceh maupun nasional, pengajuan cerai dari pihak istri menempati peringkat terbanyak. “Di Banda Aceh saja, hampir dua per tiga kasus perceraian adalah fasakh (gugatan dari istri). Sisanya talak cerai,” ujar Gani.
Pernyataannya ini diperkuat oleh data Mahkamah Syar’iyah Aceh. Selama 2016, mahkamah mencatat 3.789 kasus cerai merupakan gugatan dari istri. Sisanya perkara cerai talak yang berjumlah 1.402 kasus.
ACEH UTARA TERBANYAK
Panitera Muda Hukum Mahkamah Syar’iyah Aceh, Abdul Latief menyebutkan, kasus gugat cerai oleh istri paling banyak terjadi di Aceh Utara. “Berdasarkan data hingga November 2016, kasus perceraian yang ditangani Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon berjumlah 544 kasus. Sekitar 80 persen dari jumlah tersebut adalah kasus fasakh,” ungkap Latief.
Di bawahnya ada Aceh Tengah dengan 465 kasus. Dari jumlah ini, kasus gugat cerai oleh istri juga mendominasi, yakni 310 kasus. “Posisi ketiga ditempati Aceh Tamiang dengan 401 kasus. Adapun gugat cerai oleh istri 335 kasus,” katanya.
Sementara di Banda Aceh, lanjut Latief, angka perceraian mencapai 260 kasus, dengan laporan gugat cerai oleh istri berjumlah 190 kasus.
PEMICU PERCERAIAN
Menurut Jufri Ghalib, perceraian yang terjadi di Aceh umumnya disebabkan perselisihan dalam rumah tangga. “Faktor tertinggi adalah perselisihan dan pertengkaran yang terjadi terus menerus, sehingga perceraian tak terhindarkan,” jelasnya.
Dari data yang ada, faktor perselisihan memang menempati angka paling dominan, yakni 2.376 kasus cerai. Jufri tak menampik tingginya kesadaran tentang emansipasi dan pemahaman perempuan mengenai gender, ikut mempengaruhi tingkat perceraian.
“Barangkali ada keterkaitan, tapi saya pikir itu persoalan nomor dua. Kebanyakan kasus perceraian yang kami amati lebih dikarenakan masing-masing suami-istri tidak sabar dalam menghadapi persoalan rumah tangga mereka. Akibatnya terjadilah perselisihan, ini yang memicu perceraian,” ungkap Jufri.
Hal serupa dikatakan aktivis perempuan, Ratnasari. Menurutnya, perselisihan yang berlarut-larut antara suami dan istri menjadikan perceraian sulit dihindarkan. Selain itu, usia muda juga dinilainya menjadi pemicu kehancuran rumah tangga.
“Banyak pasangan di Aceh, terutama kalangan suami-istri berusia muda belum punya pemahaman yang memadai tentang arti dari pernikahan. Dari situ lambat laun menuai masalah, perselingkuhan misalnya. Pasangan mudah mengalami kejenuhan, sehingga terjadi perceraian,” ujar Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Aceh ini, Rabu pekan lalu.
Belakangan ini, tambah Ratnasari, kesadaran istri dalam menyikapi persoalan rumah tangga sudah semakin baik. Hal itu berbeda dengan 10 tahun lalu. “Dulu segala hal yang ada di dalam rumah tangga dianggap sebagai masalah private. Jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, istri akan lebih memilih menahan diri,” katanya.
Namun berbeda dengan sekarang ini. Menurut Ratna, kekerasan dalam rumah tangga saja sudah dilarang dalam undang-undang. “Ini saya pikir merupakan satu kemajuan. Baik dari pihak suami maupun istri, tidak bisa lagi berbuat semena-mena dalam keluarga,” ujarnya.
Selain itu, tingginya angka perceraian di Aceh juga dipengaruhi oleh minimnya pemahaman para calon pasangan terhadap hukum agama. Padahal, kata Gani Isa, pemahaman dan pengamalan ilmu agama adalah pondasi awal yang harus dimiliki pasangan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
“Banyak yang tidak memahami dan mengamalkan hukum agama terkait munakahat, ini penyebab utama yang kami lihat. Padahal, Islam secara rinci telah menjelaskan bagaimana menjaga kerukunan dalam rumah tangga,” ujar Gani Isa.
Misran, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, menambahkan, di wilayah tugasnya kesus perceraian umumnya terjadi akibat tidak adanya kesiapan mental dari pasangan yang menikah. “Ini yang membuat usia pernikahan terkadang cenderung sangat singkat, hanya dua sampai tiga tahun saja,” katanya.
Dia memeparkan, kertengkaran yang disebabkan ekonomi, perselingkuhan dan kekerasan turut mewarnai kisruhnya rumah tangga di Banda Aceh. “Masalah seperti ini memperlihatkan kepada kita bahwa tidak adanya kesiapan mental dan pemikiran jangka panjang. Bisa dikatakan, menikah karena didasari nafsu saja, karena itu tidak akan bertahan lama,” ujar Misran.
Saat menangani laporan perceraian, lanjut Misran, mahkamah senantiasa mendorong pasangan suami-istri untuk menyelesaikan perselisihan melalui jalan damai. “Prosesnya berawal dari pihak gampong, harus ada prosedur upaya mediasi terlebih dahulu. Jika tidak ada kesepakatan, maka baru dilimpahkan ke mahkamah,” ujarnya.
Dikatakannya, gugatan hanya akan dikabulkan mahkamah apabila memiliki bukti-bukti yang cukup. “Biasanya, gugatan semacam itu karena istri sudah merasa teraniaya. Bisa karena nafkah tidak mencukupi, ditinggalkan atau disakiti. Yang jelas, alasan untuk mengajukan itu harus terpenuhi secara hukum,” tandasnya.
UPAYA PEMBINAAN
Menghindari meningkatnya kasus perceraian, BP4 secara nasional sedang mengupayakan pembaruan materi pembinaan bagi pasangan yang mengajukan pernikahan. Aceh termasuk dalam 16 provinsi yang akan mengadakan uji coba materi yang difasilitasi BP4 pusat tersebut.
Secara substansi, materi tersebut lebih mendorong partisipasi dari para peserta yang dibina. “Ada perubahan modul. Secara umum, isi materinya tetap sama tapi cara penyajian lebih partisipatif, melibatkan peserta juga, jadi tidak pasif. Kita muat simulasinya juga,” ujar Gani Isa.
Sedangkan sebelumnya, menurut dia, peserta pembinaan lebih banyak mendengarka materi saja. “Makanya sekarang kita akan ubah polanya,” katanya.
Untuk kegiatan pembinaan kepada para pasangan yang ingin menikah, BP4 bekerjasama dengan Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) yang selama ini rutin menggelar kursus bagi calon pengantin. “PPKS menyediakan tenaga konselor gratis untuk masyarakat,” ujar Kepala bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan BKKBN Aceh, Faridah, Rabu, 28 Desember 2016.
Dijelaskannya, PPKS dibentuk oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai wadah konsultasi dan akses informasi berkaitan dengan pembangunan keluarga. “Kami mengharapakan dukungan dari seluruh stakeholder dan komponen masyarakat terhadap program ketahanan dan pembangunan keluarga di Aceh,” kata Faridah.
Dikatakannya, upaya tersebut sejalan dengan amanat Undang Undang Nomor 52 Tahun 1999 tentang pengembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. “Maka kami terus mengupayakan pengurangan angka perceraian dengan meningkatkan ketahanan keluarga. Kita sepakat, bahwa kualitas bangsa akan dinilai dari kualitas keluarga-keluarganya,” pungkas Faridah.[Sumber: pikiranmerdeka.co]
loading...
Post a Comment