Abdurrahman ‘Azzam Pasha.’ Sumber foto: http://www.museumwnf.org/league-of-arab-states/?page=LAS-previous-secretary-general.php&sgid=SG1945 |
BIOGRAFI- Abdurrahman Azzam Pasya masihduduk terpekur di hadapan meja kerjanya.Raut muka Sekjen Liga Arab itu nampak serius. Di atas pelataran mejanya, berserakan dokumen-dokumen penting. Ada satu benda yang menarik perhatiannya, secarik kertas tergulung rapi: peta dunia.
Orang nomor satu di perhimpunan negara-negara Arab ini membuka gulungan peta itu. Ditatapnya lamat-lamat, matanya beredar ke sana kemari. Sambil menghela nafas, ia tak menemukan nama tempat yang dia cari: INDONESIA.
Indonesia? Di manakah negeri itu berada?Sambil menerawang peta, Azzam lagi-lagi menggelengkan kepalanya yang berbalut peci tarbus.Ia menyerah, bersandar di punggung kursinya. Di manakah negeri yang kabarnya baru merdeka?
Mengapa tak ada Indonesia dalam peta? Padahal beberapa masih ingat dalam benaknya, beberapa harian terkemuka dimesir memuat tentang kemerdekaan Indonesia.
Belum lagi, Mufti Palestina Syaikh Amin Al Husaini mengucapkan selamat kepada negeri nun di Timur sana. Masih ingat pula dalam benaknya, pengusaha kesohor Palestina M Ali Tahir menegaskan kepada para mahasiswa,” Saya serahkan seluruh harta saya untuk kemerdekaan Indonesia.”
Sejak saat itu, Azzam serius meminta laporan-laporan perkembangan Indonesia kepada para mahasiswa dan juga warga Arab yang simpati pada perjuangan Indonesia.
“Saya kumpulkan semua laporan yang masuk ke meja saya soal perang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ssekarang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta melawan Belanda.Saat itu jumlah penduduk Indonesia sekitar 70 juta jiwa,” kenang Azzam dalam Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.
Indonesia, yang saat itu masih berjuang dalam sunyi masih belum dikenal di kancah global terus menyuarakan suara minor di tengah dunia internasional. Saat dunia membisu menatap penjajahan di Indonesia, Azzam Pasya justru semakin mendekat ke negeri yang terpisah ribuan kilometer.
“Saya akui bahwa ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab pada 1945, saya tidak tahu banyak tentang Indonesia. Pengetahuan saya mengenai Indonesia sangat terbatas.Tidak lebih dari yang saya baca dari buku-buku atau koran-koran internas
Abdurrahman ‘Azzam Pasha.’ Sumber foto: http://www.museumwnf.org/league-of-arab-states/?page=LAS-previous-secretary-general.php&sgid=SG1945
Setelah membaca semua laporan yang masuk ke meja kerjanya mengenai perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, Azzam mulai memahami persoalan Indonesia dengan baik.
Hasil dari pengetahuannya mengenai Indonesia membuat Azzam terketuk hatinya untuk membantu perjuangan rakyat Indonesia dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Kini, Azzam mendekat ke peta, ia melihat negeri dengan beragam pulau, tapi tak ada nama Indonesia di sana. Juzur al Hindi al Hulandiyyah as Syarqiyyah tertera di sana: Kepulauan Hindia Belanda Timur. Sambil tersenyum simpul, ia bersumpah akan membantu saudaranya di seberang lautan sana.
Azzam pun bersua dengan para pejabat tinggi Mesir.Secara khusus, Azzam bertemu dengan Perdana Menteri Mesir yang juga Menteri Luar Negeri Mesir, Mahmud Fahmi Nokrasyi.
”Bagaimana pendapat Yang Mulia seandainya kita memberi dukungan atas perjuangan bangsa Indonesia?” kata Azzam.
“Yang Mulia, bangsa Indonesia adalah bangsa muslim yang sedang berjuang untuk merebut kemerdekaannya kembali dari tangan penjajah Belanda.
Menurut pendapat saya, kalau bangsa ini memperoleh dukungan dan bantuan sepenuhnya dari bangsa negeri-negeri Arab dan Islam, pasti sesudah merdeka mereka akan mempunyai pengaruh dan peranan dalam perimbangan kekuatan di dunia, menggantikan Jepang yang sudah menyerah kalah,” kata Azzam.
Tatapan matanya semakin mantap.Memang hanya impian, negeri itu kelak akan memiliki peranan penting. Harapan yang seolah tak masuk akal. Bagaimana mungkin, negeri yang tak diakui di mana pun kelak akan menjadi negeri yang berperan besar, khususnya untuk Islam dan kaum muslimin?
Tapi disitulah Azzam berharap. Negeri yang kini sendirian kelak tak lagi sendiri. Akan ada banyak saudara seperjuangan yang siap membantunya.
Perdana Menteri Nokrasyi tersenyum simpul.
“Tapi, Indonesia itu jauh letaknya. Indonesia berada di Timur Jauh dekat dengan Australia bukan?”
Dengan sorot mata yang tak berubah, Azzam meyakinkan.
“Yang Mulia, jarak antara kita dengan Indonesia bukan masalah.Menurut saya, Negara-negara Arab bisa menjalin hubungan yang erat dengan bangsa Indoensia yang mayoritas beragama Islam,” tegasnya.
“Jika kita memberikan bantuan kepada bangsa Indonesia dalam peperangan melawan Belanda, saya yakin mereka tidak akan lupa saat mereka merdeka nanti.Pastilah mereka akan mengingat kebaikan kita ini dan akan membantu perjuangan kita menghadapi tentara Inggris dan perjuangan membebaskan tanah Arab yang masih dalam pendudukan bangsa lain,” tegasnya.
Kedua orang itu saling menatap. Nokrasyi tak berkata apapun. Suasana mendadak hening. Sorot mata Abdurrahman mengatakan semuanya. Kelak, semoga Indonesia menjadi negeri yang tak melupakan sejarah, berjuang membebaskan bangsa lain yang masih terjajah.
“Saya yakin mereka tidak akan lupa saat mereka merdeka nanti. Pastilah mereka akan mengingat kebaikan kita ini membebaskan tanah Arab yang masih dalam pendudukan bangsa lain,”
Nokrasyi hanya berpesan agar diberikan data-data tentang Indonesia. Ia belum bisa menjanjikan apapun. Azzam pun tak berdiam diri, ia terus mendatangi pejabat-pejabat negara Arab. Secara khusus, Azzam pun mendatangi lingkungan Raja Mesir saat itu, Raja Faruq.
“Yang penting bagi saya, Raja setuju bahwa Mesir memberikan bantuan yang diperlukan oleh Indonesia.Setelah itu, saya akan menghubungi negara-negara Arab lainnya untuk memperoleh dukungan atas apa yang saya lakukan,” tegas Azzam.
Bak gayung bersambut, telepon tua di kantor Azzam pun berdering. Suara parau di balik sana sudah sangat dikenal Azzam. Ia terkaget-kaget rupanya Raja Mesir yang langsung menelepon dirinya.
“Apa yang paling diperlukan Indonesia?,” tanya Raja Faruq tanpa tedeng aling.
Selain pengakuan kedaulatan, jawab Azzam, yang paling dibutuhkan adalah senjata. Namun, jika ditambah dengan pengiriman sukarelawan dari negara-negara Arab, maka itu lebih baik.
Raja Faruk pun memberikan persetujuan.
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir.Adapun sukarelawan, dikirim dari negara-negara Arab,”tegas.
Tetiba saja mata Azzam berkaca-kaca. Ia tak tahu mengapa ia menangis. Padahal, Indonesia saja baru-baru ini dia dengar.
Melihatnya saja belum pernah. Menggenggam tanahnya apa lagi. Tapi entah mengapa, ada harapan yang terbesit begitu saja.
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir. Ada pun sukarelawan (berperang), dikirim dari negara-negara Arab,”
Rasa yang sulit diungkapkan.Seakan saudara yang sudah lama tak bersua. Seakan begitu dekat, dekat sekali, bahwa Arab dan Indonesia saling bertaut. Aneh memang, bahkan para pemimpinnya pun tak pernah saling bertatap, tapi mengapa seakan terasa sangat dekat.Dekat sekali.
Keseriusan Azzam berlanjut pada Sidang Liga Arab pertama, sepenggal Rabu dipenghujung 1945. Untuk pertama kali dalam sejarah, sepucuk surat dari panitia Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dibacakan di hadapan para pemimpin Arab.
Istana Qasr Za’faran menjadi saksi bahwa para negara Arab bertekad untuk membantu secara konkret kemerdekaan Indonesia. Pemimpin sidang yang saat itu Mahmud Fahmy Nokrasyi membacakan surat dari Indonesia pertama kali di hadapan para pemimpin Arab.
“Situasi di Indonesia semakin gawat. Sehubungan dengan digelarnya Sidang Liga Arab, kami menantikan dukungan konkret dari negara-negara Arab dan pengakuan terhadap Republik Indonesia yang merdeka. Kami juga mengharap Inggris tidak membantu Belanda dan tidak ikut campur urusan Indonesia.
Tertanda
Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia”
Ruangan terhentak sejenak. Isu kemerdekaan Indonesia sekejap menjadi Headline Negeri-negeri Arab. Abdurrahman Azzam tak perlu menunggu waktu lama. Segera ia menghubungi Pemerintah Inggris melalui kedutaannya di Kairo.
Ia meminta Inggris tidak membantu Belanda sehingga Inggris tidak dituduh oleh bangsa Islam dan Arab bersikap ta’ashshub (fanatik) dalam menentang kaum Muslim.
Azzam mengatakan kepada salah seorang diplomat Inggris di Kairo bahwa ia tidak akan ragu-ragu meminta negara-negara Arab untuk mengirim sukarelawan guna berjuang bersama para pejuang Indonesia.
Azzam pun segera mengumumkan jihad fisabilillah melawan Belanda dan siapa saja yang membantu Belanda. Setelah itu, Azzam menemui Raja Arab Saudi Abdul Aziz al-Saud ketika Raja itu berkunjung ke Mesir pada 16 Januari 1946.
“Yaa Thawiil al-‘Umri (Yang Mulia), di Timur Jauh ada bangsa muslim yang jumlahnya mencapai 70 juta jiwa. Mereka mengumumkan jihad melawan penjajah Belanda untuk meminta hak-haknya dan meminta hak-haknya dan meraih kemerdekaannya.” kata Azzam kepada pendiri Kerajaan Saudi ini.
Raja Saudi pertama ini meminta keterangan tambahan Azzam tentang perang kemerdekaan itu, lalu mengatakan:
“Ketahuilah, Ya Abdurrahman, bahwa saya dan negeri saya siap membantu bangsa Muslim itu!”
Azzam kemudian menjelaskan bahwa yang diminta bangsa Indonesia adalah senjata dan pengajuan masalah Indonesia ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Raja Aziz al-Saud lantas menegaskan, “Ya, Abdurrahman, apapun yang mereka minta, saya siap melakukannya.”
Pertemuan berakhir dengan kesepakatan bahwa pengiriman senjata menjadi tanggung jawab Mesir, sedangkan biaya pengangkutan senjata menjadi tanggung jawab Arab Saudi.
Setelah mendapat dukungan dari para Raja kerajaan Arab, Azzam pun bertekad untuk segera mengirimkan bantuan kepada Indonesia.Ditatapnya lamat-lamat peta di hadapanya. Ia tuliskan nama Indonesia.
“Harus..harus ada perwakilan liga Arab yang datang langsung ke Indonesia,” gumannya. Ia pun bertekad mengutus perwakilan bangsa Arab datang menyatakan dukungannya kepada Indonesia.Sebuah kado, kado istimewa untuk Indonesia dari bangsa Arab.
Kelak sejarah akan mencatat bagaimana perwakilan Liga Arab, M Abdul Mun’im menembus blokade, bertaruh nyawa, menyelusup ke negeri ini menyampaikan segenggam pesan sederhana: Negeri Ini Tidak Sendiri Bung!
Berbilang tahun, tak ada lagi kesendirian. Namanya tercetak gagah di peta-peta dunia. Tak sulit lagi menemukan Indonesia. Kado yang begitu istimewa dari Arab. Namun, berpuluh tahun kemudian, masih ada amanat yang belum tertunai.
Harapan Azzam akan negeri ini. Harapan akan perannya suatu saat kelak, membebaskan negeri-negeri terjajah. Negeri-negeri yang nun jauh di sana, yang mungkin masih berpeluh dalam kesendirian. Semakin tergerus waktu, namanya bahkan dari peta dunia menghilang berganti nama lain.
Sejarah seakan berulang. Akankan negeri ini mengingat ketika masih dalam kesendirian? Ketika satu persatu tangan terulur lembut.
Hari ini, kita menyaksikan berkumpulnya para pemimpin dunia Islam dalam KTT Luar Biasa OKI di negeri ini. Negeri yang dulu bahkan tak ada namanya dalam peta.Negeri yang dulu berjuang dalam sunyi.
Akankah ada kado istimewa untuk Palestina? Atau mereka lupa dengan para pendahulunya?
“Seluruh senjata biar dikirim dari Mesir.Ada pun sukarelawan (berperang), dikirim dari negara-negara Arab,” tegas Raja Faruq.
Biar sejarah yang akan mencatatnya…
Bersambung…(TSA)
Oleh: Rizki Lesus – Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Tulisan ini hanyalah cerita pendek yang dihimpun dari data-data tercecer yang dapat dipertanggungjawabkan:
Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, M Zein Hassan
Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.Tim Kedubes Indonesia untuk Mesir, ed. AM Fachir
loading...
Post a Comment