www.MediaIslam.Org - Seperti tidak berkesudahan, drama hilirisasi versus relaksasi hasil pengolahan pertambangan mineral di dalam negeri terus berlangsung sampai saat ini. Tercatat sudah dua kali di tanggal yang sama, yaitu 12 Januari, Pemerintah dibuat gaduh oleh pelaksanaan kebijakan hilirisasi mineral. Pertama, pada 12 Januari 2014 dan kedua pada 12 Januari 2017 yang keduanya bermula dari kegagalaan implementasi regulasi.
Ada apa dan mengapa kebijakan ini tidak dapat diimplementasikan?
Begitu lemahkan negara ini sehingga tidak mampu menjalankan kebijakan pengolahan dan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri yang notabene-nya merupakan kewajiban perusahaan pertambangan? Apakah Pemerintah tersandera berbagai kepentingan asing yang merongrong kebijakan hilirisasi?
Baca Juga: Besok, Pemerintah Putuskan Relaksasi Ekspor Mineral Freeport
Atau jangan-jangan para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan pun memainkan peran ganda sebagai agen Pemerintah sekaligus agen korporasi yang tidak pro kepentingan nasional?
Seakan begitu banyak masalah, mulai dari masalah law making process, masalah implementasi, sampai dengan masalah kapasitas moral para pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan, dan sasaran kebijakan.
Seolah tidak belajar dari pengalaman, kegaduhan menjelang 12 Januari 2017 pun semakin ramai, semakin banyak dramanya. Sehingga kepentingan rakyat yang lebih besar mengenai sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bukan sebesar-besar kemakmuran kapitalis asing, seolah tidak terpikirikan, hanya ilusi, dan seolah dikesampingkan.
Sumber Gaduh
Kegaduhan ini bermula dari pengaturan yang sangat revolusioner dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Ketentuan-ketentuan terkait kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian mineral di dalam negeri, meliputi, pertama Pasal 102 dan Pasal 103 yang intinya mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
UU Nomor 4 Tahun 2009 mewajibkan seluruh pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi melakukan peningkatan
nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. (CNN Indonesia)
Konsistensi Kebijakan Hilirisasi Mineral yang Tidak KonsistenUU Nomor 4 Tahun 2009 mewajibkan seluruh pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi melakukan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. (CNN Indonesia/Elisa Valenta Sari)
Kedua, Pasal 170 UU Minerba yang mengatur bahwa pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba ini diundangkan pada 12 Januari 2014.
Ketiga, Pasal 112 huruf a dan c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang mengatur Kuasa pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat, yang diberikan sebelum ditetapkannya PP Nomor 23 Tahun 2010 tetap diberlakukan.
Baca Juga: Pemerintah Fasilitasi Freeport Agar Tetap Mau Berinvestasi
Sampai jangka waktu berakhir serta wajib disesuaikan menjadi IUP dan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat lima tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Keempat, Pasal 112C PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur (1) Pemegang kontrak karya wajib melakukan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (2) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 4 huruf a PP No. 23 Tahun 2010 (IUP hasil penyesuaian Kuasa pertambangan dan surat izin pertambangan daerah) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (3) Pemegang kontrak karya yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu; (4) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu; (5) Ketentuan lebih lanjut Mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian serta batasan minimum pengolahan dan pemurnian diatur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan ketentuan di atas, hampir delapan tahun pemegang KK dan IUP/IUPK diberi waktu untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, tentunya dengan membangun smelter baik sendiri maupun bekerja sama.
Freeport Indonesia dan Amman Mineral Nusa Tenggara sampai saat ini tidak melaksanakan kewajiban pembangunan smelter ini. (Dok. Freeport)
Konsistensi Kebijakan Hilirisasi Mineral yang Tidak KonsistenFreeport Indonesia dan Amman Mineral Nusa Tenggara sampai saat ini tidak melaksanakan kewajiban pembangunan smelter ini. (Dok. Freeport)
Namun, faktanya saat ini, perusahaan besar seperti PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (dulu PT Newmont Nusa Tenggara) pun tidak melaksanakan kewajiban pembangunan smelter ini.
Bahkan bila ingin lebih panjang durasi pemberian waktu, maka sesungguhnya dalam Kontrak Karya PT Freeport (KK perpanjangan 1991) telah ada kewajiban pembangunan smelter dan ketentuan mengenai bahwa Freeport akan mematuhi aturan hukum Indonesia dari tahun ke tahun.
Selain alasan inkonsistensi pelaksanaan UU Minerba, kegaduhan ini juga disumbangsih oleh ketidakjelasan pembinaan dan pengawasan, ketidakjelasan proses renegosiasi kontrak pertambangan, standar ganda kebijakan pemberian izin ekspor mineral. Ketidakjelasan pembinaan dan pengawasan memiliki porsi yang besar bagi mandegnya kebijakan hilirisasi. Sejatinya perusahaan tambang diberi sanksi sekaligus berbagai kemudahan agar smelter terbangun.
Masalah utama pembangunan smelter antara lain pasokan energi, sehingga Pemerintah perlu memberikan insentif agar pelaku usaha mendapat pasokan energi.
Belum lagi masalah perizinan smelter yang panjang, misalnya selain terdapat izin usaha pertambangan khusus pengolahan dan pemurnian, perusahaan pertambangan juga harus mengurus izin usaha industri dari Kementerian Perindustrian.
Kembali ke UUD 1945 atau Berkhianat?
Secara filosofis dan yuridis-formal, pemberian izin ekspor hasil pengolahan mineral pasca 2014 merupakan bentuk ketidakpatuhan pada UUD 1945 yang telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 10/PUU-VII/2014 yang menyatakan bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dalam UU Minerba merupakan kewajiban konstitusional karena telah sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Artinya, segala bentuk pemberian izin ekspor mineral hasil pengolahan yang belum dimurnikan di dalam negeri, merupakan bentuk kehendak Konstitusi (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945) dan kehendak rakyat (UU Minerba).
Bila Pemerintah, pada 12 Januari 2017 akan menerbitkan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri ESDM yang isinya memberi kesempatan ekspor hasil pengolahan mineral yang belum dimurnikan di dalam negeri maka ini bentuk pengingkaran kepada Konstitusi dan UU Minerba.
Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Presiden Jokowi dinilai berpotensi mengingkari ketentuan UU Pertambangan Minerba jika salah menerbitkan kebijakan hilirisasi mineral. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Konsistensi Kebijakan Hilirisasi Mineral yang Tidak KonsistenMenteri ESDM Ignasius Jonan dan Presiden Jokowi dinilai berpotensi mengingkari ketentuan UU Pertambangan Minerba jika salah menerbitkan kebijakan hilirisasi mineral. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Selain itu, berdasarkan Siaran Pers Nomor 00005.Pers/04/SJI/2017 tanggal 10 Januari 2017, bahwa salah satu materi Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri ESDM adalah perubahan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Perubahan ini perlu hati-hati mengingat UU Minerba telah mengatur secara ketat, tegas, dan jelas bahwa IUPK merupakan perizinan yang berasal dari kewilayahan khusus yaitu Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang ditetapkan atas persetujuan DPR RI yang apabila ingin diusahakan maka WPN diubah menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), selanjutnya berganti menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), dan atas WIUPK itu harus ditawarkan ke BUMN terlebih dahulu baru kemudian apabila BUMN tidak berminta maka baru ditawarkan kepada swasta dengan cara lelang.
Jika berhasil mendapat IUPK maka Freeport sekaligus mendapat perpanjangan masa operasi produksinya.
(Dok.Freeport)
Artinya ketika KK langsung mendapat IUPK, tentu potensi menyimpangi UU Minerba sangat besar. Jangan sampai seolah-olah demi memberi berbagai kemudahan kepada pelaku usaha, misalnya Freeport Indonesia yang KK-nya menjadi IUPK sehingga harusnya KK Freeport berakhir 2021 dengan mendapat IUPK maka Freeport diperpanjang operasi produksinya. Maka Pemerintah menabrak berbagai regulasi karena jelas ini mempertontonkan kepada rakyat bahwa negara Republik Indonesia yang sangat besar ini terlalu mudah tunduk pada kepentingan asing yang sesungguhnya belum tentu memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Konsistensi Kebijakan Hilirisasi Mineral yang Tidak KonsistenJika berhasil mendapat IUPK maka Freeport sekaligus mendapat perpanjangan masa operasi produksinya. (Dok. Freeport)
Akhirnya, 12 Januari 2017 nanti, Pemerintah akan memperlihatkan kepada rakyatnya bagaimana supremasi hukum (Pasal 33 UUD 1945 dan UU Minerba) dan kepentingan sebesar-besar rakyat dibela. (ibnu)
Sumber:cnn
loading...
Post a Comment