BIOGRAFI- Tiga Belas tahun silam, sebelum bencana besar gempa bumi dan gelombang Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004.
Waliyullah Almarhum Abu Ibrahim Woyla mengabarkan kepada muridnya yang bernama Mukhlis perihal akan datangnya bencana besar itu.
Namun, hanya kepada dua muridnya yang kerap mengikutinya ia beritahukan dan ia melarang memberitahukan kepada orang lain. Hanya saja Mukhlis diperintahkan untuk segera mengajak keluarganya menjauhi bibir pantai.
Mukhlis, pria yang sudah berkepala tiga yang kini sering bermukim di Dayah Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa Dayah Baro, Calang, menceritakan kembali keseharian Abu sebelum Tsunami meluluh lantakkan Aceh.
Abu tidak seperti hari-hari sebelumnya, ia sudah jarang makan dan terlihat gusar. Pernah suatu waktu Mukhlis dipanggil oleh Abu untuk memberitahukan perihal bencana besar. Saat itu, Mukhlis masih menuntut ilmu di Dayah Peulanteu, Aceh Barat.
“Rayeuk that buet uke nyoe, siberangkaso yang buka rahasia Allah maka kafee lah jih kafee (besar sekali kerja ke depan, dan siapa saja yang membuka rahasia Allah maka dia kafir),” begitu kata Mukhlis menirukan ucapan Abu Ibrahim kepadanya.
Mukhlis juga mendengar hal yang sama dari Abu Usman yang masih ada hubungan dekat dengan Abu Ibrahim Woyla. Bahkan kepada orang tuanya sendiri Mukhlis tidak memberitahukan apa yang sudah ia ketahui.
“Di lapangan Blang Bintang kapai akan jipoe uroe malam, di laot Ulee Lheuh (tidak disebut Ulee Lheue) akan na kapai laot ubee lapangan bola, dalam kapai nyan ureung puteh-puteh; (di Bandara Blang Bintang pesawat akan terbang siang malam, di laut Ulee Lhee akan ada kapal laut sebesar lapangan bola, di dalamnya orang putih-putih),” ucap Mukhlis lagi mengutip perkataan Abu Usman.
Kata Mukhlis, sejak kata-kata tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim, keseharian Abu seperti berubah, bahkan jika sedang tidur malam hari, sering Abu tiba-tiba terbangun dan langsung duduk berzikir. Melihat ini, perasaan Mukhlis pun semakin cemas, dalam hatinya ia merasa kalau peristiwa besar sudah semakin dekat.
“Lon kalon dari sikap Abu, lon na firasat sang ata yang geupeugah le Abu ka to that (Saya lihat sikap Abu, saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan Abu sudah sangat dekat),”
jelas Mukhlis. Entah apa yang terpikirkan oleh Abu, empat hari sebelum gempa bumi dan Tsunami di Aceh, Abu Ibrahim mengajak Mukhlis ke Banda Aceh. Dengan mobil pinjaman, Mukhlis menyupiri Abu hingga ke Banda Aceh. Di Banda Aceh, mereka menginap di salah satu rumah di kawasan Blower.
“Na geulakee le po rumoh beu geuteem eh Abu meusimalam bak rumoh gob nyan (ada permintaan dari yang punya rumah agar Abu Ibrahim berkenan bermalam semalam saja di rumahnya),”
kata Mukhlis. Mukhlis menambahkan, saat di sana, sewaktu makan pun Abu tidak makan lagi, Abu mengepal nasinya menjadi tiga bagian, setelah Abu makan sedikit satu bagian dari kepalan nasinya, kemudian seluruhnya Abu berikan kepadanya untuk dimakan.
Pada esoknya, Kamis pagi 23 Desember 2006, Abu berkata kepada Mukhlis jika ia ingin jalan- jalan keliling Kota Banda Aceh. Tanpa membantah, dengan mobil pinjamannya Mukhlis pun membawa Abu jalan-jalan.
Setelah sarapan alakadarnya di warung samping Simbun Sibreh (deretan Satnarkoba Polda Aceh), lalu Abu meminta Mukhlis untuk membawanya ke kawasan Peulanggahan. Tiba di depan mesjid Tgk Di Anjong, Abu minta mobil dihentikan di luar pagar mesjid.
“Abu geu ngeing u arah makam Tgk Di Anjong, sang-sang Abu teungoh geupeugah haba, kadang Abu teukhem keudroe (Abu menatap ke arah makam Tgk Di Anjong, seolah-olah Abu berbicara, sesekali Abu tersenyum sendiri- red),” jelas Mukhlis saat dijumpai AtjehLINK di Dayah Pulo Ie yang sedang dalam pembangunan.
Mukhlis mengetahui persis garis keturunan Abu Ibrahim Woyla. Awalnya garis ke atas keturunan Abu Ibrahim Woyla yang berasal dari,Negeri Baghdad berjumlah tujuh orang datang ke Tanah Aceh, persisnya berlabuh di Aceh Barat.
Kemudian, ketujuhnya berpisah ke beberapa daerah di Aceh dan di luar Aceh untuk menyebarkan agama Islam.(Red/AtjehLINK)
loading...
Post a Comment