Biografi Nusantara - Teater bukan sekadar ajang belajar seni peran untuk pertunjukan di panggung. Bagi Aan Sugianto Mas (58), teater adalah juga tempat anak-anak muda mempersiapkan diri pentas di panggung kehidupan nyata. Semangat itulah yang ia kembangkan melalui Teater Sado di Kuningan, Jawa Barat.
Aan yang sehari-hari bekerja sebagai dosen Universitas Kuningan di kaki Gunung Ciremai, Jawa Barat, mendirikan Teater Sado pada tahun 1997. Awalnya, ini merupakan teater kampus. Belakangan, kelompok itu berubah menjadi arena pertemuan kreatif di bidang apa saja.
”Kami berkumpul di sini dan melakukan aktivitas sesuai potensi masing-masing,” ujar Aan di sanggarnya di kawasan Sawah Waru, Kuningan, awal September lalu. Sanggar yang juga merupakan rumah keluarga Aan itu kini dipenuhi berbagai barang seni, mulai dari lukisan hingga kerajinan tangan.
Aan berpikir, membangun teater intinya adalah membangun kerja sama demi kehidupan. Ia tidak menarik bayaran sepeser pun dari ratusan remaja yang datang silih berganti ke sanggar Sado. Aan juga tidak membuka pendaftaran untuk menjadi anggota sanggar. Mereka datang secara sukarela. Sebagian menginap karena datang dari jauh.
Di halaman rumah yang dikemas seperti pedepokan itu, setiap hari berkumpul banyak orang muda kreatif yang memiliki beragam bakat. Mereka mengekspresikan potensinya untuk menghasilkan produk yang bisa dijadikan komoditas ekonomi. Aan menyadari betul bahwa kegiatan kesenian tidak bisa menopang kehidupan.
”Di sini, mereka belajar untuk menapaki kehidupan yang sesungguhnya,” kata Wawan Hermawan (60), seorang pencinta seni di Kuningan.
Aan mengamati potensi anak-anak yang mengunjungi sanggarnya. Lalu, ia menyediakan fasilitasnya. ”Ada yang pandai melukis, saya sediakan kanvasnya. Ada yang belajar fotografi dan kerajinan tangan. Setelah selesai belajar, mereka bisa pergi,” ujarnya.
Anak-anak yang datang silih berganti sama sekali tidak merugikan Sado. Ini malah menguntungkan karena talenta-talenta yang berkembang di kelompok bisa menyebar. Banyak di antara mereka yang akhirnya menjadi guru dan menularkan kreativitas kepada murid-muridnya.
Petualang
Semula, Aan tidak bercita-cita menjadi pendidik. Lepas dari SMA di Kuningan tahun 1976, ia malah bertualang ke sejumlah kota, mulai dari Bandung, Bogor, Sukabumi, hingga Ponorogo, Kediri, dan Surabaya di Jawa Timur. Tujuannya bermain-main saja, dan kalau mungkin, melanjutkan kuliah.
Di persinggahan-persinggahan itu, dia malah bergerombol dengan para penekun seni. Maka, tenggelamlah ia dalam kubangan kegiatan yang dianggap kebanyakan orang ”tidak masuk akal” itu.
Setelah beberapa tahun kuliah di jurusan teknik mesin sebuah universitas di Surabaya, ia pergi dan masuk Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Tahun 1985, ia menamatkan pendidikannya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan di Kuningan sebagai dosen di Sekolah Tinggi Kependidikan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Kuningan). Karena mengajar teater, ia merasa perlu ada sanggar teater di daerah itu. Kebetulan, saat itu, kelompok Studi Klub Teater Mandala yang dibangun oleh Wawan Hermawan sedang redup karena ditinggalkan anggotanya.
Untuk mengisi kekosongan, Aan mendirikan Teater Sado untuk mahasiswa. Sado diambil dari nama angkutan khas Kuningan yang ditarik oleh kuda, yakni sejenis andong.
Awalnya, Sado murni sebagai teater kampus. Kemudian, karena ada pemikiran bahwa daerah itu harus memiliki tempat berkumpul yang lebih terbuka, pada awal l998, Sado dikembangkan menjadi kelompok teater luar kampus.
Sebagai teater, Sado menjadi ruang penjelajahan ragam karakter manusia yang kemudian diterjemahkan dalam seni peran. Proses pemikiran, penghayatan, reaksi, dialog, dan simbiosis mesra antarmanusia lebih diutamakan ketimbang pementasan. Pegiat grup seni ini menyadari sepenuhnya bahwa teater adalah bentuk ekspresi kerja kolektif yang menuntut disiplin tinggi.
Dengan begitu, apa yang dilakukan di Sado mengandung nilai edukasi bagi pembentukan mental dan budaya kerja. Kerja teater membutuhkan proses panjang, mulai dari pengorganisasian, manajemen artistik, hingga produksinya, di samping kegiatan latihan yang tidak bisa dibilang sederhana. Aspek teatrikal mampu mengartikulasikan nilai filosofis yang kaya perenungan tentang problem kehidupan secara artistik.
Pada perkembangan berikutnya, Sado mengalir ke wilayah yang lebih majemuk, menyesuaikan dengan beragam minat para penghuninya.
Industri kreatif
Komunitas Sado tidak berhenti di pementasan sebagai arena asah kreativitasnya. Kelompok ini juga beranjak ke pergulatan seni lain, seperti lukis, pahat, musik, kerajinan, dekorasi, desain interior, taman, patung, jurnalistik fotografi dan videografi, bahkan konfeksi.
”Dengan sadar, Sado masuk ke wilayah industri kreatif melalui berbagai wujud,” kata Aan. Penyadaran ini perlu ditanamkan agar pegiat Sado pantang terpuruk saat berada di panggung kehidupan nyata. Tentu saja, semua ini tak lepas dari napas artistik, kerja sama, disiplin, dan manajemen teater sebagai dasar pijaknya.
Di basis teaternya, selain Jakarta dan Tangerang, Sado sering mentas di Bandung dan Yogyakarta untuk menjalin silaturahim dengan kelompok-kelompok lain. Pernah dalam dua minggu, sanggar ini mementaskan 23 pertunjukan dan disaksikan oleh sekitar 9.000 penonton. Ini prestasi penting bagi satu kelompok teater yang tumbuh di kaki Gunung Ciremai.
Tahun 2015, misalnya, Komunitas Sado mendapat permintaan pemotretan kota Jakarta lama hingga batas-batasnya dari Belanda. Kemudian, kontrak membuat buku Jakarta Benderang atau Out of Batavia. Program dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta itu dikerjakan para fotografer dan penulis anggota Sado. Lewat kreativitasnya, komunitas ini juga menjuarai Jakarnaval 2015.
Pada 1 September 2016, Kuningan yang mengklaim sebagai kabupaten konservasi memperingati ulang tahun ke-518. Dalam pawai karnaval, Sado menampilkan patung sampah sebagai peringatan terhadap kebiasaan buruk warga memperlakukan sampah. Para anggotanya menggunakan kaus seragam hitam yang bertuliskan ”Kalau tidak bener memperlakukan sampah, jangan-jangan kalian juga sampah”.
Ekspresi itu dilontarkan sebagai ungkapan keprihatinan sekaligus kejengkelan terhadap sikap dan kebiasaan orang-orang membuang sampah. Kepedulian penghuni Sado terhadap lingkungan juga sering diungkapkan dalam dialog-dialog, baik dialog dalam pementasan teater maupun diskusi-diskusi tentang lingkungan.
”Tugas kita memang tidak sampai bisa membersihkan sampah di jalanan, tetapi minimal kita menyuarakan bahwa kita sangat risi terhadap kondisi persampahan,” ujar Aan.
Ungkapan yang dilontarkannya memang tidak galak, tidak demonstratif. Namun, komunitas Sado sudah memperlihatkan sikapnya yang kritis demi membangun kehidupan yang lebih baik dan manusiawi.(Kompas)
Aan yang sehari-hari bekerja sebagai dosen Universitas Kuningan di kaki Gunung Ciremai, Jawa Barat, mendirikan Teater Sado pada tahun 1997. Awalnya, ini merupakan teater kampus. Belakangan, kelompok itu berubah menjadi arena pertemuan kreatif di bidang apa saja.
”Kami berkumpul di sini dan melakukan aktivitas sesuai potensi masing-masing,” ujar Aan di sanggarnya di kawasan Sawah Waru, Kuningan, awal September lalu. Sanggar yang juga merupakan rumah keluarga Aan itu kini dipenuhi berbagai barang seni, mulai dari lukisan hingga kerajinan tangan.
Aan berpikir, membangun teater intinya adalah membangun kerja sama demi kehidupan. Ia tidak menarik bayaran sepeser pun dari ratusan remaja yang datang silih berganti ke sanggar Sado. Aan juga tidak membuka pendaftaran untuk menjadi anggota sanggar. Mereka datang secara sukarela. Sebagian menginap karena datang dari jauh.
Di halaman rumah yang dikemas seperti pedepokan itu, setiap hari berkumpul banyak orang muda kreatif yang memiliki beragam bakat. Mereka mengekspresikan potensinya untuk menghasilkan produk yang bisa dijadikan komoditas ekonomi. Aan menyadari betul bahwa kegiatan kesenian tidak bisa menopang kehidupan.
”Di sini, mereka belajar untuk menapaki kehidupan yang sesungguhnya,” kata Wawan Hermawan (60), seorang pencinta seni di Kuningan.
Aan mengamati potensi anak-anak yang mengunjungi sanggarnya. Lalu, ia menyediakan fasilitasnya. ”Ada yang pandai melukis, saya sediakan kanvasnya. Ada yang belajar fotografi dan kerajinan tangan. Setelah selesai belajar, mereka bisa pergi,” ujarnya.
Anak-anak yang datang silih berganti sama sekali tidak merugikan Sado. Ini malah menguntungkan karena talenta-talenta yang berkembang di kelompok bisa menyebar. Banyak di antara mereka yang akhirnya menjadi guru dan menularkan kreativitas kepada murid-muridnya.
Petualang
Semula, Aan tidak bercita-cita menjadi pendidik. Lepas dari SMA di Kuningan tahun 1976, ia malah bertualang ke sejumlah kota, mulai dari Bandung, Bogor, Sukabumi, hingga Ponorogo, Kediri, dan Surabaya di Jawa Timur. Tujuannya bermain-main saja, dan kalau mungkin, melanjutkan kuliah.
Di persinggahan-persinggahan itu, dia malah bergerombol dengan para penekun seni. Maka, tenggelamlah ia dalam kubangan kegiatan yang dianggap kebanyakan orang ”tidak masuk akal” itu.
Setelah beberapa tahun kuliah di jurusan teknik mesin sebuah universitas di Surabaya, ia pergi dan masuk Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Tahun 1985, ia menamatkan pendidikannya di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan ditempatkan di Kuningan sebagai dosen di Sekolah Tinggi Kependidikan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Kuningan). Karena mengajar teater, ia merasa perlu ada sanggar teater di daerah itu. Kebetulan, saat itu, kelompok Studi Klub Teater Mandala yang dibangun oleh Wawan Hermawan sedang redup karena ditinggalkan anggotanya.
Untuk mengisi kekosongan, Aan mendirikan Teater Sado untuk mahasiswa. Sado diambil dari nama angkutan khas Kuningan yang ditarik oleh kuda, yakni sejenis andong.
Awalnya, Sado murni sebagai teater kampus. Kemudian, karena ada pemikiran bahwa daerah itu harus memiliki tempat berkumpul yang lebih terbuka, pada awal l998, Sado dikembangkan menjadi kelompok teater luar kampus.
Sebagai teater, Sado menjadi ruang penjelajahan ragam karakter manusia yang kemudian diterjemahkan dalam seni peran. Proses pemikiran, penghayatan, reaksi, dialog, dan simbiosis mesra antarmanusia lebih diutamakan ketimbang pementasan. Pegiat grup seni ini menyadari sepenuhnya bahwa teater adalah bentuk ekspresi kerja kolektif yang menuntut disiplin tinggi.
Dengan begitu, apa yang dilakukan di Sado mengandung nilai edukasi bagi pembentukan mental dan budaya kerja. Kerja teater membutuhkan proses panjang, mulai dari pengorganisasian, manajemen artistik, hingga produksinya, di samping kegiatan latihan yang tidak bisa dibilang sederhana. Aspek teatrikal mampu mengartikulasikan nilai filosofis yang kaya perenungan tentang problem kehidupan secara artistik.
Pada perkembangan berikutnya, Sado mengalir ke wilayah yang lebih majemuk, menyesuaikan dengan beragam minat para penghuninya.
Industri kreatif
Komunitas Sado tidak berhenti di pementasan sebagai arena asah kreativitasnya. Kelompok ini juga beranjak ke pergulatan seni lain, seperti lukis, pahat, musik, kerajinan, dekorasi, desain interior, taman, patung, jurnalistik fotografi dan videografi, bahkan konfeksi.
”Dengan sadar, Sado masuk ke wilayah industri kreatif melalui berbagai wujud,” kata Aan. Penyadaran ini perlu ditanamkan agar pegiat Sado pantang terpuruk saat berada di panggung kehidupan nyata. Tentu saja, semua ini tak lepas dari napas artistik, kerja sama, disiplin, dan manajemen teater sebagai dasar pijaknya.
Di basis teaternya, selain Jakarta dan Tangerang, Sado sering mentas di Bandung dan Yogyakarta untuk menjalin silaturahim dengan kelompok-kelompok lain. Pernah dalam dua minggu, sanggar ini mementaskan 23 pertunjukan dan disaksikan oleh sekitar 9.000 penonton. Ini prestasi penting bagi satu kelompok teater yang tumbuh di kaki Gunung Ciremai.
Tahun 2015, misalnya, Komunitas Sado mendapat permintaan pemotretan kota Jakarta lama hingga batas-batasnya dari Belanda. Kemudian, kontrak membuat buku Jakarta Benderang atau Out of Batavia. Program dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta itu dikerjakan para fotografer dan penulis anggota Sado. Lewat kreativitasnya, komunitas ini juga menjuarai Jakarnaval 2015.
Pada 1 September 2016, Kuningan yang mengklaim sebagai kabupaten konservasi memperingati ulang tahun ke-518. Dalam pawai karnaval, Sado menampilkan patung sampah sebagai peringatan terhadap kebiasaan buruk warga memperlakukan sampah. Para anggotanya menggunakan kaus seragam hitam yang bertuliskan ”Kalau tidak bener memperlakukan sampah, jangan-jangan kalian juga sampah”.
Ekspresi itu dilontarkan sebagai ungkapan keprihatinan sekaligus kejengkelan terhadap sikap dan kebiasaan orang-orang membuang sampah. Kepedulian penghuni Sado terhadap lingkungan juga sering diungkapkan dalam dialog-dialog, baik dialog dalam pementasan teater maupun diskusi-diskusi tentang lingkungan.
”Tugas kita memang tidak sampai bisa membersihkan sampah di jalanan, tetapi minimal kita menyuarakan bahwa kita sangat risi terhadap kondisi persampahan,” ujar Aan.
Ungkapan yang dilontarkannya memang tidak galak, tidak demonstratif. Namun, komunitas Sado sudah memperlihatkan sikapnya yang kritis demi membangun kehidupan yang lebih baik dan manusiawi.(Kompas)
loading...
Post a Comment