T. Saladin: “Kalau ingat masa itu, ingin menangis rasanya,”
Kombes Pol Teuku Saladin SH |
BIONUSAN- Berbagai penghargaan dan prestasi telah di dapatkannya,salahsatu yang terbaik adalah Aktifnya bidang Kehumasan Polda Aceh serta berdirinya Tribrata TV tidak terlepas dari peran Kombes Pol. Teuku Saladin SH yang kala itu menjabat Kabid Humas Polda Aceh.
Bukan itu saja, T. Saladin juga mendapat penghargaan dari Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti sebagai salahsatu Kabid Humas Polda Terbaik di Indonesia.
Siapa sih yang tidak kenal dengan sosok Teuku Saladin SH Kapolresta Banda Aceh yang juga mantan Kabid Humas Polda Aceh.
Disamping pernah menjabat Kapolres Bireun,T. Saladin adalah adik kandung Teuku Syafruddin Guliansyah mantan Kapolwil Surakarta salah satu tokoh dalam Korp Brimob Indonesia.
Beliau juga merupakan salah satu anggota Keluarga Besar " Teuku Muda Nyak Peusangan" yakni salahsatu silsilah keluarga yang memiliki anggota keluarga terbesar di Kabupaten Bireun.
Saladin lahir di Desa Punge, Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh, 10 Agustus 1963. Ayahnya bernama Teuku A Rahman Ali, ibunya Cut Kamariah. Saladin merupakan anak ke-10 dari 13 bersaudara, terdiri dari lima laki-laki dan delapan perempuan.
Yang laki-laki, T Burhanuddin yang tertua, T Syarifuddin, T.S Guliansyah, Saladin sendiri dan adiknya T Oktiffaruddin. Yang perempuan, Cut Iriani, Cut Rimba Wati, Cut Rohana, Cut Irawati, Cut Farida, Cut Erlina (kakaknya) dan adiknya Cut Tintin serta terakhir Cut Fatimah Zuhra.
Penghargaan dari kapolri saat menjabat kabid humas polda aceh |
“Keluarga saya kaya saudara, bukan harta,” ujar Alumnus Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang tersebut.
Lantaran saudaranya banyak yang perempuan, sejak pindah ke Desa Pelanggahan, ayahnya mengajurkan mereka belajar beladiri karate, terutama untuk kakak dan adik perempuannya.
Ayah Saladin merupakan pegawai negeri sipil (PNS) yang berkarir di LLAJR (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya) Banda Aceh. Sebelum dinas di instansi di bawah Dinas Perhubungan itu, ayahnya adalah seorang tentara. Lantaran ribut dengan komandannya, lalu keluar dari dinas militer.
“Bapak saya sangat disiplin dan keras,” kata Saladin.
Saladin sejak kecil sudah terbiasa mandiri. Tak seperti kebanyakan anak-anak lainnya, dia sudah membantu meringankan nafkah keluarganya sejak duduk di kelas 1 sekolah dasar. Lantaran ekonomi keluarganya yang pas-pasan, kedua orangtuanya tak melarang anaknya nyambi cari uang.
“Sepulang sekolah saya bisa bekerja, ya cukuplah untuk uang jajan,” ujarnya mengenang.
Menginjak kelas 2 SD, saat berusia 9 tahun, keluarga Saladin pindah ke Desa Pelanggahan, masih di kota yang sama. Ia pun terpaksa pindah sekolah ke SD Negeri 17. Saat itu keadaan ekonomi keluarganya lagi sulit-sulitnya. Ini gara-gara ayahnya ribut dengan pimpinannya di kantor. Akibatnya, selama setahun ayahnya tidak mendapatkan gaji.
“Beliau masuk kerja setiap hari, tapi tak pernah menerima gaji,” ujar Saladin.
Tanpa pemasukan, hidup keluarganya menjadi sangat sulit. Mereka terpaksa makan dengan menu harian, pisang wak dan kangkung. Saladin kecil pun berbagi tugas dengan saudara-saudaranya untuk membantu meringankan beban kedua orangtuanya.
“Kakak-kakak perempuan saya bergantian bertugas cari on rumpun (kangkung). Sekali ambil terkadang sampai satu keranjang besar,” kata Saladin sambil tertawa. Kangkung diambil dari pinggir-pinggir sawah atau kolam.
T. Saladin saat menjabat kabid humas polda aceh |
Jumlah sekeranjang itu bisa untuk keperluan masak beberapa hari, saladin sendiri disuruh mencari ikan di tambak yang ada di belakang rumah.
Tambak milik orang itu biasa setiap pagi panen (plah neuhen), jadi ikan-ikan sisa yang tak dijual dan tercecer di tambak diambilnya untuk dibawa pulang sebagai lauk makan keluarganya. “Kalau ingat masa itu, ingin menangis rasanya,” ujar Saladin dengan suara bergetar.
Setahun kemudian, setelah melewati masa yang sangat sulit, ayahnya pindah tugas ke Cunda, Lhokseumawe. Saat itu, Saladin yang duduk di kelas 2 SD pun terpaksa pindah sekolah. Beruntung, sang ayah sudah kembali menerima gaji yang menjadi haknya. Masa sulit pun berlalu.
Tapi, lantaran sudah terbiasa mandiri, sepulang sekolah, Saladin tetap nyambi cari uang. Aktivitasnya justru tambah banyak. Mulai dari menjual jagung bakar sampai menjadi pelayan di Restoran Sawang Keupula. Terkadang dia juga ikut jadi tukang catut tiket Bioskop Taman Ria, Lhokseumawe.
Tinggal Bersama Sang Abang T.S. Guliansyah
Sekitar tahun 1974, saat Saladin masih duduk kelas 4 SD, dia diajak abangnya yang polisi pindah ke Jambi. Sang abang, TS Guliansyah, ketika itu menjabat Kapolsek Muara Bungo. Segala kebutuhan hidupnya, termasuk biaya sekolah, dipenuhi oleh abangnya. Tapi, tanpa sepengetahuan sang abang, kebiasaan Saladin untuk nyambi cari uang pun tetap dilakukan.
“Pulang sekolah saya bekerja di warung milik orang China. Ya, cukuplah untuk jajan sehari-hari,” ujarnya sambil tertawa.
Teuku Syafrudin Guliansyah lulusan adalah Akabri Kepolisian angkatan 73. Ia antara lain pernah menjabat Kapolwil Surakarta, Kepala Komando Operasi Hukum Polda NAD, Direktur Pusat Pengembangan Iptek Kepolisian PTIK, Kepala Biro Peralatan Deputi Logistik Kapolri dan Irpolda Aceh.
Tahun 1977, saat Saladin menginjak kelas 1 SMP, mereka pindah ke Palembang. Sebab, abangnya dimutasi menjadi Kanit Resmob Polda Sumatera Selatan. Saladin tetap saja dengan rutinitasnya. “Saya sering bantu teman jual empek-empek (makanan khas Palembang) untuk jajan sekolah,” ujarnya.
Setahun di Palembang, saat kelas 2 SMP, Saladin harus kembali ke Aceh. Sebab, abangnya, Guliansyah, lulus PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) di Jakarta. Lantaran tak bisa menjaganya, Saladin disuruh pulang kembali ke Aceh.
Saat itu, orangtua Saladin juga sudah pindah tugas dari Lhokseumawe ke Bireuen. Saladin pun melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Bireuen, hingga lulus tahun 1981.
Semasa SMA-nya juga di Kota Juang. Sambil sekolah Saladin nyambi bekerja di bengkel motor. Kadang juga jadi calo tiket di terminal bis Bireuen. Atau calo tiket Bioskop Dewi. Sederet kerja lain pun dilakoninya, mulai kerja di tempat meubel rotan, ngecat rumah orang sampai susun batu proyek jalan.
“Kalau sedang gak ada kerjaan di luar, saya menanam singkong dan kelapa di kebun dekat rumah,” ujarnya.
Saladin cukup dikenal di kalangan siswa dan guru di sekolahnya, SMA Negeri 1 di Cot Gapue. Sebab, saat di kelas 1, dia bersama teman-temannya sekelas, berjumlah 42 orang, tak naik kelas akibat kedapatan merokok di kantin sekolah. Sebab itu, saat kelas 2, Saladin terpilih menjadi ketua OSIS, para guru menjadi waswas.
“Awalnya banyak guru yang takut, karena saya dianggap bandel. Tapi, kemudian pendapat mereka berubah,” kata Saladin mengenang masa remajanya di Bireuen.
Selain siswa yang bandel lebih terkendali, di masa Saladin jadi ketua OSIS, prestasi sekolahnya juga terlihat menonjol. Banyak turnamen olahraga yang mereka ikuti berhasil meraih piala. Bahkan, Penataran P4, sekolahnya selalu keluar sebagai juara 1.
Setamat SMA, tahun 1984, Saladin ke Semarang. Tujuan utamanya sebenarnya ingin masuk Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Tapi, rencana itu ditentang oleh abangnya, Guliansyah, yang saat itu menjabat Komandan Brimob di Semarang.
“Jangan masuk Akabri, nanti dipukul-pukuli. Kuliah aja, tapi gak boleh lebih dari lima tahun,” ujar Saladin mengutip perkataan abangnya ketika itu.
Gagal masuk Akabri, Saladin pun akhirnya melanjutkan studinya di Universitas 17 Agustus (Untag), Semarang. Dia mengambil jurusan Fakultas Hukum. Sambil kuliah dia juga bekerja untuk tambahan jajan. Kebiasaannya di Aceh ternyata tak berubah.
17 Agustus (Untag), Semarang. Dia mengambil jurusan Fakultas Hukum. Sambil kuliah dia juga bekerja untuk tambahan jajan. Kebiasaannya di Aceh ternyata tak berubah.
Setahun tinggal bersama abangnya di Asrama Brimob, Saladin memutuskan untuk ngekos. Abangnya yang penasaran lalu bertanya, “Kenapa pindah, apa karena ribut dengan mbak mu (istri abang),” kata abangnya. “Nggak bang,” kata Saladin.
Saladin lalu menjelaskan duduk masalahnya. Ia merasa risih karena anggota Brimob di asrama tersebut selalu memberi hormat saat dia melintas.
“Saya takut menjadi sombong, angkuh. Padahal, saya bukan polisi. Seharusnya mereka hormat kepada abang (Guliansyah),bukan dengan saya. Saya ingin orang menghargai saya pribadi, bukan karena abang menjadi komandan mereka,” ujarnya beralasan.
Guliansyah mencoba memahami jalan pikiran adiknya itu. Saladin lalu diberi jatah uang Rp 50 ribu sebulan. Uang itu cukup untuk biaya hidupnya selama sebulan. Yaitu, Rp 20 ribu untuk sewa kamar kos dan sisanya Rp 30 ribu untuk biaya makan bulanan di warung. “Lauknya tempe dan kerupuk,” kenang Saladin.
Sampingan, untuk biaya jajan sehari-hari, dia merangkul orang Aceh di Semarang, menjual onde-onde dan keripik singkong. Mereka dagang menggunakan gerobak, mangkalnya di Jalan Thamrin dan Jalan Kablo. Buka mulai dari pukul 12.00 siang dan tutup pukul 24:00 WIB malam.
Keinginannya menjadi polisi belum pupus juga. Saat semester 4, tanpa sepengetahun abangnya, dia mengikuti tes di Akademi Kepolisian (Akpol). Tapi, usahanya gagal. Saladin tak lulus tes. Ia pun kemudian berkonsentrasi menyelesaikan kuliahnya.
Sejak semester 5 dia mulai kerja sampingan di tambak udang. Tinggalnya pun di tambak. Tak enaknya, saat kuliah, teman-teman cewek biasanya tak mau duduk dekatnya. “Mereka pindah duduk dan menjauh, karena saya bau terasi,” ujar Saladin. Tapi, Saladin tak tersinggung. Bahkan dia tetap saja bisa meminjam buku catatan dari mereka untuk di-fotocopy.
“Saya gak pernah catat. Jadi sebulan sekali saya pinjam buku mereka untuk dicopy,” ujar Saladin.
Lulus Sekolah Perwira Militer Sukarela
Saladin akhirnya meraih gelar sarjana hukum (SH), tahun 1990, dengan IPK pas-pasan, yaitu 2,6. Empat bulan setelah lulus kuliah, Saladin memutuskan ikut tes Sepa Milsuk (Sekolah Perwira Militer Sukarela).
Kali ini, dia dipandu oleh abangnya, yang kebetulan perwira polisi. Persiapan dilakukan selama empat bulan, mulai dari psikotes, kesehatan hingga tes fisik.
“Persiapan fisik, saya dilatih oleh seorang anggota Brimob yang baru lulus. Latihannya naik turun gunung. Berat banget,” kata Saladin. Tak heran hasil hasil tes fisik, Saladin menempati ranking 2.
T. Saladin saat membantu seorang nenek berjalan |
Cita-cita Saladin menjadi polisi, mengikuti jejak sang abang, akhirnya terkabul. Ia berhasil diterima masuk Sepa bersama 62 peserta lainnya dari seluruh Indonesia. Selama tujuh bulan mereka digembleng di Secapa, Sukabumi.
“Saya Sepa Milsuk angkatan ke-8. Kami menyebutnya Sepa Lapan,” ujar Saladin lagi.
Juli 1991, setelah lulus Sepa, Saladin mengawali karirnya sebagai seorang polisi di Polda Jawa Tengah. Jabatan pertamanya adalah Panit I Sidik Exim Serse Ekonomi, Ditserse Polda Jateng, dengan pangkat Inspektur Satu (Iptu).
Setahun kemudian,1992, dia mengikuti pendidikan khusus, Padas Serse. Setelah dua tahun jadi polisi, Saladin memutuskan untuk berumah tangga. Wanita idamannya adalah Sri Asih Anggorowati, seorang asisten apoteker. Sri sebenarnya tergolong ipar Saladin, yaitu adik dari istri abangnya.
“Gara-gara sering ketemu jadi cinta. Apalagi, di Jawa orang Aceh langka, jadi laris,” kelakar Saladin.
(Istri tercintanya itu meninggal 8 tahun kemudian akibat penyakit kanker. Mereka tak dikarunia anak. Saladin kemudian menikah lagi dengan Linda Rismauli Manalu, yang menjadi pendampingnya sampai sekarang.
Tahun 1994, Saladin mengikuti Palan Serse. Selepas pendidikan khusus itu,Selasa 1 September 1994, dia menjabat Kanit I Bag Serse Ekonomi, Ditserse Polda Jateng. Selasa 1 April 1997 pangkatnya menjadi Ajun Komisaris Polisi (AKP). Setahun kemudian Saladin mengikuti Selapa.
Ia ditugaskan di Lembaga Pendidikan Latihan (Lemdiklat) Polri pada Sabtu 1 April 2000 sebagai Guru Muda Secapa. Setahun kemudian dia menjadi Pasdep Juang Secapa.
Saladin lalu dimutasi ke Polda Metro Jaya pada Minggu 11 September 2001 dengan jabatan Kaur Binops Satserseum Ditserse. Setahun kemudian pangkatnya naik satu tingkat menjadi Komisaris Polisi (Kompol).
Karirnya terus naik,sehingga pada Jum'at 28 Februari 2003, dia menjabat sebagai Kanit II Sat I/Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Pada Jum'at 10 Februari 2006, Saladin mengikuti Sespim (Sekolah Pimpinan) Polri. Beberapa bulan kemudian dia pun akhirnya ditugaskan ke tanah kelahirannya Aceh. Awalnya, Saladin bersatus Pamen Polda Aceh.
Sebulan kemudian, tepat pada Kamis 27 Juli 2006, dia menjabat Kasat Ops II Ditreskrimum Polda NAD. Lalu, Kasat Ops I Ditreskrim, dua bulan kemudian dan terakhir Kasat Ops III Ditreskrimum sejak Kamis 30 November 2006.
Awal tahun 2007, pangkat Saladin naik menjadi AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi). Akhir tahun, tepatnya Jum'at 7 Desember 2007, Saladin menjabat sebagai Kapolres Bireuen.
Bersama anak-anak penderita kanker |
Daerah ini merupakan kampung halaman orang tuanya. Saladin bertugas disana selama hampir tiga tahun sebelum akhirnya dipindahkan ke Kalimantan Tengah.
Sejak Minggu 9 Mei 2010, Saladin menjabat Kapolres Katingan, Polda Kalteng. Tapi, belum sampai setahun dia ditarik kembali ke Polda Aceh dengan jabatan Wadir Reskrimum.
Akhirnya Kamis 26 Januari 2012, Saladin ditarik ke Mabes Polri. Saladin memegang jabatan sebagai Kasubbagbarbuk Bagtahti Rorenmin Bareskrim selama hampir tiga tahun.
Setidaknya Kamis 5 Maret 2015, Saladin kembali ke Aceh dengan jabatan Kabid Humas Polda Aceh. Empat bulan kemudian, pangkat Saladin naik satu tingkat menjadi Komisaris Besar (Kombes) Polisi.
Genap usia jabatannya 1 tahun 2 bulan menjadi Kadiv Humas Polda Aceh pada Jumat 12 Mei 2016 Kapolda Irjen Pol Aceh Husein Hamidi melantik T. Saladin menjadi Kapolresta Banda Aceh hingga saat ini.
Sumber: acehfiles.com
Oleh : T. Sayed Azhar
loading...
Post a Comment