Nampaknya, dalam amatan saya, terjadi semacam pembelokan makna yang dilakukan para pekabar medsos, dan sejumlah media (baik yang media berbadan hukum maupun "media" garapan personal).
Khusus bagi para pekabar personal, kelihatan sekali bagai mendapat setitik air di tengah kegersangan catatan pemenuhan janji-janji kampanye Joko Widodo.
Di tengah kabar pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW yang mulai menjauh dari harapan, Tol Laut yang mulai kehilangan semangat, Harga BBM di Papua yang ternyata masih belum sama sepenuhnya dengan di kawasan barat, nilai tukar Rupiah yang masih berkutat di level 13 ribuan, Kartu Ajaib yang masih jauh dari keajaiban, dll, dll...
Dan artikel Bloomberg pun jadi pelipur lara.
Agar lebih fair, mari lihat indikator yang digunakan Bloomberg (dalam rangka membandingkan para pemimpin Asia-Pasifik, bukan dalam rangka menunjukkan adanya perubahan yang dilakukan pemimpin bersangkutan di negaranya masing-masing):
1. Rupiah menguat 2,41?
Sekilas, ini tampak sebagai indikator "Positif". Menjadi makin bercitra positif saat dibandingkan dengan mata uang beberapa negara pembanding yang mengalami penurunan.Namun, penguatan 2,41? itu belum bisa menutupi penurunan nilai tukar Rupiah (terhadap Dollar AS) yang terjadi sejak Joko Widodo menjadi presiden. Saat ia dilantik, Rupiah berada pada level 12.100 per Dollar. Saat ini, pertanggal 30 Desember 2016, Rupiah berada dievel 13.475. Artinya, Rupiah mengalami depresiasi (penurunan) lebih dari 10?.
Penguatan 2,41? di atas masih terhitung "tekor".
Pula, data 2,41? itu rancu karena hanya mencakup jendela data Juli sampai Oktober 2016. Sementara data nilai tukar negara pembanding lainnya seperti China, Jepang, dan Korea mencakup jendela data yang lebih lebar. China mencakup keseluruhan tahun (Jan-Des), Korea Januari hingga November, Jepang Januari hingga Oktober.
Jadi, pembandingan data menjadi sangat rancu. Mengapa untuk Rupiah hanya mencakup Juli-Oktober? Sekedar info, Rupiah sempat menyentuh nilai tukar 12.900-an (nilai terkuatnya selama 2016 pada awal Oktober).
Mengapa hanya pada jendela waktu singkat dan pada saat ada strong point seperti itu?
Mungkin jawabannya ada pada Saiful Mujani Research & Consulting yang menjadi sumber Bloomberg.
2. Pertumbuhan Ekonomi 5,02?
Ini berarti pertumbuhan datar datar saja karena berkisar pada angka pertumbuhan yang sama dengan tahun sebelumnya. Angka ini jika dibandingkan dengan apa yang sudah dilakukan rezim sebelumnya, yaitu rezim SBY, masih belum ada apa-apanya. SBY pernah membawa Indonesia ke angka pertumbuhan 6?.3. Approval Rating 69?
Silahkan dinikmati. Dengan sumber SMRC, saya rasa ini merupakan hadiah hiburan bagi kita semua.Sebagai catatan, angka 69? bukanlah yang terbaik. Ada Presiden Filipina dan Presiden India yang memiliki approval di atas 80?.
So, benarkah Jokowi pemimpin terbaik versi Bloomberg?
Saya rasa, itu adalah lelucon. Lelucon tahun baru kita.
Happy New Year, para penggemar lelucon! [rmol]
loading...
Post a Comment